Kesepakatan Mendadak

1376 Kata
“Om..Aiman?” Ya Allah. Belum apa-apa aku sudah mendapat musibah sebesar ini. Bagaimana kalau Aiman ngadu ke bapak kalau aku dan yang lainnya numpang parkir di depan diskotik? Kacau! Lihat gelagat om sompret satu ini saja sudah membuatku tak berdaya. Dia malah senyum-senyum sendiri melihatku tertangkap basah. “Kamu kenal, Mel?” tanya Mas Adi setengah berbisik. Aku mengangguk kemudian pasang badan untuk menghadapi polisi berpangkat AKBP ini. “Om! Ini bukan yang kayak om bayangin.” “Saya bukan om kamu,” jawabnya jutek. “Oke pak. Ini bukan seperti yang bapak bayangkan.” Sudah kuganti sapaan untuknya, duda ganteng ini malah menarik turunkan alisnya seolah tidak terima juga. Memangnya mau dipanggil apa? Sayang? Kan nggak mungkin! “Hum. Saya nggak bayangin, tapi saya lihat sendiri. Anaknya pak Agus datang ke diskotik.” “Pak!?” Aku tak sengaja bersuara tinggi padanya membuat yang lainnya menoleh. Karena malu, kupalingkan wajahku lalu duduk di dekat parit. Mas Adi ikut duduk di sebelahku. Dari wajahnya aku bisa lihat bahwa dia menyesal. “Mel, kamu nangis?” tuduh mas Adi. Matanya menatapku dengan tatapan yang teramat sendu. Aku kasihan melihatnya merasa bersalah. “Siapa yang nangis?” Aku sengaja membelalakkan mataku untuk membuatnya percaya. Mas Adi tersenyum setelah aku menunjukkan aksiku. Tak lama suara Aiman menginterupsi interaksi kami. Tatapannya malah terlihat sinis ke arahku. “Saya belum selesai bicara Mela. Ayo bangun.” “Nggak mau,” jawabku pura-pura ngambek. “Saya hitung sampai tiga kalau nggak bangun langsung saya telpon pak Agus.” Mendengar ancamannya aku langsung berdiri tegak bak tentara yang siap perang. Mas Adi juga melakukan hal yang sama dan itu nyaris membuat om sompret satu ini tertawa. “Pak jangan gitu dong. Saya dan yang lainnya itu nggak salah. Kita cuma parkir di sini.“ “Kamu mau kemana malam-malam gini?” tanya Aiman sok galak. “Buat acara kelulusan Mela dan temannya pak,” yang jawab mas Adi. Aiman langsung sinis ke arah mas Adi yang tak bersalah itu. Dia kenapa sih? Sok tegas! Apa ini karena pekerjaannya? Huh! Padahal pagi tadi masih sok imut. Cengar cengir karena mau menitipkan anaknya padaku. Sekarang wajahnya sudah belagu begitu. Awas saja. Pasti kubalas! “Saya tanya ke Mela, bukan ke kamu.” “Yang dibilang temen saya bener pak. Kami mau buat acara kelulusan.“ “Kamu itu anak perempuan Mela. Kok bisa-bisanya keluyuran sama pemuda-pemuda yang nggak kamu kenal.” “Saya kenal mereka kok. Semuanya teman saya,” jawabku nggak mau kalah. Aiman mulai ngajak debat. Dia seperti tak terima kulawan semua nasehatnya. “Banyak kasus pelecehan pada perempuan semuanya berawal dari pertemanan. Pelaku biasanya orang terdekat kamu. Jangan percaya sama laki-laki,” bisiknya. Aku merinding seketika saat ia mengatakan hal itu tepat di dekat telingaku. Mungkin menghindari mas Adi yang akan mendengarkan ucapannya. Tapi aku tahu maksudnya. Om sompret ini hanya ingin menakutiku saja. Mana ada yang seperti itu, kan? Setelah kulihat di berita kriminal, ternyata memang banyak kasus seperti itu sih. Hih! Jadi ngeri. “Nggak mungkin. Teman saya baik-baik. Bapak belum kenal saja siapa mereka.” “Oh ya? Buktinya kamu ketangkep begini. Kalau dibiarkan, bisa saja kalian semua ada di dalam.” Semua temanku langsung membantah ucapannya. Dan Aiman tetap tidak mau disalahkan atas tuduhan yang ia layangkan pada teman-temanku. “Kami nggak mungkin gitu pak. Kami —“ “Semuanya ke kantor. Tulis laporan lalu hubungi orang tua atau wali kalian masing-masing,” tukas Aiman yang lagi-lagi titahnya tak mau dibantah. Aku panik. Jelas sangat panik. Kalau ke kantor otomatis bapak sama ibu bakal ke sana untuk menebusku. Dan pastinya bapak semakin nggak akan percaya untuk melepas anaknya pergi kuliah di Jakarta Oh My God. Ini tidak bisa dibiarkan! “Paaaak! Tunggu.” Aku mengejar Aiman yang hendak masuk ke mobilnya. Dengan refleks aku menarik lengannya dan beliau ini langsung menoleh. Demi apapun, aku ingin hal ini cepat selesai. Maka dari itu, aku akan lakukan apa saja untuk bisa mencegah diriku sendiri terseret ke kantor polisi. “Mau bicara. Empat mata. Sama bapak!” Aku sampai bicara terbata-bata seperti itu. Seumur hidup. Baru kali ini aku dibuat kalang kabut. Sama pria angkuh, sombong, congkak sepertinya. Issh gregetan. Ingin cabut bulu kakinya. “Kamu mau nyogok saya?” “Iya!” Dia terbelalak tak percaya. Akupun juga begitu. “Bukan! Maksudnya saya mau deal-dealan sama bapak!” “Deal apa?” “Gala. Saya yang jagain. Saya asuh deh selama bapak bertugas. Gimana?” Aiman tampak berpikir keras dengan penawaranku ini. Aku yakin dia akan tertarik, karena dengan begitu dia tidak akan khawatir lagi untuk menitipkan anaknya selama asisten rumah tangganya itu masih belum bisa kembali bekerja. Aku dengar dari ibu sebelumnya bahwa kemungkinan Gala akan lebih lama diasuh di rumahku. Karena aku menolaknya, maka Gala hanya dititipkan selama dua hari saja. Nah dengan penawaran ini pastinya Aiman akan lega bukan? Tapi kalau dia menolaknya? Habislah aku — “Kalau saya nolak?” jawab Aiman masih dengan nada angkuhnya. Kalau saja kami benar-benar bicara berdua mungkin satu tinju berhasil melayang di wajahnya. Aku benar-benar frustrasi sekarang. “Haiis!” “Oke. Saya pikir-pikir dulu. Kamu masuk. Saya antar sendiri ke rumah.” Aku tak percaya dia semudah itu menerima tawaranku. Ternyata ideku berhasil. Tapi kenapa harus dia yang antar aku pulang? Kan nggak harus seperti itu. “Kenapa bapak mau antar saya ke rumah? Nanti orang rumah bertanya-tanya, kan?” elakku. “Oh, jadi kamu maunya pulang sama pacar kamu itu?” Aku mengernyit saat Aiman menunjuk mas Adi sebagai pacarku. Walau aku ingin itu terjadi, tapi membuat kebohongan kalau mas Adi pacarku juga tidak baik ujungnya nanti. Jadi kuurungkan niatku itu. “Enggak! Kami nggak pacaran.” “Beneran?” tanya Aiman lagi. Kali ini dengan sunggingan senyuman di bibirnya. “Serius! Bapak kenapa seneng banget sih ngusilin saya? Haiis!” gerutuku. Aiman tak menjawab omelanku itu. Dia malah tertawa sambil membuka pintu mobilnya. Aku kembali teringat dengan Donita. Sebelum masuk, aku minta temanku yang itu juga ikut bersamaku. Berduaan dengan duda juga berbahaya kan? Mau siapapun dan apapun profesinya, yang namanya setan selalu nyelip diantara dua manusia yang berlainan jenis. Itu kata ustad Madi. “Saya mau bawa Donita! Dia cewek sendiri, pak.” “Hum. Boleh,” balasnya. Tak lama Aiman bicara dengan temannya sedangkan aku memanggil Donita untuk ikut bersamaku. Sahabat baikku tampak lega karena masalahnya telah terselesaikan. Meninggalkan rekanku yang lain, kami berdua duduk di kursi penumpang. Aiman mulai menyalakan mesin mobilnya kemudian beranjak dari lokasi. “Kali ini saya lepaskan kalian semua. Tapi lain waktu tidak ada ampun.” “Iya,” jawab kami serempak dengan nada memelas yang sama pula. “Kalian jangan lagi ikut-ikutan acara seperti itu. Kalian nggak akan tahu apa yang terjadi kalau pergi ke tempat tujuan yang nggak jelas,” sambungnya lagi. Dan lagi-lagi kami membalas ucapannya dengan jawaban, iya. Aiman terlihat puas. Dia pun melajukan mobilnya hingga kami sampai di gang rumah. Aiman menyuruh kami turun di tempat tersebut dengan alasan tak ingin membuat tetangga terkejut dengan kedatangan mobil polisi di depan rumahku. Aku lega, akhirnya Aiman mengerti maksudku. “Terima kasih pak,” ucap Donita yang hampir ingin menangis lagi. Aku menahannya untuk melakukan itu. “Sama-sama. Silahkan, pulang ke rumah masing-masing. Mela, saya titip Gala.” “I..iya,” jawabku sedikit gugup. Setelah mengatakan itu, Aiman dan temannya pun putar balik agar bisa keluar dari gang. Melihatnya pergi, aku dan Donita kemudian saling berangkulan menghadapi kenyataan malam ini. Kami lega karena hal lebih buruk tidak terjadi. “Untung pak Aiman baik,” puji Donita. “Baik apaan. Dia kan nerima sogokanku.” Donita terperangah. Ya sama. Aku sendiri juga tak percaya dengan apa yang sudah kuberikan pada Aiman. “Hah? Sogokan apa?” “Jagain Gala. Sepuasnya. Semau dia!” Donita tiba-tiba berhenti berjalan. Aku menoleh karena ulahnya itu. “Kenapa berhenti disitu? Nggak mau pulang?” “Pas tuh. Jagain anaknya nikahin bapaknya sekalian Mel,” candanya yang langsung kuberikan cubitan keras di lengannya. “Ngawur! Nggak usah ngomong yang aneh-aneh Don —“ “Ya kan nggak apa-apa Mel. Kali aja kalian jodoh,” ulahnya lagi yang semakin buatku kesal. Tapi sayangnya dia sudah masuk ke dalam pagar rumahnya dengan masih meledekku. Jodoh apaan! Amit-amit. Moga aja itu nggak akan terjadi. ==
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN