Membagi Kesedihan

1155 Kata
Menjelang waktu ashar barulah Ningsih beranjak dari tempat tidur. Matanya sembab akibat semalaman menangis. Ia meraih gelas di atas nakas dan mulai meneguk hingga tandas. Perutnya terasa keroncongan, sejak pagi ia belum makan apa-apa, hanya air putih yang mengisi perutnya. Ningsih turun dari ranjang menuju dapur. Ia mengamati makanan yang memenuhi meja makan, ia belum menyentuhnya sama sekali. Diambilnya piring dan sendok, lalu mengisinya dengan nasi dan lauk pauk hasil olahan tangannya. Dia sangat suka memasak, tidak heran jika masakannya sangat enak dan menjadi favorit suaminya sejak pertama kali mereka menikah. Mengingat tentang Danu membuat Ningsih kembali kehilangan nafsu makan. Ia cepat-cepat menjejalkan sendoknya yang berisi penuh nasi dan embel-embelnya agar tidak menyisakan makanan. Meskipun situasinya sedang buruk, ia tetap berusaha tidak me-mubazir-kan makanan. Setelah makan, ia mengemas makanan yang melimpah-ruah itu ke dalam wadah-wadah untuk diantarkan ke rumah tetangga. "Assalamu'alaikum!!!" teriak Ningsih di depan pintu dapur Bu Endang -tetangga sebelah rumahnya- dengan suara parau akibat kebanyakan menangis. "Wa'alaikumsalam, masuk, Ning!" Suara balasan dari dalam langsung mengenali bahwa tamu yang datang adalah Ningsih. Sudah menjadi hal biasa di desa jika bertamu langsung menuju pintu dapur, bahkan terkadang langsung masuk ke dalam rumah sebelum mendapat jawaban. "Ada sedikit makanan nih, Bu. Tadinya buat nyambut Mas Danu, tapi dia nggak jadi pulang." Ningsih meletakkan wadah di atas meja makan. Bu Endang segera mengambil wadah baru untuk menyalin. "Nanti aja Bu disalinnya, aku mau ke rumah Winda sama Pak Lik." Ningsih bergegas hendak keluar. "Memangnya kenapa Danu ndak jadi pulang?" "Penerbangan dibatalkan, Bu. Aku juga heran kenapa pesawatnya nggak jadi terbang." "Oh, begitu. Makasih, ya, Ning, jadi ada makanan enak buat makan malam." Senyum Bu Endang mengembang. Ia mengantar kepergian Ningsih hingga ke depan pintu dapur. "Hati-hati di jalan, Ning!" seru Bu Endang diikuti anggukan Ningsih sambil terus berjalan. Ningsih meneruskan perjalanan ke rumah Winda, kalau dia di rumah, Ningsih akan sekalian mengajaknya ke rumah Pak Lik dan berjalan-jalan sekitar desa untuk menghilangkan kekecewaannya. Ternyata Winda tidak di rumah, hanya ibunya yang sedang membersihkan dapur saat dia datang. "Gimana, apa Danu sudah datang?" Ibunya Winda segera menanyakan kabar yang sudah viral di seantero kampung itu. "Nggak jadi, Bu, makanya aku bawa ke sini makanan yang sudah aku buat ini. Katanya penerbangan dibatalkan." Ningsih menjawab dengan wajah murung. "Ya, Allah, kok bisa gitu sih. Sabar ya, Ning, nanti kalo sudah waktunya pasti suamimu pulang. Makasih ya makanannya, enak!" Sambil mencicip sayur lodeh ibunya Winda memuji makanan itu. Selanjutnya perjalanan Ningsih menuju ke rumah Pak Lik. Ia mungkin akan berlama-lama di rumahnya memberi makan ayam atau kambing atau apa sajalah yang penting menyenangkan. Apalagi ada Isti, anaknya Pak Lik yang paling kecil, dia lucu dan menggemaskan. "Pak Leeek!!!" seru Ningsih semenjak dari pagar. "Ada apa, Nduk?" Pak Lik yang sedang memberi makan ayam segera menghampiri. "Nggak ada apa-apa, cuma mau ngantar ini." Ningsih mengangkat plastik berisi wadah makanan di tangannya. "Oh, masuk sana ke dalam, Bu Lik lagi mandiin Isti kayaknya tadi." Ningsih segera masuk ke dalam, meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja makan. Dia mencari-cari Bu Lik di kamar mandi tapi tidak ketemu. Hanya Indra yang keluar dari kamarnya dengan wajah kusut, sepertinya ia baru bangun tidur. "Eh, Mbak Ningsih," sapa Indra terkejut mendapati Ningsih sedang sibuk di dapurnya. "Mana mamak kamu, Ndra?" "Nggak tau, aku saja baru bangun tidur. Biasanya jalan-jalan ke rumah tetangga bawa Isti." Indra duduk di kursi mengamati makanan yang dibawa Ningsih. "Nih, makan. Habisin ya, jangan sisa lho, nanti aku tambah patah hati," ancam Ningsih sambil membukakan penutup makanan. "Memangnya Mbak Ningsih patah hati kenapa?" Indra sok perhatian. "Udahlah, urusan orang tua, anak kecil nggak usah ikut campur. Aku pergi dulu. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Orang tua apanya masih muda begitu, orang tua tuh kayak bapakku, udah ada ubannya," celetuk Indra, ia menyendok makanan yang dibawa Ningsih dan memasukkannya ke dalam mulut. Ningsih keluar rumah, kembali menemui Pak Lik di halaman bersama ratusan ekor ayamnya. "Udah pergi kayaknya, nggak ada di dalam. Cuma ada Indra baru bangun." "Oh, jalan-jalan sama Isti berarti dia. Kamu mau ke mana lagi?" "Mau pulang, tadi dari rumah Winda tapi dia masih di Pustu. Ya udah deh, Pak Lik, aku pulang dulu." "Iya, jangan nangis lagi, ya. Kalo sepi di rumah jalan-jalan ke sini." *** Ningsih tidak langsung pulang ke rumah, ia berbelok ke arah kali (sungai kecil) di ujung desa. Kali ini digunakan oleh warga untuk mengairi sawah dan ladang, untuk memancing, mandi-mandi, dan lain sebagainya. Aliran airnya yang tenang diiringi embusan angin sepoi-sepoi di sore hari rasanya sangat sejuk dan membuat nyaman. Batu-batu besar tergeletak tak beraturan di pinggiran kali, beberapa yang menjorok masuk ke kali menyisakan ujungnya yang rata. Ningsih melepas sandalnya, duduk di bebatuan dan mencelupkan kakinya ke dalam air. Dingin, sangat segar. Di sisi kali berupa perbukitan dengan pohon-pohon dan semak yang masih rindang. Dulu sewaktu dia masih kecil sering menelusuri dalam hutan itu untuk mencari buah atau sekadar bersenang-senang bersama teman-temannya. Ia bernostalgia dengan pikirannya, mengingat masa-masa kebersamaan dengan Danu di kali ini. Biasanya mereka membawa makanan dan minuman lalu menggelar tikar di pinggir kali itu sambil memancing atau mencuci karung-karung, atau sekadar mencari angin segar. Sambil Danu memancing, Ningsih akan duduk di sampingnya sambil bercerita hingga tidak ada ikan-ikan yang mau mendekat, kalau sudah begitu, Danu akan menyuruhnya berdiri di belakang punggungnya sambil memijat kepalanya. "Mas Danu, kapan kamu pulang, Mas. Sudah lama sekali, aku takut sendirian, Mas." Air mata Ningsih mulai menetes. "Pak Lurah sering diam-diam curi-curi pandang, kadang datang ke rumah sendirian, enggak tau mau ngapain. Mas, apa kamu nggak kasian sama aku?" Ningsih merasa bebas berbicara sendirian di tempat itu, tidak ada seorang pun yang akan memergokinya atau menertawakannya seperti Winda. "Jujur aku kecewa banget Mas nggak jadi pulang, tapi aku mau gimana lagi?" Ningsih menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, ujung jilbabnya telah basah oleh air mata. Tiba-tiba ia mendengar suara ranting-ranting kering patah terinjak menghasilkan gemeretak yang cukup jelas dan semakin mendekat ke arahnya. Ningsih mulai waspada, ia segera beranjak, mengambil sandalnya dan bergegas kembali ke pinggir kali. Keadaan yang sangat sunyi menambah suasana mencekam. Jarak dari kali desa ke kali sekitar 50 meter, meskipun tidak terlalu jauh, tetapi cukup menakutkan bagi seorang Ningsih jika ada yang hendak berniat jahat kepadanya. Bersambung... Terima kasih banyak semuanya... masih setia membaca hingga part ini... Kalian adalah penyemangat terbaikku... Love you all, big hug for you all... See you at the next chapter... Note: ✓ Tekan Love untuk yang belum tekan ya, yuk beri semangat penulis dengan love-nya. ✓ Ramaikan komentar biar aku makin semangat update, klik tanda kotak di ujung bawah. ✓ Bantu share sebanyak-banyaknya ya. ✓ Terkait maraknya tindakan ilegal memperjualbelikan ebook/PDF n****+ online dan plagiarisme, aku buat note tambahan : Cerita ini hanya terbit di Platform Dreame dan Innovel, jika ada yang memperjualbelikan ebook/PDF n****+ ini atau menerbitkannya di luar Platform ini berarti tindakan ilegal yang wajib dilaporkan. Dan penjual maupun pembeli ebook/PDF ilegal dan plagiator tidak akan mendapat keberkahan di dunia dan akhirat, karena sangat merugikan penulis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN