Tangan halus Soferina meraih kedua tangan Damar dan menelitinya dengan seksama. Akhirnya Soferina memilih tangan kiri Damar dan membuka telapaknya. Ujung jari telunjuk Soferina menyentuh tengah-tengah telapak tangan Damar.
Samar-samar, selarik cahaya keunguan keluar dari ujung jari Soferina. Damar tersentak hendak menarik tangannya, tapi ia tidak berhasil melakukannya.
Sebuah kekuatan besar, seakan mematri tangan itu hingga tidak bisa digerakkan sama sekali. Sementara Soferina terlihat fokus pada larik cahaya tersebut yang bagi Damar sangat menyengat dan menyakitkan.
Damar meringis pelan, ingin berteriak tapi ia malu terlebih karena dirinya berada di tempat umum, beberapa orang nampak berlalu lalang di belakang mereka.
Sekitar tiga menit dalam kesakitan, akhirnya Soferina melepaskan tangan Damar dengan hati-hati. Di atas telapak tangan Damar, terlihat sebuah benda pipih berwarna kebiruan seukuran uang koin yang terkecil.
Rasa sakit yang tiba-tiba menghilang tanpa meninggalkan bekas, membuat Damar kembali merasa heran. Lebih heran lagi melihat benda pipih itu tiba-tiba muncul di tangannya.
"Apa ini?" tanya Damar seraya melihat benda itu lebih dekat.
"Itu semacam pemancar yang mengirimkan signal ke pulau. Berisi laporan-laporan tentang proses dan eksekusi misi kamu." Soferina menatap benda indah itu.
"Canggih sekali tekhnologinya?" tanya Damar keheranan sekaligus merasa kagum.
"Sebenarnya itu batu alam yang hanya ada di pulau mistis. Sayangnya, batu itu telah ditempa oleh ilmu selama ratusan tahun. Anggap saja batu ini bernyawa, hingga bisa memberikan laporan kepada tetua. Tapi, saat ini dia sedang tidak berfungsi. Aku melumpuhkannya saat akan mengeluarkannya dari tanganmu tadi," papar Soferina sambil tersenyum.
"Trus, harus kuapakan ini?" tanya Damar dengan mimik wajah terus memancarkan kekaguman.
"Benda ini sejenis batu yang unik, dia bisa keras dipermukaan yang keras, bisa lunak jika kamu meletakkannya di tanah, bisa serapuh air jika diletakkan dalam air, makanya dia bisa tidak nampak berada ditanganmu karena dia mengikuti aliran darahmu. Buang saja ke danau, karena ilmu yang menyertainya tidak akan bisa hilang, tapi kamu tidak bisa memilikinya," sahut Soferina lagi.
Hati kecil Damar sangat tidak rela jika barang yang unik dan indah itu dibuang. Hanya sana, ia tidak punya pilihan lain. Kalau ini adalah caranya terputus dari dunia pulau mistik, maka ia harus membuangnya.
Damar berdiri, sambil komat kamit berdoa pendek. Tangannya mengayun hendak melemparkan benda itu, tiba-tiba, Damar limbung karena batu kecil itu mendadak berat, seberat bola bowling.
Dia menoleh ke arah Soferina yang mengangguk kepadanya.
"Lempar saja," ujar Soferina dengan yakin.
Tanpa membuang waktu lagi, Damar merubah gaya melempar menjadi dari bawah, persis seperti orang melempar bola bowling.
Byuur
Suara benda kecil mempunyai efek jatuh yang kuat. Air danau yang tenang tiba-tiba naik ke atas dan pinggirannya tumpah, menciprat dan membasahi seluruh orang yang sedang berada di pinggiran danau termasuk Damar dan Soferina. Mereka basah kuyup.
Soferina tertawa terpingkal-pingkal, membuat Damar merasa heran,
"Apa yang lucu, kok ketawa?" tanya Damar seraya melihat dirinya sendiri yang basah dari ujung rambut sampai kaki.
"Ah ...," desis Damar melihat Soferina dengan baju basah mencetak lekuk tubuhnya yang seksi.
Sesaat Damar bengong melihat Soferina yang masih tertawa dengan lepas. Terpana akan bentuk tubuh yang di matanya nyaris sempurna. Otaknya melayang-layang memikirkan hal m***m.
Sementara orang-orang di sekitarnya, bergerombol dan hiruk pikuk atas fenomena yang baru saja terjadi. Mereka penasaran dengan sesuatu yang jatuh dari langit.
"Meteor kali ya?"
"Lah, iya, tapi masa meteor cuma segitu? Bukannya kalau meteor pasti terus menghujam ke tanah ya? Air danau ya bakal kesedot dong"
"Meteornya cuma sebiji sebesar butiran kerikil kali, Bang?"
"Iya, ya, aneh banget. Benda apa sih itu?"
"Ada yang berani terjun ke danau?"
Dan keramaian lain yang didengar oleh Damar dan Soferina. Sejurus kemudian, Damarpun ikut terbahak-bahak bersama Soferina. Merasa lucu dengan keadaan yang terjadi.
Damar berdiri, tangannya menarik tangan Soferina dan ia meraih tikar kain tebal yang dipakai untuk duduk mereka. Tikar itu basah, Damar memerasnya lalu menyampirkannya pada bahu Soferina sambil membereskan tas bekal.
Dia mengajak Soferina keluar dari sana dan membawa Soferina pulang ke rumahnya untuk mandi.
"Apakah ibumu tidak apa-apa jika melihatku?" Soferina mendadak merasa gugup.
Damar merasakan kegugupan Soferina dan tersenyum samar.
"Jika kamu hanya menganggapku teman, seharusnya tidak apa-apa. Kecuali kamu menganggapku special, maka kamu akan gugup," sahut Damar menyindir Soferina.
Plak
Pukulan Soferina melayang ke lengan Damar menyisakan rasa perih bagi Damar yang tergelak dalam tawa. Sementara Soferina cemberut dengan pipi bersemu merah.
Mereka sampai di rumah Damar yang asri. Maryam berada di taman kecilnya sedang memindah-mindahkan pot bunga anggrek, kepalanya beralih menoleh ke arah suara mobil yang menghampirinya, lalu meletakkan pot bunga yang sedang diangkatnya dan melangkah menuju pagar rumah.
Namun, Damar dengan sigap keluar dari mobil, dia tidak akan membiarkan Maryam membukakan pagar untuknya.
"Hai, Ma," sapa Damar.
"Kok cepat sekali sudah pulang lagi, loh, kenapa bajumu?" tanya Maryam dengan keheranan melihat baju yang dikenakan oleh putranya masih basah.
"Iya Ma, kami kecipratan air danau. Mobilnya basah, biar nanti ke salon mobil aja ya, Ma," tutur Damar seraya mendorong pagar rumahnya, lalu kembali ke mobil dan memasukkannya ke dalam garasi yang terbuka.
Damar membukakan pintu untuk Soferina yang masih berbalut tikar piknik. Maryam ternganga melihat tikar pikniknya dipakai untuk menutupi tubuh gadis cantik yang dibawa putranya.
"Ma, kenalkan ini Soferina. Ferin, ini mamaku," ujar Damar memperkenalkan mereka berdua.
"Soferina, apa kabar, Bu." sapa Soferina sambil menjabat tangan Maryam.
"Oh, hehe, Maryam, baik, baik ...," jawab Maryam dengan ramah.
"Mari, kamu harus mandi, ayo Ibu antar ...," ajak Maryam mengarahkan Soferina masuk ke dalam rumahnya.
Dengan cekatan, Maryam mengambilkan handuk dan baju ganti berupa piyama baru serta celana dalam kertas, lalu menyerahkannya kepada Soferina.
"Silakan ...," ujar Maryam sambil membukakan pintu kamar mandi tamu di ruang tamu rumahnya.
Damar sudah menghilang ke kamarnya di lantai dua rumah itu. Ia tergesa-gesa mandi dan berganti baju. Setelahnya ia keluar kamar, turun ke bawah menghampiri Maryam.
"Ma, Aku ada pembicaraan penting dengan Ferin. Nanti suruh dia naik ke atas ya Ma, di ruang tamu atas," pinta Damar.
"Iya, biar mama siapkan dulu makanan dan teh untuk kalian," sahut Maryam tanpa menghentikan kegiatannya di dapur.
Damar berbalik kembali naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya. Hatinya terasa berbunga-bunga. Soferina, adalah wanita pertama yang diajaknya ke rumah, padahal di antara mereka belum terjadi apa-apa. Damar nyengir di balik pintu kamar merasa lucu.
Soferina diantar oleh Maryam naik ke lantai dua, Maryam membawa nampan berisi dua macam kue yang dibuatnya, Soferina membawa nampan berisi teko air teh panas serta dua gelas kosong, satu toples kecil gula serta sendok pengaduk.
"Kalau butuh air putih ada di dispenser itu ya ...," ujar Maryam seraya menunjuk ke arah dispenser yang berdiri dipojok ruangan.
"Silakan duduk." Maryam menepuk-nepuk bantal sofa.
Soferina terlihat sungkan dan gugup, ia hanya mengangguk dan terharu atas sikapnya Maryam yang hangat dan tulus.
"Terima kasih ...," lirih Soferina menatap punggung Maryam yang sedang menuruni tangga.
Damar menangkap keberadaan Soferina di sekitarnya, ia keluar kamar dan tersenyum pada Soferina yang mengenakan piyama bercorak abstrak berwarna merah gelap. Tampak kontras dengan kulitnya.
"Pakai apapun, kamu selalu tampak cantik," puji Damar dengan tulus.
Wajah Soferina kembali memerah, ia menundukkan kepalanya.
Damar ikut duduk di depan Soferina. Ia ingin segera mengetahui satu hal darinya.
"Ferin ...," panggil Damar dengan nada rendah.
Merasa kebingungan, Soferina mengangkat wajahnya. Damar menatap kedua mata Soferina dalam-dalam, mencari kebohongan atau sesuatu yang disembunyikan oleh Soferina.
"Kamu mau tahu tentang apa, Damar?" tanya Soferina.
"Kamu kan mestinya tahu misi apa yang aku emban dari tetua?" tanya balik Damar.
"Aku pikir, tetua membutuhkan kamu untuk digembleng menjadi politikus. Sama sekali tidak tahu kalau ternyata tugasmu adalah membunuh keluargaku," tandas Soferina dengan nada penuh kesungguhan.
"Justru aku ingin agar kamu lepas dari misi itu ...," ujar Soferina dengan mata menerawang.
"Caranya?" tanya Damar mengejar.
"Caranya dengan kita bertukar darah, tapi itu efeknya tidak lama, karena bagaimana pun, darah asli hanya melalui sel," ungkap Soferina.
Kening Damar mengernyit,
"Maksudmu, setiap kali misi akan turun, kita bertukar darah? Bagaimana caranya?" tanya Damar tidak mengerti.
"Bisa dengan cara transfusi atau kita melukai diri dan menempelkan luka itu selama satu jam. Cara itu bisa bertahan sekitar dua minggu," tutur Soferina.
"Jadi dua minggu sekali kita akan transfusi atau melukai diri? Ah, tidak! Tidak seperti itu," tegas Damar.
"Ha ... berapa banyak keturunan Bani Edels, dan tiap kali kita melakukan penukaran darah, Ah ... tidak mungkin aku bisa melakukannya terutama melukaimu," ungkap Damar keberatan.
Mereka terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.
"Atau ... kita menikah," ujar Soferina dengan nada rendah.
"What ....!" seru Damar hampir terlonjak.