Sunyi.
Jalanan lengang.
Hanya suara deru mesin motor yang terdengar.
Moza yang mengendarai motor malam itu memilih menambah tarikan gas. Rintik hujan sejak tadi tidak berhenti, mengetuk kaca helm yang dia kenakan. Motor melaju di jalan aspal yang sepi. Mungkin karena gerimis sehingga pengendara motor malas turun ke jalan. Manik mata Moza berputar menatap sekeliling yang temaram. Bahkan tidak ada kendaraan lain selain miliknya.
Caca yang membonceng di belakang, mencengkeram ujung kemeja yang dikenakan Moza. Gadis itu kemudian berbisik, “Moza, aku kok rada merinding, ya?”
Moza menahan tawa karena ternyata dia tidak takut sendirian. “Sama. Aku juga ngeri sejak tadi. Sepi banget.”
“Kalau ada begal gimana?”
“Hus… Jangan nakut-nakutin ah. Dari tadi aku juga kepikiran begitu.”
Dari kejauhan, sorot lampu motor yang menggunakan lampu jarak jauh itu menangkap sebuah bayangan, sosok dua pria yang berdiri di tepi jalan. Tubuh mereka terlihat gagah.
Seketika itu Moza langsung menarik rem.
“Kenapa, Za?” Caca yang belum menyadari pemandangan di depan pun bertanya-tanya.
“Di depan ada orang, kok serem ya?”
“Duuhh… Iya. Mereka berewokan lagi.”
Secepat kilat, Moza memutar haluan motornya.
“Lah? Kita nggak jadi pulang?” seru Caca setengah ketakutan sambil sesekali menoleh ke belakang.
“Dari pada dibegal, mendingan … mendingan entah kemana ini.”
“Kalau kita muter-muter sepanjang malam, yang ada malah tambah larut malam kita masih ada di jalanan, Za.”
Moza tidak mengomentari. Pikiran Moza membayang pada berbagai kasus pembegalan menyeramkan yang sering terjadi di jalan sepi. Tadi sore, mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler menari. Kemudian mereka mampir ke toko buku. Mereka terjebak hujan sehingga menunggu hujan reda untuk pulang. Akhirnya pulang kemalaman.
Brak!
Seketika motor Moza terbanting bersama dengan dua tubuh mungil di atasnya.
“Aduh!” Caca berseru kesakitan.
Moza yang pinggangnya terbanting di aspal tidak mengeluarkan rintihan apapun. Ia menatap motor gede yang tegak berdiri di hadapannya. Tak lain lawan tabrakannya. Proses tabrakan memang tidak terlalu keras mengingat Moza dan lawannya mengendarai motor dengan kecepatan sedang, namun benturan di pinggang lumayan sakit.
Moza mengangkat lengan untuk menutupi matanya dari silaunya lampu motor. Setidaknya ada belasan motor yang mesinnya masih menyala di hadapannya.
Seorang pria yang menjadi lawan tabrak Moza, tampak menuruni motor dan segera menghampiri Moza, dia menegakkan motor milik Moza, lalu meraih lengan Moza dan membantu gadis itu bangkit. Tidak lupa dia juga membantu Caca berdiri.
Moza sekilas menatap pria bertubuh tinggi di hadapannya, lalu mengedar menatap pria-pria lain yang masih menunggang di atas motor masing-masing. Mereka mengenakan jaket seragam berwarna cokelat.
“Tadi ketemu calon begal, sekarang ketemu genk motor. Apes banget,” gerutu Caca di belakang Moza.
"Aku bukan orang jahat, kok," celetuk pria bernama Musa Al Fatih itu. "Walaupun aku dan temen-temen adalah geng motor, tapi kami nggak akan mencelakai."
Caca melongo, perasaan tadi ia bicara sangat pelan tapi ternyata pria itu mendengarnya. Tajam sekali pendengaran pria itu. Ck ck ck…
"Nggak mencelakai gimana, lah ini bukannya kita udah celaka ya," celetuk Caca sambil melirik siku tangan Moza yang tergores.
Moza berharap Caca membungkam mulutnya, tidak cerewet begitu, takut para pria di hadapannya malah brutal dan menganu-anu.
"Sorry!" ucap Musa.
"Kalau kamu mengaku bukan orang jahat, kamu mesti tanggung jawab kan?" celetuk Caca lagi membuat Moza mengangkat alis. Teman Moza itu bawel sekali dan terus nyerocos, tidak ada takut-takutnya sama sekali. "Iya kan, Za? Cowok ini mesti tanggung jawab karena udah bikin kita celaka."
Moza sontak menatap pria di hadapannya dengan kepala setengah menunduk, setengah bingung menentukan sikap.
Musa pun mengawasi wajah Moza yang malu-malu sekaligus takut.
"Ya udah, jadi kalian minta pertanggung jawaban apa? Dinikahin?" sela Gafar, pria yang masih nangkring di atas motor tergelak. Tangannya menyilang di dadaa. Terkekeh menertawakan muka-muka polos gadis kecil itu. Disambut gelak tawa lainnya.
Kulit wajah Moza benar-benar memerah diledekin begitu, andai dalam keadaan terang, pasti kulit wajahnya yang putih dan kini sudah berubah memucat itu kelihatan jelas.
“Atau gini aja, biar adil, kita ke kantor polisi aja. Supaya polisi bisa menghukum siapa yang salah? Yang paling penting, kalian bawa SIM dan STNK lengkap kan?” ucap Musa masih terus mengawasi wajah cantik Moza.
Moza berbalik dan berbisik. Keduanya tampak panik.
“Aku nggak bawa STNK. Tapi SIM ada. Nanti malah kita kena tilang lagi,” bisik Moza panik.
“Duh!” Caca tak kalah panik.
Musa terkekeh pelan melihat dua gadis kecil itu, terlebih muka Moza berubah mendung seperti ingin menangis. Sudah kena tabrak, malah kena tilang lagi.