"Bagaimana, Kek?" Aska mengulangi pertanyaannya.
"Kalian, sebaiknya meresmikan pernikahan, biar Endang tidak lagi bisa merasa paling berhak atas Asifa."
"Tapi, Sifa belum tamat SMA, Kek."
"Ya, persiapkan saja dulu berkasnya, nanti begitu Sifa selesai ujian, langsung kita urus surat menyuratnya. Kalau Sifa sudah resmi menjadi istrimu, dengan buku nikah di tangan kalian. Mbak Endang tidak akan bisa semena-mena lagi, karena Asifa sudah menjadi hak suaminya."
"Ooh, begitu. Ba-baik, Kek. Nanti aku persiapkan," Aska menjawab untuk mencari aman saja, agar pembicaraan ini tidak berlanjut terus.
"Ayo, tutup pintunya, sudah malam. Sifa, kamu tidur sama Ulfa ya. Mas Aska tidur sama Ubay."
"Laah, suami istri tidurnya kok dipisah?"
"Asifa masih sekolah, Pak. Kalau hamil, bagaimana sekolahnya?"
"Ooh, iya, Bapak lupa." Kakek Syamsul terkekeh pelan. Asifa menundukan wajah, merasa malu menjadi pembahasan masalah seperti itu.
Pak Syamsul menutup, dan mengunci pintu. Paman Usai, menutup, dan mengunci semua jendela, yang saat pengajian tadi memang dibuka semua. Agar udara di dalam rumah tidak terasa panas.
Asifa masuk ke kamar Ulfa, Aska masuk ke kamar Ubay, dengan pikiran tentang meresmikan pernikahan menggelayuti benaknya.
Aska menghitung-hitung, jarak antara kedatangan Adam, dengan selesainya ujian Asifa. Jika ujian Asifa lebih dulu selesai, maka kemungkinan, nenek Asifa akan datang, dan mendesak Asifa untuk menerima lamaran Salman. Untuk menyelamatkan Asifa dari keegoisan neneknya, pernikahan mereka memang harus diresmikan, agar ada kekuatan hukum, bahwa Asifa adalah istrinya.
Jika Adam yang lebih dulu datang, sebelum ujian Asifa. Aska bisa mendesak Adam untuk segera melamar Asifa. Dan, dirinya, dengan Asifa bisa berpisah.
'Argghhh, kenapa jadi semakin rumit. Aku pikir, setelah menikahi Asifa, semuanya akan lebih mudah buatku menjaganya, demi Adam. Ternyata ... arghhh!'
Aska mengacak rambutnya, ia tak bisa tidur, karena bingung, dan gelisah, memikirkan apa yang harus ia hadapi nantinya. Janjinya pada Adam yang terus ia ingat. Dan, membuatnya merasa sedikit tertekan akhir-akhir ini
***
Aska, dan Asifa sudah kembali pulang, mereka berjanji akan datang lagi saat pengajian seratus hari meninggalnya kakek.
Hari libur, Asifa, dan Asila menyapu dedaunan di depan, dan samping rumah.
"Sifa!" terdengar suara Cantika memanggil Asifa dari dalam.
"Ya, Amma." Asifa naik ke teras rumah. Cantika muncul diambang pintu.
"Amma baru membersihkan kamar abangmu. Hpnya ketinggalan, tolong antar ke kebun ya." Cantika menyerahkan ponsel Aska yang tertinggal kepada Asifa.
"Iya, Amma."
"Terima kasih ya, Sayang."
"Ya, Amma." Asifa menurunkan sepeda dari teras samping.
"Dek, Kakak ke kebun dulu mengantar ponsel Bang Aska. Kamu selesaikan menyapunya ya. Takutnya hujan, nanti susah disapu."
"Iya, Kak."
"Kakak pergi dulu ya, Assalamuallaikum."
"Walaikum salam."
Asifa mengayuh sepeda meninggalkan halaman rumah Raka. Sekarang, Raka, dan Soleh tidak terlalu mengurusi usaha mereka lagi. Urusan kantor batu bara, dan SPBU diserahkan pada Revano, dan Asma. Urusan, sawah, kebun, tambak ikan, dan peternakan, menjadi bagian Aska yang dibantu oleh Wira.
Soleh, dan Arka, hanya mengawasi produksi keripik saja. Urusan usaha yang lain, mereka serahkan kepada yang lebih muda.
Saat Asifa tiba di kebun, gerimis mulai turun. Asifa memarkir sepedanya di bawah pondok yang berbentuk panggung tinggi.
Sepedanya, ia letakan di dekat sepeda motor milik Aska.
"Abang!" Asifa memanggil Aska yang tidak terlihat.
"Abang!" Asifa berteriak lebih keras lagi.
"Sifa!"
Asifa menolehkan kepala, ternyata Aska ada di dalam pondok. Ia berdiri di ambang pintu pondok.
Hujan turun, bergegas Asifa menaiki tangga pondok.
"Ada apa mencariku?"
"Ini, ponsel Abang ketinggalan, Amma meminta aku untuk mengantarnya."
"Ooh, terima kasih."
"Aku pulang!"
"Pulang? Hujannya deras, Sifa. Tunggu hujan sedikit reda. Kamu mau ujian, kalau sakit bagaimana? Masuklah, aku sedang merebus singkong," Aska melebarkan pintu.
Dengan langkah ragu, Asifa masuk ke dalam.
"Duduklah, kamu ingin minum apa, teh hangat, kopi, atau s**u?"
"Teh saja.... "
"Adam baru saja menghubungiku. Dia akan pulang sebelum ujianmu selesai. Melegakan bukan, itu artinya kita tidak perlu meresmikan pernikahan, untuk menghindarkamu dari tuntutan nenekmu. Adam, akan segera melamarmu pada Abba, dan Amma."
Asifa menundukan kepala, ia menjalin jemarinya. Itu bukan kabar melegakan baginya. Ia tidak pernah menaruh hati sedikitpun pada Adam. Meski Adam tak bercela.
"Minumlah," Aska meletakan gelas besar berisi teh hangat di atas tikar, di hadapan Asifa.
Asifa melirik Aska. Ia merasa sedikit heran, Aska yang tidak pernah kekurangan gurauan, selalu ada saja yang ia jahili. Tapi, Aska tidak pernah menjahilinya, tidak pernah mengajaknya bercanda. Aska seakan menjaga jarak darinya. Membangun sekat tak terlihat di antara mereka berdua.
Aska mengais sesuatu dari dalam bara api, ternyata ia mengeluarkan bawang, dan cabe besar yang ia bakar. Bawang, dan cabe besar ia cuci, lalu ia masukan ke dalam cobek. Ia tambahkan ke dalam cobek batu besar itu, garam, dan ia menambahkan terasi yang sudah dibakar juga, serta tak ketinggalan cabai rawit, dan sedikit gula merah.
"Biar aku yang ulek, Bang." Asifa menawarkan diri untuk membantu Aska. Aska menyerahkan urusan mengulek sambal pada Asifa. Ia sendiri mengeluarkan singkong rebus dari dalam panci.
Singkong siap, sambal siap, teh hangat juga sudah siap. Mereka menikmati hidangan sederhana itu berdua. Dalam diam, hanya suara deru angin, dan suara air yang jatuh di atas atap yang terdengar.
BERSAMBUNG