2. Terseret Masalah

1498 Kata
Dengan kedua tangan yang tersembunyi disaku celana, Elard melangkah santai menyusuri deretan toko yang berada di salah satu mall. Pria itu baru selesai bertemu dengan salah seorang teman. Dan kemudian memilih untuk melihat-lihat sejenak. Terlebih, tak ada kegiatan yang mengharuskannya segera pergi dari sana. Langkah Elard terhenti, saat mendapati sebuah toko sepatu yang di d*minasi sepatu wanita. Usai menimbang-nimbang sejenak, ia akhirnya masuk ke dalam. Kedatangannya disambut salah seorang pegawai yang menyapa dengan ramah. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" Mengangguk samar dengan senyuman tipis, Elard mengelus belakang lehernya. "Hm ... Begini, Mbak. Saya, mau lihat-lihat dulu." "O—oh, silakan," berdeham canggung dengan semburat merah yang tiba-tiba muncul di kedua pipi, pegawai wanita tersebut mempersilakannya. Elard menggaruk kepala, dalam hati bertanya-tanya, untuk apa dia masuk ke sini? Mengela napas, pria itu akhirnya berusaha melihat-lihat deretan sepatu berbagai jenis. Berusaha fokus meski ia tau, ada beberapa pasang mata yang mencuri-curi pandang kearahnya. Para pengunjung wanita bahkan saling berbisik dengan temannya sembari melirik. Elard bukannya besar kepala, tapi ia cukup sering menemukan hal semacam itu. Berusaha tak acuh seperti biasa, Elard berusaha memfokuskan diri pada deretan sepatu cantik yang tersuguh di depan matanya. Sampai kemudian ... Ada sebuah flat shoes yang menarik perhatiannya. Meraih salah satunya, Elard memerhatikan sebuah flat shoes berwarna merah muda dengan pita di tengahnya. Astaga, ini manis sekali, apalagi kalau yang pakai An—tunggu! Kenapa jadi kepikiran ke sana? "Sudah ada yang cocok, Mas?" Berjengit karena terkejut, Elard berdeham canggung sembari menganggukkan kepala. "Saya ... Pilih yang ini?" Ucapnya sembari memperlihatkan sepatu yang berhasil mencuri perhatiannya. "Baik, ada lagi?" "Tidak, ini saja." "Baik, saya ambil dulu untuk dibungkus. Silakan melakukan p********n di kasir." Mengangguk, Elard kemudian menuju kasir untuk membayar sepatu pilihannya. Setelah semua selesai. Pria itu akhirnya melangkah keluar. Sesekali melirik shopping bag yang kini berada di tangan kirinya. "Hadeh ... Gimana gue kasihnya?" Menggaruk pelipis yang sedikit berkeringat, Elard tengah memutar otak untuk mencari alasan, agar bisa menyerahkannya pada Anin nanti. Akan lebih mudah jika bertepatan dengan hari ulangtahun gadis itu. Jadi Elard tak perlu repot-repot merangkai alasan. Sayangnya, ulangtahun Anin masih cukup lama. Atau ... Sebaiknya ia simpan saja dan menunggu hari ulangtahun Anin tiba? Tapi, dia tak sabar melihat gadis itu memakai sepatu pemberiannya. "Ah! Tau, ah! Pusing!" Mengacak rambut hingga kusut masai. Elard akhirnya menyerah. Entahlah, dia belum menemukan alasan yang tepat. Sesampainya di parkiran, Elard berderap menuju mobilnya. Mendudukkan diri dengan nyaman di kursi kemudi. Pria itu berusaha menjangkau jok belakang untuk meletakkan shopping bag yang sejak tadi ditentengnya. Setelah selesai, ia segera menyalakan mesin mobil dan melajukannya. Bersiap pulang menuju apartemennya. Setelah pembicaraan alot dan diselingi beberapa kali perdebatan, akhirnya, Elard mendapat kesempatan untuk tetap tinggal di apartemen. Meski diharuskan pulang setiap weekend. Hal itu juga berlaku untuk Gavin. "Kalau cuma kasih hadiah yang berawal dari iseng, bukan termasuk percobaan penikungan saudara sendiri kan?" Tanya Elard pada diri sendiri. Pria itu jelas tau usaha saudara tirinya yang masih mencoba untuk kembali mendekati mantan yang dulu pernah di sia-siakan. Kadang, itu menjadi godaan dan guyonan si kembar yang memintanya untuk bergerak cepat melakukan tikungan sebelum Gavin kembali berhasil mengikat Anin dalam sebuah status. Sayangnya, Elard gamang. Ia ... Tak bisa munafik jika sejujurnya, memiliki rasa pada Anin. Tapi, dia pun tak bisa menutup mata, dengan adanya Gavin yang tengah berjuang agar bisa kembali dengan gadis itu. Setelah konflik berkepanjangan antara dirinya, Gavin, dan Mama Iva mereda sampai akhirnya bisa menjadi keluarga seutuhnya. Elard, berusaha untuk tak salah ambil sikap. Tak mau perasaannya pada Anin kemudian memunculkan konflik baru dengan Gavin. Jadi, layaknya pengecut, ia masih setia menyimpan semuanya sendiri. Nanti, setelah ada kepastian, Gavin tak lagi memiliki kesempatan di hati Anin. Baru kemudian dia mulai bergerak. Saat melintasi jalanan yang cukup sepi, Elard dikejutkan dengan kemunculan seseorang yang berlari dari arah berlawanan. Membanting setir, Elard berusaha menghindar agar sosok itu tak tertabrak olehnya. Dengan napas tersengal-sengal, dan jantung yang berdetak kencang, Elard akhirnya berhasil meski tubuhnya gemetaran. Si*lan! Apa-apaan orang itu? Jika ingin mengakhiri hidupnya, jangan menyusahkan orang lain. Melangkah keluar dengan gebukan amarah, Elard nyaris menyemburkan kekesalannya. Tapi kemudian semua menguap. Saat mendapati sosok yang kini berjongkok dengan kedua tangan yang menutupi telinga. Suara isakan yang tertangkap pendengaran membuat Elard mendekat. Ikut berjongkok, ia nyaris melempar tanya saat suara lain menginterupsinya. "Brengs*k! Cepet juga lari lo cantik." Seorang pria bertubuh tambun tampak terengah-engah, seringai yang sebelumnya merekah perlahan meredup saat menyadari keberadaan Elard. "Lo siapa? Jangan ikut campur, kasih itu cewek ke gue, sekarang!" Menaikan satu alis mata, Elard tak gentar secuil pun pada gertakan yang pria itu lakukan. "T—tolong! Dia merampok saya, d—dan berusaha melecehk*n saya." Dengan tubuh gemetar, perempuan itu akhirnya mengangkat kepala dan meraih tangan Elard. Mencengkram kuat dengan rasa takut yang begitu kentara. Elard bahkan bisa merasakan tangan perempuan itu begitu dingin saat kulit mereka bersentuhan. "Tetap di sini," ucap Elard sebelum bangkit dari posisi berjongkoknya. "M—mau apa lo, hah?! Jangan ikut campur!" Si*lan, pria di depannya belum melakukan apa-apa, tapi tatapan tajamnya sudah membuat nyalinya menciut. Menggulung lengan kemeja panjangnya hingga sebatas siku, Elard membuka satu lagi kancing atasnya sebelum kemudian melangkah kearah pria asing yang kini justru mundur perlahan. "Gue capek mau istirahat, jadi, kita selesaikan secara cepat." "Maksud—" BUG! Belum sempat ucapannya terselesaikan, Elard sudah lebih dulu memberinya tinju*n di wajah hingga sudut bibirnya robek dan mengeluarkan darah. Meludah darah, pria itu menatap sengit. Berteriak keras dan berusaha membalas Elard. Dengan serampangan, dia menyerang Elard yang tampak santai meladeninya. Tak ada satu pukulan pun yang berhasil mengenai Elard. Sebaliknya, pria asing itu yang justru terkapar dengan napas tersengal-sengal dan wajah yang berakhir babak belur. Satu kali lagi tinju*n yang Elard layangkan membuat pria itu tergeletak tak sadarkan diri. Menegakan posisi tubuhnya, Elard berdecak sembari merapikan kemejanya yang kusut. Ia kemudian merogoh saku celana, meraih ponsel untuk menghubungi salah seorang anak buahnya yang dengan sigap menjalankan perintahnya. Hanya berselang beberapa menit, anak buah Elard sudah datang dengan dua orang polisi. Pria yang sempat berkelahi dengan Elard dan sebelumnya pingsan, sudah mulai sadar saat digiring ke mobil polisi. Elard sendiri tengah berdiri bersisian dengan wanita yang telah ditolongnya. "Bos, anda diminta untuk ikut ke kantor bersama Nona ini." Lapor anak buahnya. "Untuk?" "Untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Terutama Nona ini yang juga korban." Meski mengerang dalam hati. Karena sejujurnya, Elard ingin segera pulang. Membersihkan tubuh lelahnya sebelum kemudian melemparkan diri ke atas tempat tidurnya yang nyaman. Tapi ia sadar sudah terlibat terlalu jauh dan mau tak mau harus ikut. Baiklah, dia sudah melibatkan diri, jadi ... Mari selesaikan sampai tuntas. Jangan menolong dengan setengah-setengah. "Lo mau ikut gue, Pak Polisi apa dia?" Elard mengedikkan dagu kearah anak buahnya yang hanya diam menunggu. Mencengkram lengan kemeja Elard dengan erat, gadis itu menjawab dengan suara bergetar, "k—kamu, ikut kamu." "Oke," balas Elard singkat, sebelum atensinya kembali ia letakkan pada anak buahnya. "Lo ikutin dari belakang." "Siap, Bos." Membukakan pintu mobil, Elard membantu perempuan asing itu duduk di kursi penumpang. Tubuhnya yang masih gemetaran, membuatnya kepayahan saat berjalan, jadi harus dituntun. Setelahnya, Elard memutari mobil dan menempati kursi kemudi. Sebelum kemudian menjalankan mobilnya ke kantor polisi untuk menyelesaikan masalah yang secara tidak langsung ikut menyeretnya. Di sepanjang perjalanan, tak ada yang berbicara pada satu sama lain. Elard fokus menyetir, sesekali berbicara dengan anak buahnya yang mengikuti dari mobil belakang melalui instruksi yang pria itu berikan. Setelah berkendara beberapa lama, mereka akhirnya sampai di tempat tujuan. Dengan Elard yang sudah memarkirkan mobilnya, "ayo keluar." Ucapnya pada wanita di samping tempat duduknya. Elard keluar lebih dulu, sebelum kemudian mendekati pintu mobil bagian penumpang. Keningnya mengernyit saat mendapati sesuatu yang tampak mengusiknya setelah pintu terbuka dan wanita itu turun. "Alas kaki lo kemana?" Ikut menundukkan kepala, wanita itu meringis malu, sebelum kemudian mengangkat pandangan hingga bisa bertatapan dengan Elard. "I—itu, tadi ... Aku lepas untuk memuk*l penjahat tadi supaya bisa kabur." Mengela napas, Elard tampak berpikir sejenak. "Bos, kita diminta untuk ikut mas—" "Sebentar," mengangkat tangan kanannya, Elard menginterupsi ucapan anak buahnya. Sebelum kemudian melangkah menuju pintu mobil bagian penumpang yang berada di belakang. Meraih sesuatu yang sebelumnya ia letakkan di sana. Menatap shopping bag yang berada ditangannya, Elard meyakinkan diri jika wanita itu lebih membutuhkan. Nanti, akan ia belikan lagi yang lain untuk Anin. Meraih box dari dalam shopping bag tersebut, Elard membukanya, hingga sepasang flat shoes cantik yang baru saja dibelinya kini tersuguh di depannya. Menenteng kedua flat shoes tersebut, Elard menutup pintu mobil. Berjalan ke tempat wanita asing yang bahkan namanya pun belum diketahuinya. Sedikit membungkukkan tubuh, Elard meletakkan sepasang flat shoes tersebut di depan kaki wanita itu yang tak bisa menutupi rasa terkejutnya. Menegakkan kembali tubuh, Elard memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Pakai, lo nggak mungkin terus-terusan bertelanjang kaki kan?" Meneguk ludah kelu, wanita itu tak segera mengenakan sepasang flat shoes cantik yang baru saja Elard berikan. Ia justru menatap lekat sosok Elard yang tampak tak acuh, tapi di matanya kini adalah sosok pahlawan yang sudah menyelamatkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN