Dua Puluh Empat

1132 Kata
Pintu masuk utama sekolah terbuka lebar. Pintu masuk itu dibangun di tahun kedua Nicki di sana. Dan pintu itu terhubung dengan kedua gedung yang lebih tua di mana itu merupakan SMU dan pintu masuk gimnasium. Dinding bangunan itu dilengkapi dengan pernak-pernik foto kelas para senior sejak tahun dua puluhan. Basket termasuk olahraga terpopuler kedua di Lambeth. Mungkin karena popularitas olahraga sepak bola yang identik dengan kemenangan dan prestasi kejuaraan di kota hingga membuat harapan baru dari para penduduk kota untuk menggeneralisir setiap regu atau tim di semua cabang olahraga, termasuk basket untuk mempunyai rekam jejak yang sama.  Sekitar akhir tahun tujuh puluhan, Maggie menyatakan bahwa sekolah memerlukan sebuah fasilitas gimnasium baru. Inisiasi itu mendatangkan berbagai reaksi dari berbagai kubu. Ada yang menyatakan setuju, dan ada yang tidak. Maka diadakanlah voting yang menghasilkan sembilan puluh persen suara yang menyatakan setuju, dan Lambeth sekali lagi dengan bangga menyambut salah satu arena basket SMU terbaik se-Inggris. Pintu masuknya disebut sebagai aula ketenaran. Yang menjadi salah satu daya tariknya ialah terdapat kotak trofi yang sangat besar, dan dibeli dengan harga mahal. Di situ juga Maggie dengan hati-hati meletakkan ketiga belas monumen kecilnya. Sebanyak tiga belas gelar juara se-Britania Raya: Inggris yang terbanyak, dibandingkan Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara. Di belakang susunan trofi-trofi itu terdpaat foto kesebelasan tim dari tahun ke tahun, dengan daftar segudang prestasi, baik tim maupun individu, serta beberapa judul headline berita yang tersusun rapi. Ada pernak-pernik lain yang tak kalah berharganya, antara lain jersey nomor 8 yang sudah dipensiunkan, dan beberapa bola yang ditandatangani oleh rekan satu tim pada masanya. Juga terdapat banyak foto Maggie di sana—salah satunya foto Maggie bersama Jackie Milburn dalam sebuah acara di luar musim kompetisi. Foto Maggie bersama wakil parlemen satu, dan sebagainya. Yang paling bersejarah juga adalah foto Maggie dengan Ian Callaghan, yang merupakan legenda sepak bola Liverpool yang turut andil mengantarkan Liverpool untuk meraih gelar Piala FA perdananya pada tahun ’65. Seperti biasa, ketika melihat nuansa bangunan di setiap celah SMU itu, Nicki kerap tercenung selama beberapa menit. Nicki tenggelam dalam pameran itu, meski dia sebenarnya sudah melihat itu berulang kali. Pameran itu adalah bentuk penghargaan bagi mereka yang berprestasi: pelatih yang genius, para pemain yang berdedikasi, dan sebuah pengingat pilu mengenai seperti apa keadaannya dulu. Dia ingat bahwa pernah ada orang yang mengatakan bahwa lobi gimnasium itu adalah hati dan jiwa kota Lambeth. Tempat itu lebih cocok dianggap sebagai kuil untuk memuja-muji James Maggie, sebuah altar di mana pra pengikut fanatiknya bisa merenung sambil memuja dirinya. Rak yang berisi koleksi prestasi, sejarah, dan beberapa achievement berjejeran di sepanjang dnding menuju setiap pintu gimnasium. Banyak bola bertanda tangan. Kumpulan trofi mulai dari yang kecil hingga besar dari regu cabang olahraga lain. Melihat deretan rak penghargaan itu, untuk pertama kalinya—dan semoga juga menjadi yang terakhir kalinya—Nicki merasakan rasa sakit yang menusuk mengingat beberapa dari mereka yang pernah berlatih sekuat tenaga dan meraih beberapa prestasi di masanya, lalu mereka ini tak lagi diperhatikan karena mereka memainkan olahraga yang tidak populer di masyarakat. Sepak bola adalah raja, ini yang perlu kau ketahui. Dan hal tersebut tak akan pernah berubah. Sepak bola membawa kebahagiaan, kemeriahan, dan menciptakan judi baru bagi para penontonnya. Peluit yang nyaring, di mana dulu terdengar sangat akrab, bordering di dekatnya, dan tak lama Nicki kembali sadar ke alam nyata kalau dia sudah melanggar batas lima belas tahun melewati masanya. Dia menuju ke ambang koridor, mendengar gema pergantian kelas pagi. Lorong-lorong itu dipenuhi dengan para siswa yang berserakan, berteriak, mengumpat, terdengar pintu-pintu loker dibanting dengan kelegaan karena telah melalui lima puluh menit pelajaran di kelas. Dan di antara tak satu pun yang mengenali Nicki. Seorang laki-laki berpostur ideal, tinggi semampai dan berat tubuh kemungkinan enam puluhan kilogram nyaris menabrak Nicki. Laki-laki itu mengenakan seragam merah variasi putih, khas Red Circle, sebuah simbol yang menyatakan bahwa dia adalah pemain. Dia memancarkan aura sok bintang, seseorang yang terlihat menguasai seisi lorong, dan kelihatannya memang benar, meskipun hanya sebentar. Dia sedikit meninggikan kepalanya. Terlihat seperti mengharapkan penghormatan dari orang lain. Para gadis tersenyum padanya. Laki-laki yang lain melonggarkan jalan. “Pergilah dan kembalilah beberapa tahun lagi, bocah tengil, dan mereka yang mengagungmukan sekarang, nanti tak akan mengenal namamu,” batin Nicki. Kariermu yang meriah akan menjadi nafsu sesat dan berakhir menjadi sebuah catatan kaki saja. Semua gadis kecil dan seksi yang kau lihat saat ini suatu saat akan menjadi ibu-ibu tua. Jaket merah itu tetap menjadi sumber kebesaran yang luar biasa, tapi kau tak akan bisa selamanya mengenakannya. Dulu, mengapa semua hal itu terlihat begitu penting? Nicki mendadak merasa bahwa dirinya sangat tua. Tanpa pikir panjang, dia langsung menerobos kerumuman bocah-bocah itu, kemudian meninggalkan sekolah. *** Sore harinya, dia mengendarai mobilnya dengan santai, berjalan menyusuri lapisan jalanan yang berkerikil mengelilingi Austin Hill. Ketika bahu jalan melebar, dia menghentikan mobilnya dan memarkirkannya di sana. Seperdelapan mil di bawahnya, ada gedung olahraga Red Circle, tampak dari kejauhan di sebelah kanannya, mentereng dua lapangan latihan yang digunakan khusus oleh tim utama Red Circle berlatih. Sementara lapangan khusus untuk tim junior ada sendiri. Dan setiap skala level tim, ada pelatih resminya sendiri-sendiri. Mereka tengah sibuk meniup peluit dan berteriak-teriak. Di Maggie Field, sosok Diego sedang sibuk mengoperasikan mesin pemotong rumput. Dia mondar-mandir menyusuri rerumutan yang tebal. Itu adalah kegiatan yang biasa dia lakukan secara rutin di setiap harinya pada bulan Maret sampai Desember. Sementara para pemandu sorak juga tengah sibuk mengecat spanduk sebagai persiapan perang di Maggie Field pada Jumat malam, dan sesekali regu pemandu sorak itu berlatih maneuver baru. Bergabung di running track, pemain band sedang berkerumun untuk menyelarasakan lagu-lagu baru. Kelihatannya, cuma sedikit penampakan yang berubah. Para pemain yang berbeda wajahnya, para pemandu sorak yang terlihat lain, para pemain band yang tampak asing, dan para pelatih yang khas teriakannya berbeda dengan dulu, pikir Nicki. Tapi mereka semua masih tetap Red Circle di Maggie Field yang gagah bersama Diego dengan mesin pemotong rumputnya. Pun raut gugup yang terpancar di wajah semua orang di kala menghadapi Jumat malam. Jika saja Nicki kembali dalam sepuluh tahun lagi, dan menemukan adegan ini, dia akan mengetahui bahwa orang-orangnya dan tempatnya akan terlihat sama. Musim baru, ditemukan kesebelasan baru, dan nuansa baru menyambut pertandingan baru. Agak sulit untuk membuat diri sendiri merasa begitu yakin bahwa kini James Maggie sudah dipaksa turun tahta dan hanya bisa terduduk di tempat yang hampir sama dengan tempat Nicki saat ini, dan ironisnya lagi, Maggie cuma bisa mengawasi pertandingan dari kejauhan sampai dia memerlukan alat bantu berupa radio untuk tahu apa yang sedang terjadi. Apakah di saat itu juga dia bersorak meriah bagi Red Circle? Atau bahkan kemungkinan sebaliknya, dia mengharapkan Red Circle kalah di setiap pertandingan agar mereka semua memahami bahwa kekalahan itu adalah manifestasi karma dari pemecatan Maggie? Maggie sendiri mempunyai sifat luar biasa kejam yang dapat dia simpan kemarahan itu sampai bertahun-tahun lamanya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN