Bayangan-bayangan kesakitan dan rintihan dari seorang pemuda yang masih berusia dua puluh dua tahun itu, mengusik ketenangan tidur Damar Rahit.
Darah yang mengalir perlahan menjadi genangan dan meresap masuk ke dalam tanah, selalu menghantui pada setiap malam-malamnya, seindah apapun dia melewati malam dengan wanita-wanita incarannya.
Lelaki gagah yang super tampan itu, berkeringat dingin, dia terbangun dan tidak bisa melanjutkan tidurnya. Selama satu minggu ini selalu bermimpi buruk, berupa tayangan kejadian dari sejak awal dia melihat pemuda yang ceria dan menyenangkan, mati terbunuh secara mengenaskan di depan matanya.
Sorot mata pemuda tanpa dosa itu, menatapnya dengan sayu dan tidak mengerti, seolah bertanya kepadanya,
"Apa salahku? Kenapa kau lakukan ini kepadaku? Kenapa?" Sebelum sang pemuda menghembuskan napas terakhirnya.
"Aahh, s**t! ... aku tidak tahuuu ... aku tidak tahuuu ...." teriak Damar sambil menjambak-jambak rambut dengan kedua tangannya.
Nasib telah membawanya ke dunia yang jauh dari bayangan Damar sebelumnya. Hatinya sangat marah, tapi ia tidak berdaya. Ketidakberdayaan itu membuat ego pada dirinya terluka.
Keesokan harinya, saat Damar harus menjalankan tugasnya sebagai Pengacara,
berdiri berlawanan dengan Jaksa penuntut umum untuk membela kliennya, dia tampak lusuh, sulit berkonsentrasi hingga asistennya harus menegur berulang kali, hal ini membuat resah sebuah lembaga bantuan hukum yang menaunginya.
Hanya saja, Damar Rahit bukan sembarang Pengacara. Dia mempunyai kegeniusan dan berkarakter unik. Meskipun baru tiga tahun bergabung dengan sebuah lembaga bantuan hukum, sejak ia menerima sertifikat pendidikan sebagai pengacara dan resmi menjadi anggota asosiasi pengacara pada usianya yang baru menginjak dua puluh tiga tahun, sepak terjangnya di ruang sidang, memukau para senior-senior di bidang hukum lainnya.
Pengacara yang menjadi lawannya, Penuntut umum, bahkan Hakim pun tidak berkutik ketika Damar mengajukan eksepsi atau nota bantahan sampai pemaparan bukti-bukti, dengan lihai Damar mampu berkelit, membuktikan dirinya sanggup mengeluarkan klien-kliennya pada kesulitan selama masa sidang berlangsung.
Dalam jangka waktu tiga tahun, namanya melejit ke seantero Nusantara. Lembaga bantuan hukum yang menaunginya mendadak dikenal masyarakat luas, setelah belasan tahun berdiri dan bersusah payah untuk bisa tetap eksis sebagai wadah pembela.
Damar Rahit, lulusan universitas hukum ternama dengan predikat c*m laude, telah menghabiskan satu-satunya rumah peninggalan mendiang sang ayah untuk membiayai kuliahnya.
Ia membawa Ibunya mengontrak sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Pengorbanan yang tidak sedikit bagi Ibunya Damar Rahit, demi kesuksesan putra satu-satunya itu.
Dalam dunia pergaulan, Damar Rahit terkenal sebagai play boy kelas teri, tapi itu dulu, saat dirinya masih duduk di bangku kuliah. Perawakannya yang tinggi dibingkai wajah tampan, berkulit cerah dengan sorot mata hangat saat sedang menatap wanita-wanita bening, membuat siapa pun yang melihatnya tergoda dan dengan suka rela menyerahkan dirinya kepada Damar.
Fisiknya yang digilai oleh para wanita, membuat Damar tidak butuh modal lain berupa rayuan maut atau pun dompet yang tebal. Sungguh tidak perlu baginya. Damar telah menikmati berbagai jenis kencan-kencannya dari yang biasa-biasa saja sampai kencan mewah tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
Setelah namanya dikenal sebagai Pengacara muda paling berbakat, wajahnya bersliweran di media baik media offline mainstream maupun media online, juga selalu didatangi oleh media infotainment, karena Damar menjadi salah satu pengacara idola para artis.
Kerja kerasnya terbayar, meskipun baru mampu membelikan Ibunya sebuah rumah sederhana yang asri, janji Damar adalah, ini persinggahan sementara bagi Ibu tercinta, suatu saat dia akan merumahkan Ibunya di sebuah rumah besar dan bagus yang berlokasi di kawasan elit.
"Gila lo, Damar? Lo main sama berapa cewek sih tadi malam? Asli parah lo ... bisa-bisanya lo gak konsen saat sidang." Asisten Damar yang merupakan salah satu teman dekatnya, Ronald, mengomel saat mereka meninggalkan gedung pengadilan.
Damar terdiam. Pikirannya memang sangat kacau. Bayangan pemuda itu, terus menerus melekat pada matanya, pada ingatannya, membuatnya kehabisan tenaga.
"Anterin gue ke rumah, gue butuh ketemu nyokap," ujar Damar kepada Ronald yang langsung menolak,
"Gak bisa ah, kita harus balik kantor dulu, kan elo tahu hari ini ada meeting penting. Klien kita artis yang ketangkap bikin video m***m sama satu lagi penipuan investasi. Mereka kan maunya elo yang wakilin," sahut Ronald sambil geleng-geleng kepala.
"Yaah payah lo, ditunda sampai besok 'kan bisa? Lagian mereka yang butuh. Reschedule aja sih ...." Damar mengerutkan dahinya dalam-dalam.
"Entar dianggapnya lo nolak klien, berarti lo sendiri yang melanggar undang-undang." Ronald menjawab sekenanya.
"Itu kan anggapan. Tergantung lo ngomongnya gimana ke mereka. Gue cuma minta janji ulang." Damar masih berusaha sabar menghadapi sahabatnya.
Mobil yang dikemudikan Ronald berhenti di lampu merah. Damar menggunakan kesempatan itu untuk segera turun dari mobil yang ditumpanginya, membanting pintu sekencang-kencangnya dan berlari berlawanan arah, menuju taksi tidak berpenumpang dan memasukinya, menghempaskan dirinya di kursi penumpang seraya menarik napas dengan kasar.
Ronald yang terkejut, berteriak-teriak memanggil Damar, tapi dia tidak bisa turun dari mobil untuk mengejar temannya itu, karena indikator digital lampu lalu lintas telah menunjukkan angka nol, yang artinya lampu hijau akan menyala dalam satu detik kemudian.
"Aargh ... Damaar sialan! Napa sih tuh anak?!" seru Ronald, bertanya kepada dirinya sendiri.
Damar menyebutkan alamat kepada sopir taksi, kemudian dia menyilangkan tangannya di d**a*, memejamkan matanya dan merebahkan kepalanya pada sandaran kursi paling atas.
Tidak ada satu pun hal yang melingkupi kepalanya selain pemuda ganteng yang bersimbah darah dan umurnya hanya terpaut empat tahun saja darinya.
Sementara Damar sendiri, di usia dua puluh dua tahun, masih menjalani semester enam, pada fakultas hukum, tengah melakukan praktek pengadilan semu sebagai ajang latihan untuk menjadi Hakim, Panitera, Pengacara, Jaksa, saksi bahkan pengunjung sidang.
Masa-masa penuh tawa canda dibalik keseriusan belajar, dengan harapan besar akan kelulusan gemilang dan karier yang mentereng.
Satu-dua air mata jatuh dari kedua sudut matanya. Bayangan akan tatapan mata dari pemuda itu benar-benar tidak mau hilang dari pikirannya. Kematian sia-sia yang menghampirinya, telah memutus masa depannya, memutus ikatan dari kedua orang tuanya. Damar bergidik. Pengalaman paling gila dan menyeramkan dari yang pernah dialaminya.
Setibanya di rumah yang dihuni oleh Maryam, Ibu dari Damar Rahit, yang berjarak tiga puluh kilo meter dari kota, Damar terduduk lemas di lantai, dihadapan Maryam.
Tanpa merasa malu karena telah menjadi lelaki dewasa berusia dua puluh enam tahun, dengan profesi keren, Damar meraung, menangis seraya memeluk kaki Maryam yang sedang duduk di sofa.
Tangan Halus Maryam menyentuh rambut di kepala Damar lalu mengelusnya dengan penuh perasaan.
Mendengar raungan putranya, air mata menetes di pipinya yang putih. Rasa terkejutnya atas kedatangan Damar yang kusut di jam kerja berganti dengan perasaan pedih, bagaimana pun, putranya yang kuat dan selalu tegar dalam kehidupannya selama ini, telah mengalami hal yang sangat buruk hingga datang kepadanya dengan tangisan pilu.
Nalurinya sebagai seorang Ibu, telah merasakan ada sesuatu yang sangat mengerikan yang telah dialami oleh putra tercinta. Hanya saja, Maryam masih bungkam, belum menanyakan apapun, dia memilih untuk memberikan waktu kepada Damar, jika putranya berkenan, tentu dia akan berceritera sendiri tanpa harus diminta atau dipertanyakan lebih dulu.
Wanita setengah baya itu menghela napas panjang, ia merasakan sesuatu yang besar telah terjadi dan merasakan juga akan ada akibat yang luar biasa memilukan di kemudian hari, tapi apakah itu, ia tidak tahu jawabannya. "Semoga kamu baik-baik saja, Nak. Di manapun kamu berada ...," do'anya dalam hati.