Pagi itu Moza mengendarai motor metiknya di jalan sepi yang kiri kanannya ditumbuhi rerumputan liar. Suasana perkampungan kental sekali. Rumah Moza terletak paling ujung di sudut perkampungan, melewati persawahan. Di sanalah rumah tunggal tanpa tetangga. Sebab ayahnya Moza membangun rumah di tanah persawahan. Dulu, tanah itu dijual murah, dan hanya tanah itulah yang harganya terjangkau oleh ayahnya Moza, itu pun sisanya dicicil.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga kilo meter, akhirnya Moza sampai di tempat tujuan. Namun ia bingung saat melihat pemandangan di depan mata. Helm yang tergantung di tangannya terlepas dan menggelinding.
Di mana rumahnya? Dimana halaman luas yang ditanami bunga-bunga? Semuanya lenyap. Kini yang tampak di depan matanya hanya berupa hamparan luas lumpur. Bahkan ujung genting rumahnya juga tidak terlihat.
“Ya Tuhan…” Suara Moza hampir seperti bisikan. “Ada apa ini?”
Lalu dimana ayah, ibu dan adiknya? Kenapa rumahnya lenyap dan berubah menjadi hamparan lumpur? Bahkan sawah di sana seperti disulap menjadi hamparan lumpur, padi yang seharusnya menguning pun tidak tampak meski seujung kuku.
“Ibuuuuu… Ayaaaah…” jerit Moza yang bingung harus berbuat apa. Menatap hamparan luas tanah itu saja sudah membuatnya panik dan frustasi.
Moza semakin histeris saat melihat sedikit ujung rumahnya yang ia dapati di tengah-tengah hamparan lumpur. Tanah amblas dan terendam lumpur yang entah datangnya dari mana. Bencana alamkah?
Moza bersimpuh, berlutut sambil menangis. Mengingat suara ibunya di telepon tadi malam, artinya itu adalah terakhir kalinya ia mendengar suara ibunya. Semuanya seperti mimpi. Moza benar-benar sendirian sekarang. Sebatang kara.
Tidak ada orang, Moza bingung harus mengadu kepada siapa. Bingung harus melakukan apa. Bingung bertanya kepada siapa.
Tak lama seorang wanita yang baru saja turun dari mobil mengalihkan perhatian Moza. Sambil berlinangan air mata, Moza mengawasi wanita yang penampilannya berkelas dengan prediksi usia kisaran 42 tahun. Wanita tu tampak terkejut melihat pemandangan di depan mata. Dia menghampiri Moza.
“Nak, apa yang terjadi? Bukankah di sekitar sini ada rumahnya Zaskia? Tapi kok begini?” Wanita itu menyebut nama ibunya Moza.
“Ibuku di dalam sana! Rumahnya tenggelam oleh lumpur. Hiks…” Moza terisak.
“Ibumu namanya Zaskia?”
Moza mengangguk dengan wajah sembab dan tangis mengharu biru.
Wanita berkulit putih itu meraih pundak Moza, membantunya berdiri. “Ya Tuhan…” Ia ikut menangis. Air matanya meleleh. “Kemari, Nak!” Ia memeluk Moza, mengusap kepala gadis kecil yang kebingungan itu.
Tanpa banyak Tanya, Moza hanya bisa terisak.
“Aku Casilda, sahabat lama ibumu. Sehari yang lalu ibumu sempat mengabarkan alamat rumahnya di sini. Dan aku kemari ingin bertemu dengan ibumu, tapi malah begini kejadiannya,” ucap wanita itu dengan suara gemetar. “Kami bersahabat sangat dekat.”
Moza tidak menanggapi, hanya isakan yang keluar dari mulutnya.
Tak lama ada warga lain yang memergoki kejadian itu. Warga heboh.
Casilda meminta ijin pada warga untuk menolong Moza.
Evakuasi jenazah kedua orang tua dan adik Moza cukup dramatis. Diiringi tangis histeris Moza.
Banyak warga yang bersimpati terhadap Moza yang kini sebatang kara.
“Ya udah, setelah pemakaman selesai, kamu ikut dengan Tante. Tinggal di rumah tante dulu,” ucap Casilda tampak iba pada Moza. Sebelum Moza memberi jawaban, gadis kecil itu jatuh pingsan. Segera Casilda memerintah supirnya untuk membawa Moza ke mobil.
***