Matanya hitam dan cepat, lipatan-lipatan kulit kehitam-hitaman. Aku kerap kali mengira kalau ia punya darah Mediteranea.
Meskipun sudah menyajikan seribu gelas minuman untuk Henry, aku sama sekali tak pernah terlibat percakapan sungguh-sungguh dengannya. Bahkan aku tidak pernah ingin melakukannya. Sekarang pun tak ingin, tapi jelas pilihanku terbatas.
Ia membentakkan beberapa komentar pendek, lalu menaruh telepon. Prince mengenalkan kami dengan ringkas, dan Henry meyakinkan bahwa mereka kenal aku dengan baik. "Tentu, aku sudah lama kenal, Edward” katanya. "Apa masalahnya?”.
Prince memandangku, dan aku menceritakan semuanya.
"Aku melihatnya di koran pagi ini," Henry menyela ketika kisahku sampai pada bagian tentang kebakaran tersebut. "Sudah lima telepon menanyakan tentang kejadian itu. Tidak perlu banyak untuk membuat para pengacara bergosip."
Aku tersenyum dan mengangguk, sebab aku merasa diharapkan melakukannya, lalu masuk ke bagian tentang polisi-polisi tersebut. Aku menyelesaikan cerita tanpa interupsi lagi, lalu menunggu nasihat dan saran dari pengacaraku.
"Paralegal?” katanya, jelas kebingungan.
"Aku tidak punya pilihan.”
"Lalu sekarang kau bekerja di mana?"
"Entahlah. Saat ini aku lebih khawatir akan ditangkap."
Henry tersenyum. "Kalau itu biar aku saja yang urus," katanya bangga. Prince sudah berkali-kali meyakinkanku bahwa Henry kenal lebih banyak polisi daripada sang wali kota sendiri. "Biar aku menelepon beberapa orang "
"Dia harus bersembunyi, bukan?" Prince bertanya, seolah-olah aku ini adalah seorang buronan lepas.
"Ya. Sembunyi." Karena beberapa alasan, aku yakin kalau nasihat ini sudah sering kali diucapkan dalam kantor ini. "Berapa banyak yang kau ketahui tentang pembakaran yang disengaja?" Ia menanyaiku.
"Tidak ada. Itu tidak diajarkan di sekolah hukum.”
"Nah, aku menangani beberapa kasus pembakaran disengaja. Butuh beberapa hari sebelum mereka tahu itu disengaja atau tidak. Apa pun bisa terjadi pada bangunan tua seperti itu. Seandainya itu benar pembakaran disengaja, selama beberapa hari mereka tidak akan melakukan penangkapan."
"Aku sama sekali tak ingin ditahan, terutama karena aku memang tak bersalah. Aku tidak butuh pers." Aku mengucapkan ini sambil melirik ke dinding yang dipenuhi berita surat kabar.
"Aku tidak menyalahkanmu," ia berkata dengan roman wajar. "Kapan kau menempuh ujian pengacara?"
"Juli nanti."
"Lalu apa?”
"Entahlah. Aku akan cari-cari.”
Sobatku Prince mendadak menerjang ke dalam percakapan. "Tidak bisakah kau memakainya di sini, Henry? Kau punya banyak pengacara. Tapi apakah tidak dengan satu pengacara lagi? Dia mahasiswa top, bekerja keras, cerdas. Aku bisa menjaminnya. Bocah ini butuh pekerjaan.”
Perlahan-lahan aku menoleh dan memandang Prince yang tersenyum padaku, seolah-olah ia adalah Sinterklas. "Ini tempat yang hebat untuk bekerja," katanya ceria. "Kau akan belajar apa yang dikerjakan pengacara sejati." la tertawa dan menepuk lututku.
Kami berdua memandang Henry yang matanya menari-nari, sementara pikirannya bekerja keras mencari alasan. "Uh, tentu. Aku selalu mencari bakat bakat baik."
"Dengar itu," kata Prince.
"Sebenarnya, dua associate-ku baru saja keluar dan mendirikan biro hukum sendiri. Jadi, aku punya dua kantor kosong."
"Dengar itu," kata Prince lagi: "Sudah aku katakan kalau segalanya akan beres.”
“Tapi ini bukan jabatan dengan gaji bulanan,” kata Henry, ia mulai b*******h dengan gagasan itu. Aku mengharapkan associate-ku membayar gaji mereka sendiri, menghasilkan uang jasa sendiri."
Aku seketika tercengang untuk bicara. Sebelum ini aku tidak membicarakan topik pekerjaan. Aku tak menginginkan bantuannya. Aku sama sekali tak ingin Henry Craig jadi bosku. Tapi aku pun tak bisa menghinanya, terutama karena saat ini polisi sedang mengaduk-aduk, terang-terangan menyiratkan hukuman mati segala. Aku tak sanggup berkata pada Henry bahwa ia terlalu licik untuk mewakiliku, dan terlalu curang untuk mempekerjakan aku.
"Bagaimana caranya?" tanyaku.
"Sangat sederhana, dan itu bisa berjalan, setidaknya bagiku. Dan ingatlah, selama dua puluh tahun aku sudah menangani segalanya. Aku punya banyak partner dan puluhan associate. Satu-satunya sistem yang berhasil adalah jika associate dituntut menghasilkan cukup uang jasa guna menutup gajinya. Bisakah kau melakukan itu?"
"Aku bisa mencoba," kataku sambil mengangkat pundak walau sebenarnya tak yakin.
"Tentu kau bisa," Prince menambahkan.
"Kau ambil seribu - dolar sebulan, dan kau simpan sepertiga uang jasa yang kau dapatkan. Sepertiga bagianmu itu untuk membayar uang yang kau ambil. Sepertiga lagi untuk biaya kantor, mencakup biaya overhead, sekretaris, dan hal-hal semacam itu. Sepertiga sisanya untukku. Kalau kau tidak bisa menutup seribu dolar yang kau ambil tiap bulan, kau berutang saldo. Aku akan catat jumlah totalnya sampai kau mendapatkan kasus besar. Mengerti?"
Aku merenungkan cara yang edan ini selama beberapa detik. Satu-satunya hal yang lebih buruk daripada jadi pengangguran adalah mendapatkan pekerjaan di mana kita kehilangan uang dan utang jadi menumpuk setiap bulan. Aku bisa memikirkan beberapa pertanyaan yang sangat tajam dan tak terjawab, dan aku baru mulai mengajukan salah satu ketika Prince berkata, "Kedengarannya adil bagiku. Transaksi yang bagus.” la kembali menepuk lututku. "Kau bisa mendapatkan banyak uang."
"Itu satu-satunya caraku beroperasi," kata Henry, untuk kedua atau tiga kali.
"Berapa banyak penghasilan associate-mu?" Aku bertanya tanpa mengharapkan jawaban sebenarnya.
Kerut-merut panjang merapat di keningnya. la berpikir keras. "Jumlahnya beragam. Tergantung segiat apa kau bekerja. Satu orang mendapatkan hampir 80.000 dolar tahun lalu, satu lagi mendapat 20.000."
"Dan kau mendapat 300.000," kata Prince, tertawa lebar.
"Kuharap begitu."
Henry mengawasiku lekat-lekat. la menawarkan satu-satunya pekerjaan yang tersisa di Southaven, dan ia juga sepertinya tahu kalau aku tidak terlalu bersemangat untuk mengambilnya.
"Kapan aku bisa mulai?" aku bertanya, berusaha keras menunjukkan gairah.
"Sekarang juga."
"Tapi ujian pengacara itu..."
"Jangan khawatir. Kau bisa mulai menghasilkan uang hari ini juga. Akan aku tunjukkan bagaimana melakukannya.”
"Kau akan belajar banyak," Prince nimbrung dengan nada puas.
"Aku akan membayarmu seribu dolar hari ini,” kata Henry, seperti dermawan besar. "Mulai mengajarimu. Akan aku tunjukkan kantormu agar kau terbiasa."
"Bagus," aku berkata dengan senyum dipaksakan
Pada saat ini sama sekali mustahil mengambil tindakan lain. Aku bahkan seharusnya tidak ke sini, tapi aku takut dan butuh pertolongan. Sampai saat ini belum lagi diucapkan berapa banyak aku akan berutang pada Henry untuk layanannya. Ia bukan jenis dermawan baik hati yang sekali-sekali menolong orang miskin.
Aku merasa agak sakit. Mungkin gara-gara kurang tidur, kaget karena dibangunkan oleh polisi. Mungkin juga karena duduk dalam kantor ini, memandangi ikan hiu hidup berenang-renang, disudutkan oleh dua b******n terbesar di kota ini.
Tak berapa lama yang lalu aku adalah mahasiswa hukum tahun ketiga yang berwajah segar, cemerlang, dengan pekerjaan menjanjikan pada biro hukum sejati, penuh semangat untuk masuk dalam profesi ini, bekerja keras, ikut aktif dalam ikatan pengacara setempat, memulai karier, mengerjakan hal-hal yang akan dikerjakan oleh teman-temanku. Tapi sekarang aku duduk di sini, begitu lemah dan tak berdaya, sampai aku setuju melacurkan diri demi seribu dolar sebulan.
Henry menerima telepon mendesak, mungkin ada seorang penari telanjang dalam penjara minta di bebaskan. Kami meninggalkan tempat duduk. la berbisik pada telepon bahwa ia ingin aku kembali sore ini.
Prince begitu bangga, sampai akan meledak. Dengan mudah ia telah menyelamatkanku dari hukuman mati dan mendapatkan pekerjaan untukku. Meski kucoba sekuat tenaga, aku tak bisa gembira ketika van Ford itu meliuk-liuk di tengah lalu lintas dan membawa kami kembali ke Yugo’s.