Chapter 2 : Mengambil Keputusan

1679 Kata
Chapter 2 : Mengambil Keputusan Tepat pukul enam pagi Citra telah tiba di gubuk warungnya. Ia membersihkan tempat itu, menyapu sekeliling agar terlihat lebih bersih dan nyaman saat ada yang datang. Menata rapi termos air, serta nasi bungkus itu pada meja kecilnya. Usai itu dilakukan, ia memulai mengumpulkan karet yang ia tatah kemarin. Ia memulai lebih awal agar tidak kerepotan nanti saat ada orang yang ingin membeli kopinya. Sembari bekerja ia terus memikirkan apa yang diucapkan oleh sang ibu. Saat ini hatinya sedang dalam kondisi bingung, harus memilih siapa? Satu sisi ia ingin merubah nasib baik dirinya juga orang tua serta neneknya. Di sisi lain nenek dan kakeknya sudah tua, sekalipun mereka memang benar-benar sehat namun ketakutan akan kehilangan terus menggelayuti Citra. Ia menarik ulur pikiran itu. Berpikir bahwa setiap yang bernyawa pasti akan kembali pada sang pencipta bukan? Ya Tuhan, aku harus bagaimana ini? Tunjukkan yang baik menurutMu. Batin Citra. Tangan dan kakinya cepat melangkah dari satu pohon ke pohon lain. -------- "Assalamualaikum nduk? Piye? Samean gelem opo ora? Wonge wes nelpon wae nang ibu," sergah ibu Citra begitu ponselnya mendapat jawaban. ( Assalamualaikum nak? Bagaimana? Kami mau apa tidak? Orangnya telepon ibu terus. ) "Waalaikumussalam, Iki aku nduk, koe sehat nduk? Enek opo to nduk?" tanya nenek Citra penasaran. "Oalah, jenengan mbok? Alhamdulillah sehat mbok, niki wonten tiang pados ewang, Kula nawani Citra niku, purun Nopo mboten kerjo teng kutho?" jelas ibu Citra. ( Oalah, anda nek? Alhamdulillah sehat, ini ada orang butuh pembantu, saya menawarkan pada Citra itu, mau apa tidak kerja di kota? ) "Iya nduk, Jak'en bocah kui ben rodo cetho neh, bocah beneh engko lek nek ndeso wae, ora rabi-rabi kui." Si mbok menyetujui tawaran dari anaknya. ( Iya nak, ajak anak itu biar ngerti, anak baik nanti kalau di desa terus tidak lekas nikah. ) "Nggeh mbok, ngken Kula telpon maleh pas larene mpun wasul nggeh. Suwun mbok, assalamualaikum." pamit ibu Citra. ( Iya nek, nanti saya telepon lagi waktu anaknya sudah pulang. Terima kasih nek, assalamualaikum. ) Obrolan ringan itupun usai. Bayang-bayang diri sudah berada tepat di bawah tubuh mungil gadis bernama Citra itu. Ini artinya jarum jam telah menunjukkan pukul dua belas tepat. Dengan keranjang kebanggaannya ia berkeliling ke kebun milik orang, yang di antara perbatasan kebun milik si A dengan B ada tumbukan batang pohon singkong yang tumbuh. Ia memetik daun singkong yang masih muda. Menata dengan rapi dan mengikatnya lalu, memasukkan ke dalam keranjang. Mencari kayu bakar dan juga jamur yang layak konsumsi bila ia menemukan secara tidak sengaja. Beban yang di pikul saat pulang dan pergi sama sekali tidak berkurang. Nasi yang ia bawa memang habis, tapi isi keranjang tidak pernah habis. Justru saat pulang barang yang ia bawa semakin banyak. Menggendong keranjang, di atas kepalanya membawa kayu bakar. Sungguh perjuangan yang berat. Sampai di rumah, Citra belum juga bisa beristirahat, ia masih harus bergulat dengan tungku api di dapur. Memasak untuk makan malam si mbok juga Wek. "Nduk? Ibumu mau nelpon. Piye koe gelem kerjo? Budhal'o nduk, si mbok ora opo-opo. Toh okeh wong srawung nek ndeso, bedho Karo kutho nduk." sambut nenek saat mendapati Citra tengah meniup api yang padam. ( Nak? Ibumu tadi telepon, bagaimana kamu mau kerja? Pergilah nak, nenek tidak apa-apa. Toh banyak orang baik di desa. Beda sama kota.) Srawung : guyup rukun, saling membantu, bertegur sapa. "Nopo nggeh mbok? Citra nggeh kepingin, tapi Citra niku ajreh ninggal mbok. Tapi mbok mpun Maringi lampu ijo, Kula bidal nggeh mbok?" sahut Citra, menghentikan aksinya dan memegang tangan yang telah berkerut milik si mbok itu. ( Apa iya nek? Citra juga ingin pergi, tapi Citra takut ninggalin nenek. Tapi nenek sudah kasih lampu hijau, saya berangkat ya nek? ) Si mbok mengelus surai hitam panjang milik Citra, dengan senyum yang tulus, menganggukkan kepala tanda menyetujuinya. Dengan berat hati, dua hari setelah obrolan siang itu Citra berkemas dan berangkat pada keesokan hari. Membawa tas yang ada dan beberapa baju yang di perlukan. Merantau meninggalkan kampung halaman. Tempat ternyaman, tempat asri yang pernah Citra tahu. Dengan tekat yang kuat, misi yang harus di selesaikan yaitu membawa nenek dan kakeknya hidup dengan layak, tidak menjadi bahan omongan di desa. -------- Menggunakan kereta api Citra pergi, ke tempat yang tak pernah ia datangi. Dalam hati ia selalu berdoa agar ia tak akan pernah berbuat kesalahan di tempat kerja, dan ia tak pernah membuat malu orang sekitar dengan kondisi dan keadaan Citra saat ini. Dengan menggunakan rok plisket panjang berwarna navy, baju berlengan pendek warna putih serta flatshoes telah melekat rapi di tubuhnya. Rambutnya tergerai dengan rapi, sesekali terbang karena terpaan angin. Ia memasuki gerbang kereta ekonomi satu, duduk pada kursi nomor 1a. Hanya ada satu orang penumpang di bangku itu. Dengan ragu Citra menghentakkan b****g secara perlahan. Membagi senyum sekilas pada penumpang dihadapannya. Pria itu membalas lembut senyum Citra. Ia kembali dengan aktifitasnya memakan manisan mangga. Cukup lama dan menjenuhkan perjalan itu. Citra hanya melihat dan menyapu pemandangan di luar jendela kaca yang berjalan itu. Ingin bermain ponsel pun ia tak punya. Apa yang bisa ia lakukan selain menikmati keindahan alam. Sura lembut dari pria di depannya itu mengagetkan Citra. Ia menawari Citra sebuah manisan yang sedari tadi ia makan. "Silahkan ambil Nona, jika anda ingin," tawarnya. Ia meletakkan manisan itu pada meja kotak kecil yang menempel pada jendela kereta. "Terima kasih, tapi saya tidak biasa makan buah sebelum makan nasi," jawab Citra dengan polos. "Memangnya kenapa? Apa kau akan sakit perut?" tanya pria itu penasaran. "Iya," kata Citra singkat. Pria itu hanya mengangguk paham dan mengulum senyum. Ia menghentikan aksi makan mangga. Mereka bercengkrama dengan sopan. Obrolan ringan yang mampu mengusir kebosanan Citra saat ini. "Jadi kamu mau kerja, semoga betah ya di kota," kata pria itu. "Terima kasih, saya masih harus banyak belajar di sini. Semoga majikan saya baik nanti," tutur Citra dengan penuh harap. "Pasti baik, kamu fokus saja tidak usah berpikir macam-macam," saran pria itu, dan Citra mengangguk. Setelah melewati empat jam perjalanan mereka akhirnya tiba di stasiun yang dituju. Dengan tujuan yang sama. Citra menunggu ibunya menjemputnya sementara pria itu sudah pergi entah kemana. --------- "Ini anak saya yang nomer satu, dia sekolah kelas enam SD, ini adiknya umur lima tahun masih TK, kerjanya mudah kok mbak tidak berat, kamu hanya perlu nyuci baju, setrika, ngepel, dan bersih-bersih rumah saja, kalau siang jemput anak-anak pulang sekolah, siram-siram tanaman depan, nanti saya tunjukkan dapur, dan kamar mandinya," jelas Kasih pada Citra panjang lebar. Ya, saat ini Citra telah sampai di tempat barunya. Meski hanya sebagai asisten rumah tangga, tetapi senyum di wajah ayunya tidak pernah luntur. Baginya pekerjaan ini sama dengan apa yang ia kerjakan di rumah, bedanya di sini setiap apa yang ia kerjakan akan menghasilkan rupiah. Kasih majikan Citra berusia tiga puluh lima tahun. Kulitnya putih bersih dengan rambut yang bergelombang, di berikan sentuhan warna kecoklatan. Suaminya Jhon empat puluh tahun. Dia bule dari negeri Paman Syam. Kasih mengajak berkeliling menunjukkan kamar Citra, serta tugas dan fungsi semua perabot yang ada di dalam rumah itu. "Baik Citra, kamu boleh istirahat dulu dan membereskan barang-barang bawaan ke lemari dulu. Semoga betah ya Citra," tutur Kasih. Ia lantas meninggalkan Citra di kamarnya. Citra dengan cepat membereskan baju-bajunya kedalam lemari lalu keluar dari kamar, mengambil sapu dan menyapu, mengepel mengelap meja makan. Memanaskan sayur dan meyiapkan kembali ke meja makan. Kasih yang melihat itu tersenyum puas dengan apa yang di lakukan oleh Citra. Ia menghampiri Citra. "Citra sudah waktunya jemput anak-anak sekolah, kamu ikut sama bapak ya, biar nanti tahu jalannya. Kamu bisa bawa motor?" tanya Kasih pada Citra. "Bisa Bu, tapi yang otomatis," jawab Citra dengan jujur. Ya, tentu saja Citra bisa karena dia dulu sekolah memakai motor matic yang dibelikan oleh orang tuanya. Tapi karena kebutuhan motor itu harus terjual. "Oke Citra, ada kok motor yang kamu maksud itu. Ya sudah sekarang kamu bersiap ya sama bapak," perintah Kasih. Citra segera melenggang menuju kamar mandi, mencuci muka dan berganti pakaian yang bersih. Perjalanan dengan menggunakan mobil memakan waktu cukup lama sekitar dua puluh lima menit. Dalam mobil Citra hanya diam menunduk, ia tidak berani menatap pada majikan lelakinya. Ia juga takut kalau akan di ajak berbicara dengan bahasa asing. "Citra? Lihat kedepan supaya kamu tahu dan hafal jalannya," tukas Jhon memecah keheningan. "Iya baik Tuan," sahut Citra dengan pelan. Ia mengangkat pandangannya menghapal setiap apa yang ia lihat. Sampai mobil itu berhenti di sekolah berwarna biru dan putih yang besar pagar hitam mengkilap besar sudah terbuka, banyak anak-anak keluar dari sana. Ada anak perempuan cantik, rambut di ikat kuda dan setinggi bahu Citra menghampiri mobil yang baru terparkir itu. Bahkan belum sempat Jhon mematikan mesinnya "Daddy?! Terlambat lagi?!" teriak gadis kecil itu. "Maaf sayang, Daddy harus berjalan perlahan agar Nanny Citra bisa hafal jalannya. Besok Nanny tidak akan telat jemput kamu, iya kan Nanny?" tanya Jhon pada Citra yang mana saat ini Citra sudah berada di samping anak itu. "Benar Nona, maaf karena sudah telat menjemput. Saya janji kedepannya Nanny Citra tidak akan telat," timpal Citra. "Janji Nanny? Nanny Citra cantik hi ... hi ... hi ...," puji Archa. Ya nama gadis kecil itu adalah Archa. Seorang lagi anak perempuan berlari dari dalam. "Papa!!" teriaknya ia berlari dan merentangkan tangan ingin di gendong oleh sang ayah. Jhon berlari kecil menghampiri Ardha bocah kecil nan imut itu. Badannya gendut dengan rambut keriting sebahu. "Papa? Siapa dia? Nanny aku?" tanya Ardha penasaran dengan keberadaan Citra. "Bukan dek, ini Nanny kakak. Dia cantik kaya kakak kan? Kamu tuh keriting jadi Nannynya juga harus keriting," ejek Archa. Ia sudah menggelayut pada lengan Citra. "Aaa ... Papa, kakak nakal," rengek Ardha. "Sudah, ayo kita pulang, mama sudah menunggu untuk makan siang yang sudah telat. Nanti Nanny Citranya gantian ya? Kalian yang akur jangan buat bertengkar oke?" tutur Jhon. "Yes Sir," sahut kedua anak Jhon. -------- Citra bangun setiap hari jam setengah empat pagi, ia mencuci baju memasak. Setelah itu menyiapkan baju untuk sekolah Archa dan Ardha. Membangunkan mereka dan mengurus mereka. Lalu bagaimana sikap anak-anak Kasih dan Jhon jika tidak ada orang tuanya? Apakah mereka kemarin tulus? Atau hanya ingin terlihat baik di depan orang tua mereka?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN