Selama dua minggu Kien berada di Malaysia, rumah ini sudah dia titipkan pada salah seorang security perumahan. Jadi, jika sewaktu-waktu ada petugas cleaning service yang datang untuk membersihkan rumah, petugas security itulah yang akan mengawasi.
Ponsel Uli berdering, ada video call dari Kien. Segera ia menggesar layar ponselnya hingga menampakkan wajah Kien yang begitu tampan dan menggoda.
"Hai, Abang ...." sapa Uli disertai dengan senyuman yang teramat manis.
Di layar ponselnya, Uli melihat wajah Kien yang mengernyit.
"Sayang, ada di mana? Macam ada dirumah kita?" wajah Kien menelisik mencari tahu apakah dugaannya memang benar adanya.
"Iya, memang lagi di rumah," jawab Uli begitu saja.
"Sayang tak balik ke rumah kos?" tanya Kien penasaran.
Uli menggeleng.
"Kenapa? "
"Lagi ingin membersihkan rumah."
"What? Bersih-bersih rumah? Abang kan dah cakap ke sayang. Tak payahlah bersih-bersih. Biarlah itu kerja cleaning service."
Uli hanya nyengir." Tak apalah, Abang. Lagipula rumahnya kotor. Tak perlu tunggu sampai cleaning servis datang untuk membersihkan. Aku juga tidak keberatan untuk membersihkannya. "
"Sayang belum mandi?" tanya Kien selanjutnya.
"Belum. "
Kien hanya menggelengkan kepala.
"Cepatlah mandi. Tak elok mandi malam."
"Baiklah, Abang. Kalau begitu aku mau mandi dulu, ya. Aku matikan telponnya."
"Janganlah dimatikan. Abang nak tengok sayang mandi," ucapan Kien dengan kerlingan menggoda.
"Abang...! Ish ... mesum."
Kien tergelak. Suka sekali melihat pipi Uli yang merona karena godaannya.
"Oke ... Oke ... Cepat mandi. Bye, Sayang. I Love you."
"I Love you too, Abang."
Uli masih tersenyum seorang diri meski Kien sudah mengakhiri panggilan telponnya. Bergegas ia pergi ke kamar mandi, tubuhnya sudah sangat lengket oleh keringat.
*****
Esok harinya, saat berada di kantor sebenarnya Uli sedikit was-was. Takut jika tiba-tiba Rio datang kembali ke kantor untuk menemuinya. Ia masih enggan bertemu kembali dengan lelaki itu. Jujur, saat ini Uli merasa kurang nyaman jika Rio menemuinya seorang diri, tanpa Florina.
Ketenangan Uli tak bertahan lama, karena pada saat jam makan siang, Rio kembali datang ke kantornya. Tentu saja kedatangan Rio membuat Uli kembali dirundung dilema. Berbagai macam alasan sudah Uli persiapkan seandainya lelaki itu meminta pertanggung jawaban padanya. Tapi nyatanya Rio hanya berdiri disamping mobilnya dengan seulas senyuman yang diberikan untuk Uli, begitu gadis itu menemuinya. Tanpa kata bahkan tak bertanya apapun pada Uli, Rio sudah membuka pintu mobilnya, dalam artian jika lelaki itu ingin mengajak Uli keluar makan siang.
"Masuklah, aku akan mentraktirmu makan siang."
Uli ragu untuk masuk ke dalam mobil Rio. Jujur, Uli masih merasa bersalah karena kejadian semalam.
Uli mencoba menatap Rio, tapi yang ditatap justru tersenyum dan mempersilahkan dirinya agar segera masuk ke dalam mobil.
Karena cuaca terik di siang hari seperti ini, ditambah senyum manis yang Rio berikan, dengan terpaksa untuk kesekian kalinya Uli mengalah. Daripada menjadi perhatian beberapa karyawan yang juga sedang berlalu lalang di saat jam makan siang seperti ini, Uli memilih masuk ke dalam mobil Rio. Duduk dalam diam sembari menunggu Rio yang kini sedang mengitari mobil setelah tadi menutup pintu untuknya. Memang terkesan manis bagi siapa saja yang melihatnya. Tapi tidak dengan Uli. Di pikiran Uli penuh tanda tanya dengan sikap Rio dua hari ini.
Uli menoleh kala Rio masuk ke dalam mobil dan mulai menjalankan kuda besi itu keluar dari area perusahaan dimana Uli bekerja.
Rio sudah paham dengan jam istirahat Uli yang hanya satu jam, oleh karenanya lelaki itu membawa Uli makan di tempat yang tak jauh dari kantor.
Keduanya masuk ke dalam resto dengan berjalan bersisihan. Uli sedikit risih, andai saja ada Florina yang juga ikut bersama mereka, pasti suasananya tak akan secanggung ini.
Tadi saat Rio mengirim pesan padanya, posisi lelaki itu sudah berada di pos security, tempat pendaftaran tamu yang datang ke kantor.
Karena kondisinya seperti itu tak mungkin juga Uli mengabaikan Rio. Berharap Florina ikut dengan kakaknya, saat Uli memutuskan untuk menemui lelaki itu. Tapi nyatanya, Uli tak menjumpai adanya Florina. Hanya ada Rio seorang diri disana.
"Uli ...!" Uli menoleh karena panggilan Rio.
"Ya, Mas."
"Mau makan apa?"
"Terserah Mas Rio saja."
" Oke, baiklah."
Uli melirik sekilas saat Rio sedang berbicara pada pelayan dan memesan menu untuk makan siang mereka.
Keheningan kembali melanda, Uli menolehkan kepala kesamping kanan dan kiri, sengaja untuk menekan rasa gugupnya juga untuk menghindari bersitatap dengan Rio.
"Uli ...!" kembali Rio memanggil Uli.
"Ya." Gadis itu menjawab.
"Kamu kenapa? Seperti tak nyaman bersamaku?"
Uli menggigit bibir dalamnya, ternyata Rio mengetahui kegelisahan hatinya.
"Ya, mungkin suasananya akan beda jika seandainya Mas Rio membawa serta Mbak Nana untuk ikut makan siang sekalian bersama kita."
"Owh ... Eum, jadi ini juga alasanmu kenapa semalam kamu pergi meninggalkanku?"
Uli tersenyum kecil tak tahu harus menjawab apa. Salahnya juga yang pergi diam-diam. Andai saja dia mengatakan yang sesungguhnya, mungkin saja Rio bisa sedikit mengerti akan posisinya saat ini.
"Uli ...."
Panggilan Rio membuat Uli menatap laki-laki itu lagi. Dia yang sedang tidak begitu berselera memakan makanannya sedikit mengerutkan kening melihat Rio yang menatapnya. Seperti ada sesuatu yang ingin lelaki itu sampaikan.
Kali ini Uli memang tetap tidak bisa menolak permintaan Rio untuk makan siang bersama. Kedatangan Rio yang tiba-tiba sudah ada di kantornya, membuat Uli bisa berada di tempat ini berdua bersama lelaki tampan itu. Jangan tanya bagaimana tatapan karyawan yang melihatnya keluar dengan Rio tadi. Penuh tanya sudah pasti. Apalagi sudah dua hari ini Rio selalu menampakkan diri di kantor Uli.
"Apa ada yang ingin Mas Rio tanyakan?" tanya Uli karena sedari tadi menunggu Rio hanya diam saja.
"Entahlah Uli, rasanya aku tak bisa menerima jika kamu telah betul-betul menikah."
Perkataan seperti apa itu? Kenapa Mas Rio mengatakan hal itu seolah tanpa beban. Pikir Uli di dalam hatinya.
"Kenapa Mas Rio berbicara seperti itu?"
"Eum ... bagiku, semua seperti mimpi. Jujur, saat pria itu mengenalkan diri sebagai suamimu, aku sempat tak percaya. Bagaimana mungkin secepat ini kamu bisa menikah. Aku ... jika boleh berkata, aku tak terima kamu menikah dengan orang lain."
Rio berhenti sejenak, menghela nafasnya berat. Hal itu tak luput dari perhatian Uli. Sebelum akhirnya Rio kembali menatap Uli masih dengan mulut yang terkunci rapat. Hanya tatapan intens yang Rio berikan, membuat Uli merasa tak nyaman.
"Mas, jodoh itu sudah ada yang mengatur. Dan aku selalu berharap, agar Mas Rio juga Mbak Nana segera menemukan jodoh yang tepat."
Dengan ragu Rio menjawab, "Semoga saja doamu segera terkabulkan, meskipun ... Aku masih sangat berharap bahwa kamulah jodohku. "
Hanya itu kata yang terlontar dari mulut Rio, dan hal ini mampu membuat Uli menutup mulutnya rapat-rapat, lalu kembali menunduk menekuri makanannya.