Maggie pernah memaki seorang pria bersetelan jas rapi karena telah dianggap melakukan dosa besar yaitu menginjak rumput lapangan yang suci itu. Pria tersebut langsung bereaksi. Dia berbalik arah dan berjalan di garis pinggir lapangan. Semakin dekat, semakin jelas bahwa Maggie telah memaki seorang wali kota Lambeth. Pria tersebut tersinggung atas makian itu. Tapi Maggie sama sekali tidak peduli. Tidak boleh sada satu pun orang yang boleh menginjakkan kaki di lapangannya. Pria yang mengandalkan penampilan publiknya sebagai seorang pejabat itu tidak biasa dimaki apalagi diabaikan. Dia berusaha memecat Maggie. Sementara secara kolektif warga Lambeth kompak mengalahkan Wali Kota dengan perbandingan empat lawan satu begitu namanya muncul di dalam daftar kandidat di pemilu selanjutnya.
Kala itu, James Maggie memiliki pengaruh politik yang sangat besar di Lambeth. Lebih besar dari seluruh politisi Lambeth bila digabungkan sekalipun. Tetapi Maggie tidak peduli dengan itu sama sekali. Andrea Nicki berdiri di garis putih pojok. Berjalan perlahan-lahan ke arah mistar gawang. Menempati posisi yang tepat seperti seorang penjaga gawang. Dia berhenti di sana, menengadahkan kepalanya dan menghirup napas panjang. Gairah prapertandingan menghantam emosinya sangat kuat. Kenangan-kenangan masa silam kembali menyergap, suara drum di tribun dengan kerumunan suporter fanatik yang menggaungkan lagu pertempuran Red Circle dengan penuh semangat. Sementara di bawah mistar gawang itu, hanya beberapa langkah kaki jauhnya, dia bisa melihat nomor punggung 8 dengan bergetar sambil melakukan pemanasan, di sisi lain, dari arah tribun, kerumunan penonton sedang mengelu-elukan namanya. Nomor punggung 8 merupakan pemain terbaik SMA se-London. Seorang midfielder yang telah diburu banyak tim karena kejeniusan menggunakan kaki kirinya, kaki yang mampu membelah pertahanan lawan melalui umpan-umpan jeniusnya.
Nomor 8 tersebut adalah Andrea Nicki, dalam kehidupan yang lain.
Dia berjalan lagi beberapa langkah dan berhenti tepat di posisi yang biasa dipijak seorang gelandang tengah saat sebelum peluit pertandingan dimulai. Itu adalah tempat seorang pionir yang mengatur jalannya pertandingan, tempat kesukaannya. Kemudian dia memandang lagi ke arah tribun yang kosong penonton, bahwa dulu di sana pernah diramaikan oleh lima belas ribu penonton setia sepak bola SMA, sebagian besar jumlahnya adalah pendukung Red Circle.
Sementara saat ini dia mendengar bahwa jumlah penonton hanya tinggal setengahnya. Lima belas tahun sudah berlalu sejak nomor 8 mengguncang begitu banyak penonton. Lima belas tahun sejak Nicki bermain di lapangan suci ini.
Sudah berapa kali dia berjanji untuk tidak melakukan perbuatan yang sekarang dia lakukan? Berapa kali dia bersumpah untuk tidak pernah kembali ke tempat itu?
Nampak dari kejauhan, di lapangan latihan itu seorang pelatih meniup peluit panjang dan seseorang berteriak seolah menyambutnya, tetapi Nicki nyaris tidak mendengarnya. Yang memenuhi isi kepalanya adalah suara drum dan suara membara dari sosok yang tak terlupakan, John Graham yang bicara menggunakan pengeras suara disusul suara-suara penonton dengan kaki yang sambil melompat-lompat.
Dan dia mendengar di mana Maggie berteriak sambil mengerang, meskipun pelatihnya itu tidak pernah mempunyai riwayat kehilangan ketenangan pada saat puncak-puncak pertempuran.
Para pemandu sorak berada di luar sana—mereka melompat dengan rok pendeknya, mereka berteriak, berpakaian ketat, dan kaki-kaki mereka yang terlihat begitu kokoh. Saat itu, Nicki bisa memilih siapa saja di antara mereka.
Orang tuanya selalu menonton dan duduk di kursi vip. Dia selalu melirik ke arah tribun pertama kali untuk melihat orang tuanya. Melambai pada ibunya sebelum peluit pertandingan dimulai. Di deretan kursi vip terdapat orang-orang yang berpengaruh terhadap setiap yang berhubungan dengan pertandingan khususnya pada setiap pemain. Wakil dari perguruan tinggi yang bertugas sebagai perekrut salah satunya. Ada sekitar dua puluh pencari bakat dari perguruan tinggi yang sigap untuk memantau targetnya. Sebagian besar di antaranya berniat hadir untuk menonton nomor 8. Lebih dari lima puluh perguruan tinggi menulis surat tawaran untuknya, ayahnya masih menyimpan semua surat itu. Sekitar tiga puluh perguruan tinggi menawarkan beasiswa penuh. Ketika Nicki menandatangani kontraknya dengan Mifa, mereka mengadakan konferensi pers dan peristiwa itu menjadi headline surat kabar. Empat belas ribu tempat duduk di bagian yang tak beratap dengan populasi kota sekitar sepuluh ribu jiwa. Kalkulasi matematikanya tidak pernah jelas. Ketimpangan antara populasi kota dengan penonton yang membanjiri tribun. Mereka berasal dari pedalaman, pun yang berasal dari luar kota ketika mereka tidak ada kegiatan di hari Jumat malam. Para buruh yang bekerja mendapatkan transkrip gaji dan membeli bir lokal dan mereka semua langsung merapat ke Maggie Field, tempat di mana mereka melepaskan penat. Di sana, mereka sudah tidak terlihat sebagai pegawai kantor atau pekerja lain, mereka menjadi sekumpulan yang ganas di ujung utara tribun, bahkan jauh lebih ribut dari para murid di sekolah ketika sedang ditinggalkan gurunya ke toilet.
Ketika dia masih belia, ayahnya selalu konsisten untuk menjauhkan dirinya terhadap ujung utara tribun itu. “Di tribun bagian ujung utara itu, orang-orang kampung kerap menonton sambil minum alkohol, juga sering di sana terjadi perkelahian, orang-orangnya barbar, sering meneriaki pengurus tim dengan kumpulan kata-kata kotor.” Beberapa tahun berselang setelah nasihat itu, nomor 8 mengapresiasi keributan yang dimotori oleh orang-orang kampung itu, dan mereka membalas nomor 8 dengan berbagai pujian.
Sementara bangku-bangku penonton itu sudah mulai membisu, menunggu. Dia berjalan menyusuri garis pinggir, kedua tangannya dimasukkan saku celana, dia adalah pahlawan terlupakan yang popularitasnya memudar begitu saja. Kapten regu Red Circle selama tiga tahun. Menghasilkan sekitar seratus lebih assist. Dia tidak punya riwayat kalah di Maggie Field. Momentum pertandingan besar bergemuruh dalam benaknya, meskipun dia berusaha keras buat menepis bayang-bayangan itu. Masa itu sudah berlalu. Sudah sangat lama berlalu.
Di ujung yang berlawanan—ujung selatan—para pendukung mendirikan papan skor raksasa, dan di sekitarnya ada poster-poster dan tulisan-tulisan yang berisi dukungan, dan slogan khas suporter Red Circle, pernak-pernik itu tercetak dalam sejarah sepak bola Lambeth. Musim-musim penuh kemenangan, bahkan tidak pernah satu kali pun mengalami kekalahan di tahun 1961 dan 1962, saat itu usia Maggie belum menginjak tiga puluh tahun. Memasuki tahun 1964 terjadi beberapa rangkaian kemenangan, musim pertandingan berjalan dengan sempurna hingga musim berikutnya. Sebulan setelah kelahiran Nicki tahun 1970, Red Circle mengalami kekalahan oleh Teiko, dalam kejuaraan negara bagian, dan riwayat kemenangan beruntun itu akhirnya kandas. Dan musim itu menjadi rekor nasional dan nama James Maggie mulai melegenda pada usinya yang ke-39 tahun.
Setelah tragedi kekalahan atas Teiko itu, ayah Nicki memberitahukan padanya bahwa ada kemuraman yang tak terucap melahap seluruh masyarakat Lambeth. Seolah-olah dengan 74 kemenangan tanpa jeda yang berhasil diraih itu belum memuaskan hasrat mereka. Musim saat itu bisa disebut sebagai musim dingin yang buruk, tetapi Red Circle masih bisa bertahan. Sementara, di musim pertandingan selanjutnya, asuhan Maggie membabi-buta dengan menghajar Teiko tanpa ampun dalam perebutan gelar negara bagian. Kejuaraan lainnya pun mengikuti pada tahun 1973, 1974, dan 1976.
Kemudian musim air bah pun datang. Mulai tahun 1980, sampai tahun 1987, tahun senior Nicki, Red Circle tak terkalahkan dalam setiap musim. Memenangkan pertandingan liga dengan mudah. Mengalami kekalahan pada saat pertandingan dengan negara bagian. Lalu, ketidakpuasaan timbul di Lambeth. Para penduduk lokal di tempat-tempat nongkrong merasa tidak bahagia. Mereka merindukan kemenangan dan kejuaraan beruntun.