Tidak ada yang bisa memejamkan mata baik Sophie maupun Cassidy di tempat masing-masing. Cassidy yang masih berbaring seadanya di Camper Van dan Sophie yang sendirian menyamping di ranjangnya yang empuk. Tangan Sophie terus membelai perutnya yang buncit dan akan segera melahirkan kurang dari dua bulan ke depan.
Padahal Sophie sudah mempersiapkan semuanya. Ia bahkan sudah siap tinggal permanen di Ferndale usai melahirkan. Air matanya menetes perlahan kala teringat pada Cassidy. Suami yang ditinggalkannya dengan segala kemelut yang ia tinggalkan untuknya.
Sementara Cassidy ikut meneteskan air matanya saat tangannya meraba sebuah kantung plastik berisi potongan rambut pirang. Rambut itu milik Sophie saat Cassidy mencarinya. Cassidy masih ingat seperti apa dia menggila saat menemukan potongan rambut Sophie pada Yacth yang baru dibelikannya. Cassidy mengira jika Sophie disiksa di dalam Yacth itu sampai rambutnya tertinggal. Ia menangis tanpa ampun.
Cass berjongkok lalu mengambil sebuah tali yang tergeletak tak jauh dari kursi. Lalu terlihat sejumput rambut berwarna pirang di dekat sebuah lemari sudut. Cass langsung mengambilnya.
"Lihat ini!" Cass yang melihat langsung menangis.
"Istriku ... Sweet Pea! Dia di sini, ini rambutnya!" lirih Cass terisak.
"Sweet Pea ... Sweet Pea!" Cass terus memanggil Sophie dengan memeriksa seluruh kabin. Tentu saja dia tidak akan menemukan siapa pun.
Cass sudah terduduk lemas memegang rambut Sophie dan terus terisak. Ia begitu hancur kala menemukan salah satu bagian dari tanda-tanda bahwa Sophie memang pernah berada di kapal tersebut. Kemungkinan besar, Sophie memang melakukan perlawanan.
"Apa kamu yakin itu rambutnya?" tanya Andrew Miller, sang polisi pada Cass yang langsung mengangguk.
"Aku hafal wanginya. Ini ... Sweet Pea-ku ... Sophie-ku!" lirih Cass makin menangis. Ia makin frustrasi dengan bukti yang ditemukannya. Ternyata Sophie benar-benar diculik.
"Aku sudah bilang jika dia memang diculik! Dia tidak mungkin melarikan diri dariku!" tukas Cass dengan nada tinggi.
"Bagaimana penculiknya bisa tahu jika Sophie memiliki Yacth?" tanya Andrew pada Cass. Cass yang kalut lalu berdiri dan berhadapan dengan Andrew.
"Aku yakin jika penculiknya memang orang yang ingin menyakiti Sophie dan merebutnya dariku! Itu pasti Collin!" hardik Cass lagi.
"Collin tidak menculik Sophie, Cass. Dia sudah ditangkap karena menculik Angelica. Yang paling mungkin melakukannya adalah Angelica atau musuhmu!" sahut Andrew menjawab.
Cass terengah mendengar jawaban tersebut, ia memandang lagi ke sekitarnya dan menggeleng.
"Akan kubunuh Angelica jika dia memang melakukan itu pada Sophie-ku!" geram Cass seraya mengeraskan rahangnya. Andrew yang mendengar langsung menegur.
"Cass, jaga bicaramu! Aku tidak mau kamu terlibat kejahatan apa pun, oke?"
Cass menarik napas panjang saat melepaskan kenangan yang melintas di kepalanya tersebut. Bagi Cassidy, ia sudah cukup menangisi Sophie yang tega merekayasa semuanya. Cassidy bahkan nyaris mengakhiri hidupnya jika bukan karena Evangeline yang menolongnya.
“Aku harus melakukan sesuatu. Sophie harus mendapatkan pelajaran yang setimpal,” ujar Cassidy pada dirinya sendiri. Ia mulai memejamkan matanya lalu menarik napas panjang serta teratur. Cassidy terus melakukannya berulang-ulang agar pikirannya menjadi lebih tenang. Setelah bisa berpikir dengan baik, Cassidy mulai menyusun rencananya.
“Aku tidak akan pulang sebelum bisa membawamu kembali, Sophie. Tapi sebelum itu terjadi, kamu akan merasakan hukuman dariku.”
Keesokan harinya, Sophie yang nyaris semalaman bergadang kemudian turun dengan wajah sedikit kusut dan mata agak bengkak. Ia berjalan gontai dari kamar menuju dapur dan terperanjat.
“Bagaimana kamu bisa masuk kemari?” Sophie memekik kaget saat melihat Cassidy sedang menikmati kopi pagi di dapurnya. Tidak hanya itu, Cassidy mengeluarkan semua persediaan makanan ringan yang disimpan Sophie di dalam lemari atas sampai seluruh meja dapur berserakan.
“Oh, sudah bangun rupanya! Bagaimana tidurmu, Nyonya Belgenza?” sahut Cassidy mengolok. Ia terus makan roti isi selai yang ia ambil dari lemari persediaan makanan sambil menopang dengan sebelah tangan pada sisi konter dapur.
“Keluar dari sini! Apa yang kamu lakukan di rumahku!” bentak Sophie mengusir Cass. Ia berjalan menghadapi Cassidy yang masih santai mengunyah makanan. Kening yang mengernyit dan wajah terperangah Sophie ikut menoleh ke samping saat melihat seekor anjing tengah menghabiskan daging dari kulkas miliknya.
“A-Apa ... ini─”
“Frost!” Cassidy melemparkan sebuah potongan daging mentah terakhir dari kulkas Sophie dan langsung ditangkap oleh anjing husky siberia itu dengan baik. Frost makan dengan lahap tanpa peduli jika Sophie sampai terperangah melihatnya.
“Makan yang banyak. Rumah ini punya banyak makanan untuk kita!” ucap Cass makin memancing keributan.
“Apa maksudmu? Kenapa memberi makan anjing di rumahku!” Sophie memekik di antara kesal dan heran.
“Itu anjingku, hormati sedikit!” jawab Cass tanpa perasaan.
“Apa! kamu ... pergi dari sini!”
“Aku tidak akan pergi. Aku akan tinggal di sini.”
Sophie mendelik tidak percaya. Ia kembali berhadapan dengan Cassidy yang sekarang malah duduk santai di atas salah satu stoll dan dengan angkuhnya menyilangkan kaki.
“Ini rumahku, Cass. Bawa anjingmu pergi!” Cassidy malah terkekeh dan tertawa lalu menggeleng.
“Bagaimana aku bisa melepaskan buruanku selama ini? Aku mencarimu berbulan-bulan Sophie Marigold, aku tidak akan melepaskanmu.” Cassidy menegaskan. Ia tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh Sophie padanya. Kali ini ia bukan lagi Cassidy yang dulu yang tergila-gila pada Sophie sampai mengiyakan semua permintaannya yang tidak masuk akal.
“Apa maumu?”
“Membawamu pulang ke New York!”
“Aku tidak akan pulang ke New York!” Sophie melotot dengan mata birunya yang menyalak marah pada Cassidy. Sejenak Cassidy terdiam memandang mata indah yang telah membuat hatinya terpenjara. Sophie pun sesungguhnya tidak bisa mengelak. Wajah tampan dan imut yang dimiliki Cassidy adalah yang paling ia rindukan. Berjauhan dengan Cassidy sudah membuat Sophie terus menangisinya nyaris setiap malam.
“Kita lihat saja nanti─”
“Aku akan mengurus perceraian darimu, aku akan memberikan kebebasan yang kamu inginkan, Cassidy Belgenza,” geram Sophie dengan mata berkaca-kaca. Tawa Cassidy sudah berubah tawar kini. Ia mendekatkan wajahnya perlahan dan itu sempat membuat Sophie sedikit terkesiap merona tanpa ia sadari.
“Aku tidak akan pernah mau bercerai darimu, Sophie. Jika memang begitu, aku tidak perlu capek-capek datang kemari. Tapi sepertinya kamu memang senang menyiksaku, iya kan? Akan kuberikan kesempatan itu.” Kening Sophie mengernyit tak mengerti.
“Aku akan tinggal di sini denganmu sebagai Suamimu, jadi kamu bisa menyiksaku seperti dulu. Aku ingin lihat seberapa lama kamu akan bertahan untuk tidak membunuhku. Karena, aku adalah Ayah dari bayi yang sedang kamu kandung.” Tangan Cassidy memegang perut Sophie. Saat Sophie sadar, tangan Cass langsung ditepis keras.
“Jangan pernah menyentuhku!”
“Catat kata-kataku, Sophie. Kamu akan memohon untuk disentuh olehku nanti!” Cassidy menunjuk pada Sophie lalu mengedipkan mata padanya dengan cara menggoda. Cassidy dengan santai berjalan melewati Sophie untuk naik ke kamar utama di lantai dua.
“Ah, senangnya bisa pulang. Aku mau istirahat dulu, jangan bangunkan aku sampai sore, oke!”.