Sadewa yang disuruh membuka pakaian pengantin milik Gista hanya terdiam membisu. Pikirannya masih sedikit ragu dan maju mundur.
“Sadewa!” bentak Sukma, geram dengan putra semata wayangnya ini. “Cepetan!” sambungnya, melotot tajam ke arah Sadewa.
“I-iya, Ma.”
Sedewa yang merasa gugup kini mencoba menenangkan hati dan pikirannya. Ini adalah pertama kali dirinya menyentuh perempuan secara intens. Saat dulu pacaran dengan Gendis, Sadewa tidak selancang ini.
Kini dengan tangan gemetaran, Sadewa mulai melucuti pakaian pengantin milik Gista. Deru napas Sadewa pun begitu menderu saking gugupnya.
Ketika sudah selesai, Sadewa terbengong saja saat melihat kulit tubuh bagian dalam milik Gista yang begitu putih bersih.
“Sadewa!” tegur Sukma, menghela napas kasar.
Sadewa langsung tersadar dari lamunannya. Pria itu menoleh dan menatap Mama-nya dengan tatapan tidak enak.
“Tarik selimutnya sampai d**a,” titah Sukma kesal sendiri dengan anaknya yang kebanyakan bengong. “Olesin minyak kayu putih di telapak kaki, tangan, dan bagian hidung biar cepat sadar.”
“Iya, Ma.”
“Ya sudah Mama pergi dulu. Nanti kalau sudah sadar jangan lupa kabarin Mama!”
Sadewa merasa kaget ketika sang Mama akan pergi. “Lho! Mama mau keluar? Enggak nunggu sampai Gista sadar dulu?”
Sukma hanya menghela napas sambil melengos saja ketika ditanya seperti itu oleh Sadewa. Lagipula dia di kamar pengantin lama-lama mau ngapain? Mau jadi wasit di malam pertama gitu? Ada-ada saja pertanyaan putranya itu.
Sadewa yang tidak mendapat jawaban dari sang mama hanya menggaruk-garuk kulit kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Pria itu kini menoleh ke arah Gista yang tengah terbaring dengan kondisi kedua mata terpejam.
“Harus ngapain nih,” gumam Sadewa, bingung sendiri harus berbuat apa. “Duh! Tadi Mama nyuruh oles-olesin minyak kayu putih, kan?” sambungnya bertanya kepada dirinya sendiri.
Sadewa yang kebingungan dan gugup hanya bisa menatap Gista saja. Pria itu mulai berjalan mondar-mandir seperti sebuah setrikaan.
Sampai akhirnya Sadewa mulai melepaskan jas tuxedo yang sejak tadi membalut tubuh atletisnya ini. Pria itu menaruh jas di penyanggah sofa.
Pelan-pelan Sadewa menghampiri Gista yang terbaring di atas ranjang. Pria itu duduk di samping tubuh Gista sembari mulai mengusapi kening dari perempuan itu.
“Eughhh,” lenguh Gista yang mulai tersadar.
Sadewa yang mendengar suara lenguhan itu langsung mengangkat telapak tangannya. Mencoba mengamati gerak tubuh perempuan itu yang ternyata tengah melenguh saja.
Merasa sudah tidak ada pergerakan dan lenguhan, Sadewa kembali memberanikan diri untuk menyentuh perempuan yang sudah sah menjadi istrinya.
Ditatapnya wajah serta tubuh milik Gista, membuat hasrat kelelakian milik Sadewa sedikit bereaksi. Akan tetapi pria itu langsung mengalihkan dengan buru-buru berdiri dan menjauh dari posisi ranjang.
Sadewa segera mengambil air putih dan menenggaknya hingga tandas. Deru napasnya bahkan sangat begitu memburu bahkan terasa amat panas.
Tok! Tok! Tok!
Mendengar ada yang mengetuk pintu membuat Sadewa segera berjalan ke depan. Ketika dibuka ternyata salah satu orang suruhannya itu.
“Maaf, Pak, mengganggu.” Orang itu langsung mendekatkan bibir di samping telinga Sadewa—memberikan informasi yang Sadewa inginkan. Setelah selesai, orang itu langsung berdiri tegak menunggu perintah dari Sadewa selanjutnya. “Dia bahkan sudah memberikan obat perangsang di minuman yang sengaja diberikan untuk Gista.”
“Sial! Kalau begitu bereskan dia!” titah Sadewa, emosi.
“Baik, Pak.”
Sadewa yang mendengar itu merasa begitu emosi dan meradang. Bahkan rahangnya mulai begitu mengeras kuat.
Kini Sadewa langsung berbalik badan dan kembali ke arah ranjang. Ditatapnya tajam tubuh milik Gista. Ada aura kemarahan yang begitu luar biasa di sana.
Penasaran akan isi tisu itu, Sadewa akhirnya membuka dan membacanya. Gigi-giginya bahkan mulai terdengar begitu gemeletukan.
“Cih! Jadi kamu mau menghabiskan malam pertama kita bersama pria itu, huh!” sinis Sadewa, menatap nyalang Gista.
Tidak mau kecolongan membuat Sadewa langsung begitu over protektif. Pria itu akhirnya ikut bergabung tidur di samping tubuh Gista.
Entah kenapa ada dorongan dalam tubuh Sadewa ingin mencumbu bibir perempuan itu. Apalagi mengetahui kalau Elang—kekasih Gista telah menunggu di salah satu sebuah kamar hotel saat ini. Mengingat hal itu membuat hati Sadewa panas luar biasa.
Tanpa pikir panjang, Sadewa kini nekat mengubah posisi rebahan menjadi di atas tubuh Gista. Pria itu menatap intens hingga akhirnya memajukan kepala ke arah wajah perempuan itu.
Dan, ketika bibirnya sudah menempel di bibir perempuan itu, Sadewa langsung mengangkat dan menggulingkan diri ke samping sembari kepalanya mendongak ke atas langit-langit kamar. Sadewa tidak mau mencium atau mencumbu Gista disaat perempuan itu tengah tidak sadarkan diri seperti ini. Sadewa ingin melakukan hal menyenangkan di saat kondisi Gista sadar dan perempuan itu menikmati.
“Kak Gendis! Kakak! Hiks!”
Mendengar suara teriakan Gista yang memanggil Gendis membuat Sadewa menoleh ke samping. Ternyata perempuan itu tengah menangis tergugu.
Merasa tidak tega membuat Sadewa mengusap puncak kepala dari Gista. Sampai akhirnya Sadewa terkejut ketika Gista memeluknya erat.
Tidak bisa dipungkiri kalau detakan jantung Sadewa langsung meningkat begitu drastis. Memompa begitu cepat.
“Elang,” lirih Gista, mulai mengerjapkan kedua matanya. Lain hal dengan Sadewa yang langsung mengetatkan rahangnya begitu kuat. Apalagi di malam pertama—istrinya—Gista memanggil nama pria lain. “Kamu—Aaaahhh!” teriak Gista ketika sadar jika yang dipeluknya bukan Elang.
Perempuan itu langsung menjauhkan diri dan menatap sengit ke arah Sadewa. Napasnya begitu menderu ketika menyadari kalau seluruh pakaiannya sudah dilucuti. Hanya tersisa underware dan bra saja yang menempel di tubuhnya.
“Kamu apakan aku, hah!” teriak Gista, menatap sengit Sadewa.
“Tidak diapa-apakan.”
“Bohong!” sanggah Gista, lantang. “Buktinya ini—Ahh sudahlah!” sambung Gista yang merasa malu mengatakan. Apalagi kondisi tubuhnya yang seperti ini. Buru-buru Gista langsung menarik selimut dan menutupi dirinya sendiri sampai batas d**a.
Sedangkan Sadewa hanya menatap santai. Seolah-olah tidak peduli dengan perempuan itu. Sikap dingin dan acuh Sadewa mulai terlihat kembali.
Sedangkan Gista berusaha mencari pakaian di dalam koper. Meski kepalanya masih terasa sangat begitu pening.
Namun, Gista tidak mau disentuh oleh pria itu. Apalagi harus berpenampilan seksi seperti ini. Dengan gerakan begitu cepat, Gista mengambil pakaian tidur miliknya yang sudah ketemu di dalam koper. Perempuan itu segera beranjak ke dalam kamar mandi untuk mengenakan piyama.
Sebelumnya Gista mengecek seluruh leher dan bagian d**a miliknya. Takutnya ada jejak kepemilikan di sana. Setelah tidak ada tanda merah di sana, Gista merasa lega.
“Hmm! Awas aja kalau laki-laki tua itu macam-macam!” sungut Gista, sebal.
Selesai berpakaian, Gista keluar kamar mandi dan berjalan menuju ke arah depan pintu dengan wajah juteknya.
Gista merasa heran kenapa pintunya tidak bisa dibuka. Ditariknya handle pintu berkali-kali oleh perempuan itu.
“Ini kenapa tidak bisa dibuka?!”
“Memangnya kamu mau ke mana sudah malam begini?” tanya Sadewa, berjalan mendekati posisi Gista.
Gista yang merasa sewot langsung menoleh dengan ekspresi galaknya. “Mau keluar! Bukain!”
“Tidak baik pengantin baru jam tiga malam keluyuran,” sarkas Sadewa, tersenyum miring.
“Cih!” decih Gista, sewot. “Tolong bukain Sadewa!” sambung Gista, menggeram.
“Tidak!” sahut Sadewa, tegas. Pria itu langsung pergi meninggalkan Gista dan memilih untuk merebahkan diri di atas ranjang. Tidak lupa Sadewa mulai melepaskan pakaian formalnya itu dan memilih untuk shirtless.
Gista yang melihat itu semua langsung membuang pandangan dan memilih duduk di sofa. Rasa kesal dan emosinya benar-benar ingin meledak jika Sadewa selalu seperti ini.
Padahal mereka baru menikah beberapa jam yang lalu. Jika setiap hari seperti ini bisa-bisa Gista mengalami hipertensi karena menahan amarah oleh kelakuan Sadewa yang seenaknya.
“Sebaiknya tidur karena besok pagi kita akan sarapan bersama keluarga besar,” kata Sadewa, memberitahukan Gista.
“Aku tidak ikut!” jawab Gista, jutek.
“Ya sudah terserah kamu saja kalau begitu. Lagipula yang akan terlihat tidak baik menjadi istri juga kamu, kan?”
Mendengar kata itu membuat hati dan mental Gista merasa tidak terima. Apalagi yang dipertaruhkan saat ini nama kakaknya—Gendis. Gista sebagai adik tidak mau merusak nama sang kakak.
Sampai akhirnya Gista terpaksa langsung memposisikan diri dengan rebahan di sofa. Sadewa yang melihat kelakuan istri kecilnya hanya tersenyum tipis saja. Bagi Sadewa menggoda Gista itu merupakan kebahagiaannya tersendiri.
“Tidur di kasur biar aku yang di sofa,” kata Sadewa, berjalan mendekati Gista. “Nanti besok badannya pada sakit bagaimana?”
“Biarian aja. Lagipula apa pedulimu?”
“Justru karena aku peduli makanya menyuruhmu tidur di kasur.”
“Sudahlah urusi saja dirimu! Jangan pedulikan aku! Lagian aku menikah juga karena terpaksa! Kamu juga tahu sendiri kalau aku sudah punya pacar! Pacar aku itu baik hati dan lembut. Tidak seperti kamu yang sukanya kasar,” cerocos Gista panjang lebar mengomeli Sadewa.
Merasa dibanding-bandingkan dengan pria lain membuat Sadewa emosi. Pria itu benar-benar menarik lengan Gista begitu kasar.
“Awww, Sadewa!” ringis Gista, kesakitan. “Lepasin!” sambung Gista, merengek.
Sadewa yang merasa emosi benar-benar memperlakukan Gista dengan kasar. Pria itu meremas pergelangan tangan milik Gista begitu kuat. Bahkan jika Gista tidak menangis pun bisa jadi Sadewa akan menambah kekuatan remasannya.
Melihat Gista mulai menangis membuat Sadewa melepaskan dengan kasar. Tidak hanya itu saja. Sadewa pun menatap nyalang ke arah mata Gista yang sudah banjir air mata.
“Jangan pernah membanding-bandingkan diriku dengan orang lain! Aku adalah aku!” tekan Sadewa, tegas.
Sedangkan Gista masih terus menangis tergugu sembari memegang pergelangan tangan yang terasa sakit. Sadewa pun ikut melihat dari sudut ekor matanya—hatinya merasa kasihan ketika bekas cengkeramannya begitu membekas merah.
Tidak mau menunjukkan rasa khawatirnya, Sadewa memilih bersikap kasar. “Tidur! Atau aku akan bertidak lebih kasar lagi dibandingkan ini!” ancam Sadewa, mengintimidasi.
Gista yang memang takut akhirnya menurut untuk tidur di atas ranjang. Perempuan itu masih menangis sembari memposisikan dirinya menghadap miring.
Sedangkan Sadewa yang masih shirtless langsung ikut bergabung di samping tubuh Gista. Pria itu menatap punggung Gista sekilas sampai akhirnya Sadewa ikut-ikutan berposisi miring membelakangi tubuh milik Gista.
Keduanya sama-sama belum bisa tidur karena memikirkan banyak hal. Gista yang memikirkan nasibnya ke depan sedangkan Sadewa tengah merutuki diri karena tidak bisa mengontrol emosinya barusan hingga melukai fisik perempuan itu.
Drrrt! Drrrt! Drrrt!
Mendengar suara getaran ponsel miliknya membuat Gista segera mengambil dan melihat siapa yang sudah meneleponnya tengah malam begini.
“Elang,” gumamnya lirih. Gista bahkan merasa takut dan deg-degan ketika akan mengangkatnya. Alhasil ia menoleh ke belakang terlebih dahulu untuk memastikan jika Sadewa sudah tertidur.
Ketika merasa aman, Gista pun menggeser tombol hijau ke samping dan mengangkat panggilan telepon itu. “Halo, Elang,” jawab Gista, berbisik.