Lelaki muda yang selalu gagah menaklukan wanita paling liar sekalipun di atas ranjang, saat itu menggulung tubuhnya dan berguling-guling menahan rasa sakit yang luar biasa dari ujung kaki hingga kepala.
Peluh yang mengalir telah menjadi lem bagi butiran pasir dan membungkus tubuhnya. Dari mulutnya terdengar erangan dan desisan silih berganti. Meski rasa sakit yang dideritanya hanya berlangsung dalam hitungan menit, Damar Rahit, tidak ingin mengalaminya lagi demi apapun itu.
Rasa sakit yang teramat sangat, secara tiba-tiba berhenti begitu saja. Damar merasa aneh dengan hal itu, sebagai gantinya, Damar merasakan tubuhnya begitu ringan, sampai-sampai dia khawatir kalau bergerak sedikit saja, tubuhnya akan melayang di udara. Damar membekukan diri, namun otaknya aktif bekerja.
"Pasir yang menempel di tubuhku ini sangat tidak nyaman," batin Damar Rahit.
Seketika butiran-butiran pasir luruh dari seluruh kulit dan baju Damar, bagaikan tersiram air yang sangat deras.
Damar yang terlentang merasakan kalau punggungnya dan bagian belakang dari tubuhnya yang lain, tidak menempel pada hamparan pasir di bawahnya, tapi dia seperti merasakan ada jarak sekitar lima belas senti meter, tubuhnya tidak terasa melayang namun merasa ada yang menyangga, sangat empuk dan lembut, hanya saja dia tidak dapat melihat benda yang menyangganya itu, melainkan hanya bisa merasakannya saja.
Rasa isengnya muncul, Damar mengguling-gulingkan tubuhnya dari penyangga tidak kasat mata itu, dia masih merasakan penyangga, Dia tengkurap menatap butiran pasir di bawahnya, lalu tangannya menyentuh pasir, menggenggam dan memainkannya.
Pasir itu bisa diraihnya, hanya saja tidak menempel di kulitnya. Sungguh Ajaib.
Damar Rahit merasa aneh karena peristiwa itu tidak masuk logika dari sudut pandang manapun. Dia menganggap semuanya hanya mainan, mainan untuk mengusir rasa sepi di pulau mistis itu.
Tubuhnya berguling-guling, merasakan kenyamanan berada diatas alas yang empuk, kemudian dia mencoba bangkit untuk berdiri. Ajaib, kakinya bisa menapak pada sesuatu yang keras namun tetap tidak menyentuh pasir.
Dia melompat-lompat seperti anak kecil, sesaat dia tersadar, baru saja tubuhnya kemasukan sebuah cahaya berbentuk panah dengan ujung yang tajam, lalu dia merasa sangat kesakitan, sekejap kemudian, rasa sakit itu lenyap tidak bersisa, setelahnya dia merasakan tubuhnya begitu ringan.
Setelah membatin bahwa dia tidak nyaman dengan butiran pasir yang menempel pada tubuhnya, pasir itu luruh dan sekarang dia tidak bisa menyentuh langsung pasir itu, ada sebuah pelindung di luar kulitnya.
Tiba-tiba, Damar teringat Soferina.
"Apakah dia akan datang kalau aku menginginkannya datang?" batin Damar.
"Ferin? Kamu di mana? Datanglah Ferin, jangan biarkan aku yang rela mengantarmu ke sini, tapi kamu tega meninggalkanku," gumam Damar.
Beberapa saat kemudian, suara gesekan pohon aneh terdengar, Damar Rahit menoleh ke asal suara, ia kembali menyaksikan batang pohon membuka dan muncul sosok Soferina melalui celah pohon, melangkah ke arahnya dengan anggun bagaikan putri raja.
Damar Rahit memiringkan kepalanya seraya menatap lurus tanpa berkedip. Soferina memakai baju yang menurutnya sangat kuno dan berat. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, di keningnya melilit sebuah mahkota berkilauan meskipun di dalam gelap. Bajunya model kemben yang menampakkan bahu indahnya, selendang tipis tanpa simpul melilit di pinggang rampingnya, bagian bawah tampak rok lebar sampai menutupi kedua kakinya.
Cahaya keemasan memancar dari tubuhnya, wangi semerbak melati mengambang di udara, membius Damar yang ternganga, takjub akan keindahan yang tersaji di depannya, meskipun, gaya pakaian seperti itu tampak kuno, namun kemegahan dan keindahannya membuat Damar ingin berlutut. Tapi dia tidak melakukannya.
"Apa yang kamu inginkan Damar Rahit?" Suara yang begitu enak didengar berkekuatan magis, membuat jiwa nakal Damar timbul ke permukaan.
"Aku ... menginginkanmu ...," jawab Damar tanpa sadar.
Soferina terkekeh halus dengan gaya yang sangat anggun. Kelopak matanya turun lalu membuka kembali dengan cara yang tidak akan pernah Damar Rahit lupakan. Begitu cantik.
"Istirahatlah Damar, kita akan mengulang kebersamaan mengisi perut kita dan menonton lalu lalang orang, seperti yang pernah kita lakukan." Soferina mengatakan kalimat yang berbeda dengan manusia pada umumnya.
"Baiklah, aku akan istirahat selama kamu ada di sini, menemaniku." Damar tidak ingin ditinggalkan lagi olehnya.
"Kenapa kamu berpenampilan seperti itu? walaupun semakin cantik, tapi itu kan sangat kuno dan tidak praktis," sambung Damar sambil meneliti Soferina dari atas ke bawah.
Kembali Soferina terkekeh, kilauan manik mata hitamnya membius Damar Rahit yang seketika terpana.
"Di sini tidak boleh memakai pakaian modern seperti kalian, aku akan normal di matamu, setelah kita kembali ke dunia kamu," sahut Soferina, menyerahkan senyum manis kepada Damar.
Damar Rahit mengernyitkan dahinya, ia terdiam sejenak dan berpikir.
"Duniaku? Lantas pulau ini bukan berada di duniaku, bukan di atas bumi yang sama? Tidak mungkin, Tidak sampai satu hari perjalanan untuk tiba di sini." Damar teringat perjalanan panjang menuju pulau itu.
Soferina tersenyum melihat Damar Rahit yang kebingungan. "Tidurlah Damar ... tidur ...." Nada Soferina mengalun yang membuat Damar merasa sangat mengantuk. Tidak berapa kemudian, Damar Rahit tertidur dengan sangat nyaman.
Soferina tersenyum, sorot matanya lembut saat menatap Damar Rahit. Dia telah ditugaskan oleh Renta, tetua pulau mistik yang merupakan sepupu dari kakeknya Soferina, untuk mendampingi Damar Rahit dalam mengemban misi dari tetua pulau.
Kedua tangan Soferina mengangkat ke atas kepalanya lalu mengayun kembali ke bawah, Jemarinya yang lentik, membentuk sebaris tulisan di udara di hadapannya, mulutnya komat-kamit sambil memejamkan matanya.
Soferina melakukan ritual singkat, dalam rangka mengirim Damar Rahit kembali ke dunia normalnya. Kemudian dia berbalik, melangkah menuju pohon yang tersibak dan menghilang di balik pohon.
Sementara itu, sesuatu terjadi pada Damar Rahit. Seluruh tubuhnya dilingkupi oleh cahaya berkilauan yang beterbangan seperti kunang-kunang, hanya saja, cahaya ini lebih terang dan lebih berwarna.
Tubuh Damar Rahit perlahan mengangkat ke udara, semakin lama semakin tinggi. Dalam keadaan tertidur lelap, Damar Rahit dipulangkan ke kamarnya sendiri di sebuah Apartemen di pusat kota. Hanya dalam waktu satu menit saja.
Paginya, Damar Rahit bangun kesiangan, melihat jam dinding yang langsung terkejut, Damar melompat dari kasur, tergesa-gesa menuju kamar mandi.
Lelaki muda tersebut harus sampai di ruang sidang pada jam pertama, yaitu jam delapan. Sementara saat ini, sudah jam tujuh lewat empat puluh menit.
Damar menggosok gigi cepat-cepat dan hanya sempat cuci muka.
"Sialan, kenapa bisa telat gini sih bangunnya," umpat Damar di dalam hatinya.
Dia menyambar baju kemeja dengan asal dari lemari pakaiannya, terburu-buru memakai celana panjangnya mengambil tas kerja yang berisi laptop, meraih sepatu sampai lupa tidak memakai kaus kaki.
Damar melesat ke luar menuju lift. Melihat semua lift berada di lantai dasar sementara dia berada di lantai dua puluh tujuh dan pastinya lift akan meluncur ke lantai paling atas dulu lalu berhenti di tiap lantai untuk mengangkut penghuni yang akan bekerja, Damar memutuskan menuruni tangga.
Damai mulai panik, saat membuka pintu yang mengarah ke tangga, waktu terus berjalan, belum tentu jalanan tidak macet.
"Cepaatt ...," gumam Damar dalam paniknya.
Keajaiban terjadi, belum menginjakkan kaki di ujung tangga, dalam satu detik Damar sudah berada di ujung tangga lantai dasar.
Damar celingukan merasa aneh dan ingin memastikan dia sebenarnya berada di mana. Refleks dia menoleh ke arah jalan raya melalui kaca besar di depannya. Tampak jalanan yang macet, posisi kendaraan stuck, tidak ada yang melaju.
Merasa yakin sudah berada di lantai dasar, Damar keluar dari lobby, merasa frustasi melihat kemacetan yang begitu parah. Meskipun jarak ke pengadilan hanya sekitar enam kilometer saja, namun dengan kemacetan seperti ini, butuh waktu satu setengah jam untuk sampai tujuan, itu pun kalau dia menggunakan jasa ojek.
"Ah, gimana caranya aku pergi?!" teriak tertahan Damar dengan kesal.
"Ayolaah ... sudah sangat terlambat iniiii ...." Damar dilanda panik dan kebingungan.
Tanpa disadarinya, dalam satu menit, Damar tiba-tiba sudah berada di depan toilet bagian dalam di gedung pengadilan.
Waktu menunujukkan pukul tujuh lewat lima puluh satu.
Damar tidak ingin memikirkan bagaimana caranya dia bisa secara tiba-tiba berada di gedung pengadilan sementara dia belum melakukan perjalanan? Baginya ada hal lebih penting yang harus dilakukan.
Ia berlari ke arah ruang sidang empat, ia harus melaporkan kedatangannya kepada petugas pengadilan dan bersiap-siap dengan dokumen pembelaan.
Ronald yang melihat kehadiran Damar merasa sangat heran.
"Hit, bukannya lo lagi traveling ke ujung pulau ya? kapan nyampe lo? Kan udah ijin lima hari gak masuk," cecar Ronald yang benar-benar merasa aneh.
"Gak jadi," sahut Damar pendek sambil merampas berkas yang ada di tangan Ronald, lalu berjalan mendahului Ronald yang masih menatapnya tidak percaya.
Sidang hanya berlangsung satu jam saja. Setelah mendapatkan jadwal untuk sidang berikutnya, Damar undur diri kepada kliennya, lalu memberikan beberapa instruksi kepada Ronald, yang masih harus berada di gedung pengadilan.
Damar berjalan menuju pintu keluar, dengan santai dia menyegat taksi untuk mampir ke kantornya.
Jalanan masih macet, Damar memejamkan mata, seketika ia tersentak kaget. Dia ingat semalam ia berada di mana, tapi saat bangun dia telah berada di kamarnya sendiri. Padahal, perjalanan selama hampir sepuluh jam yang ditempuhnya itu nyata. Bersama Soferina.
Semua masih teringat dengan jelas, kedatangannya ke pulau misterius itu, bersama Soferina, lalu Soferina menghilang, awan yang bergulung, pohon aneh yang rapat, topi muncung tetua pulau, Soferina yang memakai pakaian kuno, panah cahaya yang masuk melesak ke dalam tubuhnya, pasir yang tidak menyentuh kulitnya dan lain-lain.
Damar memikirkan semuanya sambil memejamkan mata. Satu benang merah sudah dia temukan. Setiap dia mengucapkan sesuatu dalam hatinya yang bernada perintah, saat itu juga sesuatu tersebut terjadi.
Kelopak matanya terbuka, Damar belum merasa pasti dengan benang merah yang telah ditemukannya, tapi dia akan mencobanya nanti.
Kalau memang benar dia punya kekuatan paranormal saat ini, dia yakin harus berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakannya, padahal selama ini, Damar cenderung bersikap seenaknya.
Contoh nyata adalah pagi tadi. Saat akan menuruni tangga, dia tidak sempat melakukannya, tahu-tahu sudah sampai di bawah. Saat masih bingung mau ke gedung pengadilan menggunakan apa, tiba-tiba sudah berada di depan toilet samping ruang sidangnya.
"Macet kok begini amat ya, ada apa ini sebenarnya," keluh sopir taksi.
Sopir itu tampak seusia Damar, wajahnya menunjukkan dia orang yang sabar, tapi entah kenapa dia mengeluh tentang kemacetan itu.
Damar Rahit menatap lekat-lekat sang sopir dari kursi penumpang di belakang. Tiba-tiba Damar merasakan sesuatu.
"Pak, ini di sini bapak belok saja." Damar menunjuk ke arah kiri, meminta sopir itu berbelok, ke sebuah jalan kecil yang jaraknya hanya satu mobil saja darinya.
"Tapi Pak, itu muter jalannya sangat jauh ke kantor Bapak," sahut sopir taksi.
"Belok saja Pak, nanti saya turun di sana, Bapak harus segera ke rumah sakit, keluarga Bapak membutuhkan Bapak saat ini. Coba cek telepon genggamnya Pak," sahut Damar dengan sangat lancar.
Sopir taksi terkejut, dari mana penumpangnya itu tahu bahwa ada keluarganya yang sedang dirawat di rumah sakit? Dia merogoh saku celananya untuk mengambil telepon genggamnya yang sengaja dipasang mode silent.
Semakin merasa terkejut, karena benar saja, ada puluhan miss call tertera di layar telepon genggamnya, miss call dari Ibunya.
Sopir taksi membelokkan setir setelah bisa merayap dalam kemacetan ke kiri jalan.
"Apakah Bapak mengenal saya?" Sopir itu menoleh kepada Damar setelah mobilnya berhenti di pinggir jalan.
"Tidak. Semoga semuanya baik-baik saja ya Pak. Tolong terima ini, saya tahu Bapak butuh biaya nanti. Semoga bisa membantu."
Damar mengeluarkan satu gepok uang senilai lima juta dari tasnya.
Uang tersebut disodorkannya kepada sopir taksi yang melongo dan terkaget-kaget. Sopir itu sampai lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada penumpangnya itu.
Damar Rahit turun dari mobil taksi. Melangkah menuju pangkalan ojek yang tidak jauh dari sana.