Satu bulan berlalu, bayang-bayang Syafa perlahan mulai memudar. Memang tidak akan pernah sepenuhnya pergi, tetapi aku mulai bisa berdamai dengan kepergiannya. Aku yang menyibukkan diri dengan pekerjaan, membuatku perlahan kembali bangkit.
Jujur, rasanya seperti berkhianat tiap kali aku mencoba melupakan Syafa. Akan tetapi, andai tidak begitu, rasanya aku tidak sanggup meneruskan hidup. Aku tidak boleh terlalu berlarut, atau Ken akan kecewa karena Papanya tak setegar dirinya.
Sampai kapan pun, Syafa tidak akan pernah kembali lagi. Raganya memang pergi, tetapi jiwanya selalu menempati tempat khusus di hatiku. Aku harus bangkit, apa pun yang terjadi. Ken hanya punya aku sekarang, dan aku tidak ingin perkembangannya terhambat karena keegoisanku.
“Dan...” Aku menoleh ketika mendengar Ayah memanggilku.
“Gimana, Yah?”
“Rumahmu jadi dijual?”
Aku mengangguk. “Jadi, Yah. Sudah dibayar DP-nya. Kata pembeli, pelunasannya dua bulan lagi.”
“Ayah ikut seneng kalau sudah laku. Memang rumahmu itu bagus, aslinya sayang kalau dijual.”
Aku tersenyum getir. “Sebenarnya sayang banget, Yah. Tapi mau gimana lagi, tiap aku masuk rumah itu, bayangan Syafa memenuhi otak. Kalau udah gitu, aku bakal ingat semuanya, dan enggak mau ngapa-ngapain.”
“Iya, Ayah paham. Ayah dukung aja kalau rumahmu memang mau dijual. Uangnya bisa ditabung untuk beli rumah baru, kalau sudah tiba waktunya kamu ketemu sama pengganti Syafa.”
Deg!
Entah kenapa, hanya karena dengar kata ‘pengganti’, seketika aku seperti berkhianat pada Syafa. Jujur, aku sedikit sensitif dengan kata ‘pengganti’, juga kata ‘melupakan’. Apakah aku benar-benar sanggup mencari pengganti Syafa? Apa dia tidak sakit hati, jika aku mencoba mencintai perempuan lain selain dirinya?
Namun, di sisi lain, apakah aku mampu jika membesarkan Ken sendirian? Apakah Ken akan tumbuh maksimal jika tanpa sosok seorang Ibu?
“Untuk saat ini masih terlalu dini, Yah, kalau bahas pengganti. Aku enggak tahu kalau lain kali, tapi sekarang fokusku cuma Ken sama pekerjaan dulu.”
“Iya, Dan, Ayah paham. Ayah bilang begitu bukan maksud nyuruh kamu cepat-cepat cari pengganti. Cuma, umurmu masih terlalu muda kalau kamu habiskan terus sendiri sampai tua. Kamu harus memikirkan cari pendamping baru, kalau hatimu sudah siap. Laki-laki yang pernah ber-istri itu beda, Dan. Dia tidak akan pernah bisa hidup sendirian lagi dalam jangka waktu yang lama.”
Aku mengangguk pelan. “Iya, Yah.” Ayah menepuk pundakku beberapa kali, lalu berdiri dan pergi meninggalkanku.
Begitu Ayah pergi, aku segera menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Setelah itu, aku bergegas naik ke kamar untuk menyusul Ken yang sudah tidur sejak tadi.
Senyumku langsung mengembang ketika melihat Ken tidur tengkurap dengan kaki terbuka lebar. Aku segera memperbaiki posisi tidurnya agar lebih nyaman. Baru setelah itu, aku ikut berbaring dan menaikkan selimut sampai pundak.
Selama beberapa saat, kuamati wajah Ken yang terlelap. Melihat Ken damai begini, aku mendadak lupa kalau anakku ini kemarin kembali menangis lama sekali hanya karena kembali gagal bertemu dengan ‘Tante Dila’-nya yang dia tunggu di gazebo taman. Dia yang awalnya semangat dari pagi, berakhir menangis karena orang yang dia tunggu tidak muncul. Dia terus menangis di gendonganku sampai akhirnya tidur karena kelelahan.
Ke mana aku harus mencari perempuan itu?
***
“Pak, bulan ini permintaan untuk seragam batik membeludak. Tim produksi sampai kewalahan cari kain. Dari pabrik, kain yang di minta customer sedang habis,” ujar Farhan sambil menyerahkan berkas berisi laporan mingguan.
“Yang toko kain di Klaten juga habis, kah?”
“Habis, Pak. Ada sih, yang mirip, tapi customer enggak mau.”
“Mereka mau nunggu atau enggak?”
“Mau, tapi maksimal dua minggu harus sudah jelas. Kalau belum, mereka akan cari di tempat lain. Sebenarnya mereka customer lama yang udah puas sama hasil dari kita, Pak, makanya mau nunggu. Tapi kalau kelamaan, mereka terpaksa cari yang lain. Kebetulan ada kompetitor yang ambil kain dari bandung, cuma memang kita menang di harga.”
Aku mengangguk. “Oke, oke. Nanti kamu panggil Andri ke ruangan saya, biar saya diskusi sama dia masalah supplier. Kayaknya kita emang perlu memperluas jaringan supplier.”
“Baik, Pak. Oh iya...”
“Kenapa?”
“HRD sudah bilang ke Pak Akhdan belum ya, kalau Novita ngajuin resign?”
Keningku seketika berkerut samar. “Belum. Hari ini baru kamu yang nemuin saya, Han.”
“Nah itu, si Novita udah ngajuin surat ke HRD.”
“Bentar... Novita itu advertiser bukan?”
Farhan mengangguk. “Iya, dia advertiser senior.”
“Kenapa resign? Gaji kurang, kah? Bisa kok, kalau mau nego.”
“Bukan gaji, Pak, tapi dia mau pulang kampung ke Tegal.”
“Mau menikah?”
“Iya...” Farhan meringis.
“Oke, nanti biar saya bicara sama HRD. Tapi yang jelas, dia saya ijinkan keluar setelah ada penggantinya. Track record iklan buatan dia bagus, kan?”
“Setahu saya bagus banget, Pak. Budget iklannya bisa ditekan, juga hasilnya tetap stabil.”
Aku memejamkan mata sejenak. “Duh! Sayang sekali kalau dilepas.”
“Aslinya iya, tapi kalau udah urusan mau menikah, kita kan enggak bisa menghalangi, Pak.”
“Iya, bener. Ya udah, kamu panggil Nurul dulu. Yang Andri nanti saja.”
“Siap, Pak.” Farhan menunduk, lalu segera pergi dari ruanganku.
Farhan ini adalah tangan kananku. Anggap saja dia juga merangkap sekretaris, atau orang yang benar-benar bisa kuandalkan. Aku bahkan membebaskannya mengambil keputusan yang kiranya tidak harus berdiskusi dulu. Dan ya, sejauh ini kinerjanya sangat memuaskan.
Tok tok tok !
“Pak Akhdan... maaf, Bapak manggil saya?” tiba-tiba saja, hanya berselang beberapa saat setelah Farhan pergi, ada seseorang menyembulkan kepalanya di pintu ruanganku yang sedikit terbuka.
“Nurul?”
“Hehe, iya, Pak.”
“Kamu duduk sini...” Aku menunjuk kursi yang langsung berhadapan denganku. Dia mengangguk, lalu segera mendekat.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Saya mau bahas Novita. Dia katanya ngajuin resign ya?”
Nurul mengangguk dua kali. “Iya, Pak. Dia ngajuin sudah lama, tepatnya... maaf, beberapa hari sebelum Bu Syafa meninggal.”
“Sudah selama itu? Ini sudah sebulan lebih.”
“Iya, Pak. Untungnya Novita mau menunggu, tapi kayaknya udah enggak bisa lama lagi. Sebenarnya saya sudah kirim email ke bapak, juga beberapa pesan. Tapi tampaknya Pak Akhdan belum baca. Hehe...”
“Maaf, ya... saya memang belum sempat.”
Nurul menggeleng. “Enggak papa, Pak. Tapi sebelumnya saya minta maaf karena agak lancang...”
“Lancang kenapa?”
“Jadi, alasan Novita resign kan karena dia mau menikah. Jadi, kita tidak bisa nahan dia buat tetap stay di sini. Nah, saya diskusi sama Farhan, karena Pak Akhdan belum bisa dihubungi waktu itu. Jadi, saya sudah menyuruh Novita untuk pasang iklan rekruitmen karyawan baru buat penggantinya. Hanya dalam beberapa hari, sudah ada tiga puluh yang kirim berkas lamaran. Jadi iklannya langsung distop.”
“Keluarnya Novita benar-benar enggak bisa dinego lagi, ya?”
Nurul kembali menggeleng. “Enggak, soalnya dia mau ikut suami ke Banyuwangi.”
“Sayang sekali, tapi mau bagaimana lagi.”
“Hehe, iya, Pak. Bahkan novita juga pakai bercanda kalau Pak Akhdan enggak ngizinin, dia mau kabur.”
Aku tertawa pelan. “Terlalu jahat kalau saya menghalangi hidupnya hanya demi perusahaan.”
“Nah iya, Pak. Saya pikir Pak Akhdan juga pasti setuju, cuma saya tetap minta maaf karena lancang mendahului.”
“Enggak papa, yang penting kamu sudah diskusi sama Farhan masalah ini. Sekarang, boleh saya lihat daftar pelamar?”
“Boleh, Pak. Di map ini versi hard copy-nya. Kalau yang soft copy, ini sudah saya salin jadi satu di flashdisk.”
Aku meraih berkas yang Nurul bawa, lalu melihat-lihat sekilas. Aku baru akan mengembalikannya lagi pada Nurul, ketika tak sengaja jari-jariku berhenti pada sebuah kertas curriculum vitae (CV) milik seorang perempuan.
Aku membaca nama itu dengan mata sedikit memicing. “Adila Zeline Adiwilaga?”
“Kenapa, Pak Akhdan?”
“Enggak, enggak papa. Nama dan wajahnya agak enggak asing buat saya.”
Aku kembali mengamati lagi, dan aku sedikit tersentak ketika membaca nama depannya.
Adila? Dila? Mungkin atau tidak, ini adalah orang yang sama dengan ‘Tante Dila’ yang sering Ken cari? Kalau dilihat dari foto formalnya, memang sedikit mirip, tetapi aku tidak yakin karena hari itu aku belum melihat dengan jelas seperti apa wajahnya.
“Nurul...”
“Iya, Pak, gimana?”
“Tolong tandai nama ini.” Mendengar itu, Nurul tampak bingung. “Terlepas nanti dia masuk kualifikasi atau tidak, tolong tandai dulu.”
“O-oh iya, Pak. Siap.”
Setelah Nurul pamit pergi, aku segera menyolokkan flashdisk ke komputer dan kembali mengamati biodata di CV itu. Adila Zeline adiwilaga, S. Si., pendidikan terakhir: S1 Biologi.
“Semoga mereka orang yang sama!”
***