“Jangan cantik-cantik kali kak Mimi. Nanti waktu sudah hilang bedakku, kabur mereka semua,” ocehku pada kak Mimi selaku MUA paling cetar di kotaku ini.
Kak Mimi tertawa sambil memoleskan...apa sih ini namanya? Contur? Counter? Alah apalah itu agar wajahku terlihat tirus dan hidungku yang pesek terlihat mancung.
“Ya harus cantik dong Mel, namanya juga nikah sekali seumur hidup, masa pake dandan yang jelek-jelek?” ocehnya juga tak mau kalah.
Kalau pasangannya tepat sih, mau-mau saja langgeng sampai seumur hidup. Tapi berhubung yang menikahiku adalah om-om gila yang ngebet nikah untuk jagain anaknya, maka tak salah kan aku berharap ada pernikahan kedua?
“Tapi banyak tuh kak yang kawin lagi,”candaku.
“Ya memang sih cinta tak selamanya indah. Pasti yang namanya pernikahan ada cobaan di dalamnya. Kalau Mela udah siap nikah gini ya harus siap juga sama problematika nya. Jangan kayak orang-orang yang demen kawin cerai kawin cerai. Pantang. Kalau masalahnya bukan karena orang ketiga atau kdrt, semua masih bisa diubah.”
Seketika aku merinding mendengar petuah kak Mimi. Karena belum apa-apa, aku sudah memikirkan perceraian. Entah apa yang akan terjadi empat tahun ke depan,yang jelas aku ingin secepatnya menyelesaikan semua ini.
Aku sudah selesai di dandani. Karena belum mendapat kabar mempelai pria datang, aku sengaja duduk selonjoran di pinggiran tempat tidur. Tepat di seberang dinding, tengah berkumpul ibu-ibu PKK yang datang untuk marhabanan. Aku tak sengaja menguping pembicaraan mereka yang tengah asik membicarakan tentang acara hari ini.
“Si Mela kenapa malah kawin? Bukannya dia mau kuliah di UI?”
“Alesan kali.... jangan-jangan udah gini.”
Aku mendengus tak terima. Apanya yang udah gini?
Aku naik ke atas tempat tidur untuk membuka jendela kamar ibuku ini. Ibu-ibu yang membicarakan aku itu tengah membuat gerakan perut membuncit di depan ibu-ibu yang lain.
“Iiih!”
“Mela? Ngapain kamu?”
Suara Aiman yang masuk bersamaan dengan kak Mimi membuatku sedikit terjungkal. Aku langsung datang menghampiri Aiman yang tampak kebingungan melihatku sudah mendengus bak kerbau yang siap menandukkan apa saja yang ada di depannya.
“Kamu sih pake nikahin aku segala. Mereka nuduh aku bunting duluan karena nikah mendadak kayak gini,” omelku yang sepertinya juga hampir ingin menangis karena dituduh yang tidak-tidak.
Ini bukan masalah sepele. Pasti beritanya akan menyebar seluruh kampung kalau mereka tidak mendapatkan berita yang sebenarnya.
Aku...yang sudah belajar mati-matian agar bisa masuk kuliah idaman seluruh siswa di seluruh Indonesia, malah dituduh melakukan hal hina yang sama sekali tidak kulakukan, tentu saja sakit hati mendengarnya.
Boro-boro bunting, punya pacar saja enggak!
Aku bermaksud untuk melabrak ibu-ibu itu, tapi belum sampai keluar pintu, tanganku ditarik oleh Aiman menuju lokasi berkumpulnya ibu-ibu yang sedang membicarakan ku tadi.
Aku coba melepaskan genggaman tangan Aiman , tapi tenagaku kurang besar dengan tenaga cengkramannya. Hingga kami sampai di hadapan mereka yang tentu saja terkejut melihat kedatangan kami secara tiba-tiba.
“Buk mohon doa restunya,” ucap Aiman dengan nada santai.
Ibu-ibu itu melongok tak mengerti sambil menyalami Aiman yang mengulurkan tangannya lebih dulu.
“I...iya.”
“Mela ini akan saya bawa ke Jakarta untuk melanjutkan kuliahnya. Kami berencana menunda momongan karena ingin fokus ke kuliah Mela dulu.”
Aku bengong, para ibu-ibu itupun ikut bengong sepertiku. Aiman menjelaskannya dengan lembut dan penuh tata krama. Ia tetap tenang tak sepertiku yang mungkin akan menjadi reog kalau bicara di hadapan mereka.
“Tapi kalau Allah berkehendak lain ya nggak apa-apa juga punya anak.”
Wajah mereka langsung pucat. Aku rasanya ingin sekali goyang dumang melihat ekspresi mereka yang ketahuan sedang menceritakan ku tadi.
“Iya...lekas punya anak saja lah ngapain ditunda. Langgeng dan lancar ya Mel kuliahnya.”
“Iya buk.”
“Aiman, Mela! Kalian ngapain disitu? Pak penghulu sudah datang,” teriak ibuku.
Kami berdua pun beranjak dari hadapan ibu-ibu julid tadi. Aku tertawa puas sedangkan Aiman tersenyum miring.
“Ngapain senyum-senyum? Ini semua gara-gara kamu yah makannya aku diceritain yang enggak-enggak!” jengkelku.
“Enggak akan ada lagi yang ngomong kayak gitu ke kamu. Kalau ada yang berani, bilang aja ke saya.”
Aku minggir sedikit melihat raut wajah keseriusan pria bernama Aiman Faris Ibrahim ini. Bukannya mengagumi, tapi apa yang dilakukan Aiman tadi memang keren sih.
“Nggak usah. Aku bisa urus sendiri!”
**
“Saya terima nikah dan kawinnya, Mela Iskandar binti Agustiwana Iskandar dengan mas kawin tersebut, tunai.”
“Bagaimana saksi?”
Semua kompak mengatakan sah terutama dari ibu-ibu PKK yang tadi dilabrak Aiman. Mereka langsung menabuh gendang marhaban secara riuh lalu menyanyikan lagu-lagu kasidah yang menyejukkan hati.
Tapi hatiku masih belum menerima. Mela Iskandar, preman jalan Binjai sudah saja jadi binik orang!
Haiishh.
Saat sesi selametan dengan para tamu undangan, aku yang terus menunduk tak tahu jika ada seseorang yang datang menghampiri kami.
Aku mendongak begitu mendengar suara pria yang memberiku ucapan selamat.
“Selamat...ya Mel.”
“Mas Adi?”
Pernah dengar lagu Armada yang judulnya Harusnya Aku?
Entah darimana abang-abang panggung hajatan bisa dengan pas memutar lagu itu saat mas Adi datang. Kalau saja bisa teriak, aku ingin teriak dari sini sekarang juga.
Harusnya aku yang di sana...dampingimu dan bukan dia.
Harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia...
Harusnya kau tahu bahwa...cintaku lebih darinya.
Harusnya yang kau pilih bukan dia.
Perih banget. Padahal aku masih berharap ada bunga-bunga asmara diantara kami.
“Aku nggak nyangka Mel. Kamu sah jadi istri orang begitu cepat,” ungkapnya kecewa.
Hatiku mulai ketar-ketir sedangkan Om sompret yang ada di sebelahku malah seenak udelnya menggandeng tanganku. Pamer-pamer cincin nikah di depan mas Adi.
“Mas...ini tuh nggak kayak gitu —“
Aku menepis gandengan tangan Aiman agar ia tidak ikut campur. Tapi yang namanya Aiman polisi jahil mana mau mengendahkan maksud hatiku tadi.
“Terima kasih yah sudah datang,” ucapnya pula.
Mas Adi semakin menunjukkan riak wajah sedih dan bahkan hampir menangis. Ibarat waduk Katulampa yang ada di Jakarta kalau sudah banjir, mungkin sekarang sudah masuk siaga satu.
Gawat banget.
“Iya pak. Tolong...jagain Mela baik-baik ya pak,” pintanya lalu memeluk om Aiman sebagai ganti untuk tidak memelukku.
Astaga...ini sudah benar-benar seperti di sinetron-sinetron. Padahal kisah cintaku baru saja dimulai.
Mas Adi pergi meninggalkan pelaminan dengan pundak yang sedikit turun. Kulirik om sompret yang ada di sampingku saat dia mulai meledekku lagi.
“Adek...cinta tak selamanya indah,” gelaknya penuh dengan kepuasan yang hakiki.
==