Ampun bang jago!

1221 Kata
Akhirnya, selesai juga berberes memasukkan barang-barangku ke dalam lemari pakaian setelah sebelumnya menidurkan Gala dulu di kamarnya. Bocah itu tidak terlalu banyak drama untuk urusan tidur. Cukup nyanyikan satu lagu cempreng dari ku maka ia akan langsung tidur terlelap. Aneh banget. Sama kayak bapaknya sih. Keluarga Aiman juga sudah kembali ke Bandung, tinggal si Raka saja yang masih ada di rumah ini karena katanya malas pulang ke kost-an sendirian. Selesai mandi, aku bergegas mencari posisi yang nyaman di sofa. Sebenarnya, aku masih belum terima disuruh tidur di sofa. Niatnya aku akan berdebat lagi dengannya malam ini demi mendapatkan yang namanya kenyamanan tidur di ranjang yang luas itu. Tapi... belum sempat aku memulai pembicaraan, Aiman masuk sambil melepas kaos oblong hitam yang ia kenakan. Roti sobek empat garis nemplok di tubuhnya. Terlihat begitu keras karena latihannya sebagai polisi. Aku langsung balik badan setelah dia memergokiku tengah menatapnya tadi. Dia juga kudengar tengah terkekeh sambil melangkah menuju kamar mandi. “Jangan ngintip ya Mel,” ucapnya dari kamar mandi. Ih siapa pula yang mau ngintip! Aku bermaksud untuk keluar kamar tapi Raka juga sedang tidak mengenakan bajunya. Refleks aku langsung masuk kembali ke dalam kamar karena tak mau bergabung dengan keponakan Aiman itu. Katanya Raka ini mulutnya bocor halus. Kalau aku keceplosan cerita kalau pernikahan kami itu adalah sebuah pernikahan di atas kertas, dia pasti akan cerita ke keluarganya nanti. Maju kena mundur kena nih namanya. Aku terperangkap bersama dua pria ganteng di dalam rumah. Aku jadi bingung harus melihat roti sobek yang mana lebih dulu untuk memanjakan mataku ini. “Ngapain kamu ngintip-ngintip Raka?” Suara bariton Aiman mengagetkanku. Aku berbalik dan mendapati dirinya yang menjulang tinggi itu terlihat segar dengan rambut yang basah. Wangi sampo pria langsung menguar dari tubuhnya. Aku menelan ludah saat tahu dia sedang bertelanjangg dadaa dan hanya mengenakan boxer untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Ya Allah ya Tuhanku. Hambamu ini gadis normal dan masih dalam masa pubertas. Jangan berikan hamba godaan seperti ini...jauhkanlah godaan saitan duda ini kalau memang cuma menambah dosa kedua mata hamba ini. Kalau bukan dosa, buka saja sekalian biar hamba tidak lagi penasaran bagaimana anggota tubuhnya Kim Taehyung atau om Gong Yoo. Istighfar Mel! Pikiranmu kotor! “Kok diem?” desaknya. Aku menyilangkan tangan di hadapannya agar tidak mendekat. Tapi yang kudapat malah pemandangan paha dan kaki mulus j*****m itu di bawah sana. “Cuman mau mastiin ada orang atau enggak di luar. Jauh-jauh gih,” usirku. Aiman mencium aroma tubuhnya sendiri, “Kenapa? Emang saya bau?” “Bukan gitu! Tutup auroramu om, gimana sih?” “Sama istri sendiri kok, ya nggak apa-apa kan,” godanya yang semakin membuat kakiku lemas. Dia kenapa sih. Habis kawin ucapannya bikin bulu kudukku meremang. Dia mupeng atau sengaja godain cewek kinyis-kinyis kayak aku ini? Jangan harap aku akan tergoda. Meskipun...entah berapa kali aku beristighfar tadi. “Kan saya bilang...jangan coba macem-macem sama saya.” “Memangnya kalau saya mau macem-macem, kamu mau ngapain?” tantangnya. Aih mak...dilawannya aku yang preman ini. Okey...kita lanjutkan baku hantam ini. “Saya bisa silat loh! Resmi dari padepokan silat harimau Sumatera.” Aiman nyengir. Ia kemudian membuka lemari pakaiannya lalu mengenakan piyama tepat di hadapanku. Tak lama kemudian ia menunjukkan beberapa pakaian yang kuketahui itu adalah baju bela diri. “Tahu ini apa?” Engg...kenapa aku lupa namanya yah. “Ini dobok taekwondo, sabuk hitam.” Aku menelan ludah sambil melipir ke sofa. “Ini judogi judo. Alhamdulillah sabuk hitam juga. Sama yang ini karate gi, nggak usah disebutin lah yah sabuknya apa,” pamernya. Kalau begini mah mending pending aja deh ngeluh soal berebut siapa yang tidur di kasur, gumamku dalam hati. “Jadi...mau bertarung pake gaya apa? Silat?” “Pamer ih....tetep aja saya bisa lawan kamu yah. Jangan anggap enteng. Preman di sana kalah sama saya loh. Jangan macem-macem,” ancamku. Yang diancam malah nyengir, “Harusnya kamu yang harus hati-hati. Kalau saya mau, saya bisa buat kamu nggak berdaya di atas kasur itu. Saya bisa main lembut. Main kasar juga oke. Tinggal pilih aja mau gaya apa.” Aku nyengir untuk menyelamatkan diri. Tatapan datarnya itu buat aku merinding disko. “Nggak dulu deh, masih capek,” kilahku yang langsung rebahan di atas sofa lalu menarik selimut untuk tak meladeni om polisi satu ini. Tak lama kudengar pintu lemari di tutup. Lampu juga menyisakan lampu tidur dan pendingin udara yang ia buat tidak terlalu rendah. Hening sesaat suasana di kamar ini, namun tak lama Aiman mulai bicara lagi sambil mencolek lenganku. “Besok Gala sudah mulai pendaftaran masuk TK, temenin ke sana yah.” Aku meliriknya dengan tatapan bingung, “Saya sendirian ke sana?” “Ya sama saya. Habis itu saya anter kamu ke kampus juga.” “Nggak apa-apa, Raka bisa anterin —“ “Saya yang antar sebelum pergi ke polda,” tuntutnya. Aku malas berdebat jadi kuanggukan saja kepalaku menuruti apa kemauannya. Tak lama Aiman menyerahkan dua kartu Atm padaku. Aku kembali mengeryitkan dahi karena bingung kenapa Aiman memberikan ku kartu ATM miliknya itu. “Pegang kartu itu buat beli keperluan rumah sama keperluan kamu. Pin-nya —“ Aku mengembalikan kartu itu, “Simpen sendiri saja. Bapak masih ngasih uang pegangan cukup buat saya.” “Saya suami kamu Mel. Saya tetap harus nafkahi kamu. Kalau bapak mau bayarin kuliah kamu ya nggak apa-apa, tapi keperluan kamu selama tinggal di sini, saya yang tanggung. Karena itu kewajiban saya sebagai suami.” Lama-lama aku seperti ayam karena terus mengangguk. Entah kenapa sifat nyebelinnya menghilang setelah ngomong gitu. Kadang-kadang dia terlihat berwibawa. Kadang-kadang kayak bocah yang nggak mau ngalah. Lebih sering menggodaku tapi kali ini dia terlihat serius sekali berperan sebagai suami. Padahal kita nikah yang kapan saja bisa berpisah. Setelah memberitahukanku apa pin atmnya, Aiman kembali naik ke atas kasurnya. Bersiap untuk tidur. “Kamu nggak takut saya habisin uangnya?” tanyaku. “Kenapa? Kamu mau abisin buat beli rumah?” ledek Aiman. Aku mendengus kesal, “Bukan gitu. Emang kamu nggak belajar dari kesalahan masa lalu?” ceplosku. Aiman membuka selimutnya lagi lalu menatapku tanpa ekspresi. Aku memukul mulutku sendiri karena mulai sok tahu dan sok peduli sama urusan orang. Waktu itu ibu kan cerita semua soal rumah tangga Aiman yang dulu. Jadi aku penasaran kan kenapa Aiman kayak nggak kapok gitu. Padahal menurut cerita kakaknya, setelah perceraiannya Aiman bilang nggak mau nikah lagi. Aneh. Sekarang dia malah nikahin aku, bocah yang usianya terpaut 19 tahun dengannya. “Saya nggak kecewa soal uang, yang saya kecewakan adalah pengkhianatan yang Susan lakukan,” jawab Aiman terdengar seperti berat untuk bercerita. Aku menyudahi pembicaraan ini lalu menarik selimutku lagi. Kayaknya bukan hal yang bagus membuka luka lama yang sudah mengering. Walaupun sebenarnya sebuah luka malah membekas seperti bekas koreng, kurap, parut yang ada di kakiku. “Maaf nggak sengaja nyinggung.” “Nggak apa-apa. Mau nggak mau juga pasti kamu tahu.” “Habis ini saya nggak mau tahu. Tugas saya kan cuma fokus kuliah sama jagain Gala.” Aiman terdiam. Tapi tak lama dia terdengar menghela napas panjang sambil menatap langit-langit kamarnya yang temaram. “Iya. Memang sebaiknya begitu. Jangan cari tahu soal diri masing-masing.” “Kalau enggak?” sahutku. “Kalau nyoba caritahu, nanti..ada perasaan lain yang muncul.” Aku mengeryit untuk memaknai ucapannya itu. Tapi lama kelamaan aku malah mengantuk dan hilang sudah apa yang Aiman katakan tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN