Empat

2324 Kata
Di ujung utara, sebelah kiri papan skor, terdapat penghargaan bagi yang terhebat di antara pemain Red Circle. Tujuh angka telah dipensiunkan dan menjadi legenda. Nomor 8 milik Nicki adalah yang terakhir. Penghargaan itu dipajang bersama poster-poster dan tulisan-tulisan yang berisi kredo untuk Red Circle. Di area ruang ganti yang biasa dipergunakan oleh tim-tim yang sedang bertanding untuk ganti baju, briefing, dan lain-lain, di situ juga terdapat ruangan tertutup yang khusus dipakai oleh anggota tim Red Circle. Ruangan itu pasti menimbulkan iri hati tim perguruan tinggi mana pun. Bila ada tim dari perguruan tinggi lain bertandang ke Maggie Field, ruangan tersebut dikunci. Ruangan itu berisi ruang angkat berat, yang dilengkapi karpet dan pancuran. Ruangan itu dibangun tidak terlepas dari faktor desakan dan dukungan para pendukung fanatik Red Circle. Tidak ada uang yang perlu dihemat dalam tim, tidak untuk regu sepak bola Red Circle dari Lambeth. Pelatih Maggie menginginkan ada loker, ruang angkat berat, dan ruangan khusus pelatih serta official. Sementara ada yang berbeda sekarang, sebelumnya tidak pernah dilihat oleh Nicki. Tepat di balik gerbang menuju ruangan itu, ada sebuah monumen dengan bahan baku bata dan sebuah patung tembaga di atasnya. Kemudian Nicki melangkah ke sana untuk melihat patung itu. Ternyata patung tersebut adalah patung Maggie. Maggie yang diperbesar dengan kerut-kerut di keningnya dan picingan khas di sekitar matanya, dan senyuman samar-samar. Dia menggunakan topi Red Circle kumal sesuai khasnya, topi itu digunakan selama beberapa musim olehnya. Ada kuningan yang bertulis James Maggie diikuti dengan usianya. Di bawahnya terdapat narasi pujian yang nyaris bisa dikutip oleh siapapun di jalanan Lambeth karena sudah hapal. Selama 34 tahun sebagai Pelatih Red Circle dengan perhitungan 420 kemenangan, 60 kekalahan, 15 gelar kompetisi antar negara bagian, dan 1964 hingga 1970 menghasilkan rentetan kemenangan yang berakhir pada angka 74. Patung itu bagai altar pada Jumat malam. Sebelum para anggota Red Circle melintas ke lapangan, mereka terlebih dahulu membungkuk di depan patung. Angin menderu ribut dan semakin banyak menggugurkan daun. Daun-daun itu menimpa dan berjatuhan di depan Nicki. Latihan telah usai, para pemain berselimut keringat  dan segera menuju ruang ganti. Nicki tidak ingin terlihat anggota-anggota Red Circle itu. Dengan cepat dia menyusuri running track dan melewati gerbang. Dia mendaki empat baris tribun dan duduk seorang diri. Tempatnya jauh lebih tinggi di atas Maggie Field beserta pemandangan lembah di sebelah timurnya. Nampak dari sana menara-menara gereja yang menjulang beserta pepohonan dan kemerahan kota Lambeth di kejauhan, angin masih menderu. Dan di salah satu sisi gereja itu terdapat rumah berlantai dua yang bagus namun tidak nampak dari sisi tribun. Rumah dua lantai tersebut adalah milik James Maggie atas pemberian kota Lambeth pada hari ulang tahunnya yang kelima puluh. Serta di rumah tersebut juga, Miss Pratiwi dan tiga putrinya sekarang berkumpul, termasuk juga seluruh anggota keluarga Maggie yang masih hidup, dan mereka menunggu Pelatih menghembuskan napas terakhir. Tidak heran apabila di dalam rumah itu banyak sekali teman, dengan makanan yang selalu tersedia di baki. Apakah terdapat mantan pemain sepak bola yang lain di rumah itu? Kurasa tidak, kata Nicki. Mobil lain memasuki gerbang dan berhenti di samping mobil Nicki. Anggota Red Circle tersebut turun dan terlihat memakai setelan jas dan dasi yang rapi. Dia melangkah tenang dan menyusuri running track. Dia terlihat sengaja untuk tidak menyentuh rumput lapangan pertandingan. Dia mendapati Nicki dan mendaki empat baris tribun. “Sejak kapan kau ada di sini?” tanyanya sesudah berjabat tangan. “Belum terlalu lama,” jawab Nicki. “Apakah dia sudah mati?” “Belum.” Denis Lennon menyumbang enam puluh assist dari seratus empat puluh permainan. Dia adalah partner terhebat Andrea Nicki selama beberapa musim. Kalau kau tahu Xavi Hernandez dan Andres Iniesta di Barcelona atau Toni Kroos dan Luca Modric di Real Madrid, ya seperti itulah mereka. Duo midfielder yang punya sentuhan passing memanjakan. Penyerang mana pun kalau gelandang pendukungnya seperti mereka, dijamin penyerang itu tidak akan pernah absen dari papan top score. Keduanya merupakan teman dekat dan perlahan-lahan terpisah seiring berlalunya musim. Begitulah kalau dalam sepak bola. Entah karena faktor manajemen, tawaran, atau faktor internal berupa persaingan antar pemain. Tetapi keduanya masih menjaga komunikasi, paling tidak tiga atau empat kali dalam setahun. Kakek Lennon adalah seorang pendiri bank pertama di Lambeth. Jadi masa depan Lennon sangat terjamin. Baginya, persaingan dalam tim bukan menjadi persoalan. Lennon kemudian menikahi seorang gadis lokal dari keluarga yang sama-sama terkemukanya. Sementara Nicki menjadi pendamping pria, dan pernikahan itu sekaligus menjadi perjalanan terakhirnya kembali ke Lambeth. “Apa kabar keluargamu?” tanya Nicki. “”Baik. Julia hamil sekarang.” “Yang benar saja. Lima atau enam?” “Baru yang keempat,” katanya. Nicki menggeleng. Tak habis pikir. Mereka duduk terpisah berjarak satu kursi. Keduanya menatap kejauhan, sepertinya ke titik yang sama. Mereka berdua mengobrol, tetapi terlihat seperti sibuk dengan pikiran masing-masing. Terdengar sepintas kegaduhan dari arah ruang ganti. “Bagaimana dengan regu ini sekarang?” tanya Nicki. “Tidak terlalu buruk. Enam pertandingan, di antaranya empat kali menang, dan dua kali kalah. Pelatihnya seorang anak muda dari Bexley. Aku sedikit menyukainya. Tetapi dia masih kurang berbakat.” “Bexley, katamu?” “Ya. Tidak ada orang yang mau menerima pekerjaan itu sejauh radius seratus mil.” Nicki memperhatikannya sedikit, “Kau gendut sekarang.” “Aku sekarang menjadi seorang bankir. Meskipun begitu, aku masih bisa mengalahkanmu dalam berlari, Nick.” Intonasinya semakin lirik ketika mengucapkan kalimat terakhir. Dia menyesal mengatakan itu karena melihat lutut Nicki lebih besar daripada lututnya. “Ya. Aku yakin kau bisa melakukannya,” jawabnya tenang. Dia tidak merasa diremehkan sama sekali. Pandangan mereka berdua beralih pada mobil-mobil dan truk-truk yang melaju pergi. “Kau pernah ke sini saat tempat ini kosong?” tanya Nicki lagi. “Iya. Dulu sekali.” “Dan kau berjalan memutari lapangan dan mengingat-ingat kembali rasanya kala itu?” “Ya. Aku melakukannya. Hingga pada akhirnya aku menyerah. Kita semua mengalaminya.” “Hari ini menjadi hari pertama kali aku ke sini sejak mereka memensiunkan nomorku.” “Tapi kau belum menyerah. Kau masih hidup bersama goresan masa lalu. Kau masih bermimpi. Masih menjadi gelandang palih handal se-London.” “Seandainya saja ak tidak pernah menonton sepak bola.” “Kau tidak mempunyai pilihan di kota ini. Maggie yang pertama kali memaksa kita mengenakan seragam saat kelas enam. Seragam warna merah, tanpa kombinasi apapun, icon kota Lambeth. Kita bermain setiap selasa malam, dan selalu menarik lebih banyak penggemar daripada SMA yang lain. Kita kompak mempelajari gaya permainan yang sama seperti yang diharapkan Maggie. Kita sama-sama bermimpi untuk menjadi yang terbaik di Lambeth dan bisa bermain bersama lima belas ribu pendukung fanatik. Sementara di kelas sembilan, Maggie sendiri yang mengawasi latihan kita. Sampai-sampai kita hapal, kapan saatnya latihan fisik yang mengerikan darinya.” “Saat-saat yang paling menegangkan dalam hidup kita saat itu,” tutur Nicki.    &&&   “Aku masih ingat betul ketika dia memaksa kita berlari memutari satu lapangan penuh dengan tidak lebih dari satu menit.” Niki terkekeh. “Yeah, itu karena kau terus-menerus mengacau.” “Setelah satu lapangan penuh, lalu shuttle run. Benar-benar gila.” “Ya, begitulah Maggie,” gumam Niki. “Kau perhitungan sekali. Kau menghitung tahun demi tahun sampai tiba waktunya kau mendapatkan kaos regu utama di sekolah, tidak lama setelah itu kau menjadi pahlawan, kau menjadi idola banyak orang, kelewat sombong karena di kota ini, apa saja yang kau lakukan tidak pernah salah. Kau terus-menerus mendapatkan kemenangan dank au menjadi raja dalam dunia kecilmu sendiri, kemudian.., piuuuf, semua mendadap sirna. Tiba waktunya kau memainkan pertandingan terakhirmu, dan semua orang merayakan dengan tangisan luar biasa. Kau tidak sepenuhnya yakin bahwa semua perjalananmu di lapangan sudah berakhir. Tidak lama setelah itu, regu lain datang dan kau cepat dilupakan.” “Itu sudah sangat lama.” “Sudah lima belas tahun. Waktu ketika masih di college, pada hari libur, aku selalu pulang dan sengaja menjauhi tempat ini. Bahkan aku enggan mengendarai mobil melintasi sekolah. Tak pernah bertemu dengan Maggie, bahkan tidak pernah mengharapkan bertemu dengannya. Kemudian pada suatu malam di musim panas, pas sebelum kembali ke college, kira-kira sekitar satu bulan sebelum pada akhirnya mereka menghabisi kariernya, aku membeli sekitar enam kaleng bir dan naik ke sini, melihat setiap sudut bangunan dan rerumputan hijau di sini, sambil mengingat-ingat kembali semua pertandingan itu. Aku dengan gigih ada di sini selama berjam-jam lamanya. Aku dapat melihat kembali di mana kita secara luar biasa mencetak gol sesuka hati, menghajar semua lawan-lawan kita di setiap pertandingan. Kita tidak pernah memperhitungkan sifat pertandingannya, entah kejuaraan kompetisi resmi, atau cuma sekadar pertandingan persahabatan. Kita tidak setengah-setengah dalam bermain. Sungguh luar biasa. Tapi, kemudian dalam sekejap mata terasa menyakitkan saat mengetahui bahwa semua itu sudah berakhir, benar-benar berakhir dalam satu kejapan mata.” “Apakah malam itu kau membenci Maggie?” Denis sedikit membutuhkan waktu sebelum pada akhirnya menjawab, “Tidak, aku merasa masih menyayanginya pada waktu itu.” Niki terkekeh, kali ini agak aneh. “Perasaan itu berubah setiap harinya. Aku jamin.” “Ya, sebagian besar di antara kita.” “Apakah kini masih terasa begitu menyakitkan?” “Em, tidak lagi. Setelah aku menikah, kami memutuskan untuk membeli tiket musiman, dan setelah itu bergabung dengan klub pendukung, sama seperti halnya yang dilakukan semua orang lainnya. Seiring dengan berjalannya waktu yang terasa berjalan begitu cepat, aku seketika lupa bahwa aku pernah menjadi sosok yang diidolakan, dan kini cuma menjadi seorang penggemar biasa.” “Apa kau menonton setiap pertandingan?” Denis mengacungkan telunjuknya ke sebelah kiri bawah. “Tentu saja. Bank mempunyai semua akses tempat duduk di sana.” “Ya, kau membutuhkan semua blok untuk membawa semua anggota keluargamu.” “Julia subur sekali.” “Sudah jelas. Seperti apa tampangnya?” “Seperti orang hamil.” Niki mendesis. “Maksudku, kau tahu, apakah dia berbentuk? Dengan arti lain, apakah bentuk tubuhnya sekarang… Em, kau tahu…” “Ya, begitulah,” respons Denis dengan intonasi suara datar, seolah-olah tahu maksud ucapan Niki yang mengarahkan khas bentuk tubuh perempuan hamil pada umumnya yang cenderung gendut. “Dia rutin berolahraga selama dua jam setiap harinya, dan dia konsisten dengan itu. Dia cuma makan seledri. Dia terlihat begitu hebat, dan dia pasti mau kau ikut makan malam dengan kami mala mini.” “Hidangan seledri juga?” Denis merangkul pundak Niki dengan sedikit ada dorongan, bisa disebut menyeretnya dari tempat secara halus. “Apa saja yang kau mau. Bisa aku hubungi Julia sekarang?” “Eh, jangan,” sergah Niki. “Jangan sekarang. Untuk saat ini kita harus bicara dulu.” Sudah terbilang sangat lama mereka tidak berbincang satu sama lain sebagai rekan. Mereka mengawasi truk yang berhenti di dekat gerbang. Sopir truk itu adalah seorang laki-laki berbadan kekar yang mengenakan celana jins tipis yang tampak lusuh, topi pet denim, janggut yang terlihat sudah lama tidak dicukur. Dia berjalan mengitari gawang dan area kotak penalti lapangan itu, kemudian menapak pada jalur running track, setelah itu langkah kakinya mengarah ke tribun sambil tangannya mulai mengelus bangku-bangku yang dia lalui. Tidak lama, dia menyadari kehadiran Andrea dan Lennon yang duduk di bangku yang lebih tinggi, mengawasi setiap langkahnya. Dia mengangguk takzim ke arah mereka, yang berarti sapaan. Lalu dia duduk dan menatap lapangan; tenang dan tidak bergerak sama sekali, seorang diri. “Itu Andy Cole,” ujar Denis yang akhirnya mengingat sebuah nama yang cocok dengan wajah yang baru saja dia lihat itu. “Akhir di tujuh puluhan.” “Sekarang aku mengingatnya,” sahur Niki. “Gelandang bertahan paling lambat sepanjang sejarah karier angkatannya.” “Dan paling kejam. Kalau aku tidak keliru, dia termasuk skala nasional. Bermain selama satu tahun di college kemudian berhenti dan menebang kayu sepanjang sisa hidupnya.” Niki terkekeh untuk kesekian kali. “Maggie sangat suka dengan penebang kayu, kan?” “Kita semua begini bukan? Empat penebang kayu di zona pertahanan, dan gelar nasional sudah otomatis kita rebut.” Truk lain menyusul dan berhenti di dekat truk yang pertama tadi, seorang laki-laki bertubuh jangkung yang lain, juga mengenakan baju terusan dan denim, terhuyung-huyung menuju tribun di mana dia menyapa Andy Cole, lalu duduk tepat di sampingnya. Kelihatannya, pertemuan mereka tidak direncanakan. “Aku tak mampu mengingatnya,” seru Denis yang secara tidak langsung dia dipaksa mengingat sosok laki-laki yang kedua itu. Dia bersusah payah mengidentifikasi laki-laki kedua dan merasa frustasi sebab tidak menemui hasilnya. Selama tiga tahun dekada, Maggie dengan kekuatan kaki dan peluitnya sendiri, mengumpulkan dan melatih ratusan bocah dari Lambeth dan daerah di sekitarnya. Sebagian besar dari mereka tak pernah meninggalkan tempat itu. Para pemain yang selama itu telah dikumpulkan oleh Maggie saling mengenal. Mereka merupakan anggota persaudaraan kecil yang keanggotaannya tertutup selamanya. “Kau mestinya lebih sering menyempatkan diri kembali ke sini,” ucap Denis ketika tiba waktunya dia bicara lagi. “Mengapa?” Niki terlihat bingung. “Mereka semua pasti akan merasa senang bertemu denganmu.” “Pasti dan akan. Dua premis yang bertentangan.” Denis yang terkekeh kali ini. Niki mengalihkan pandangannya ke sisi tribun yang berlawanan. “Mungkin aku tidak ingin bertemu dengan mereka.” “Mengapa tidak?” “Entahlah. Aku bingung.” “Kau berpikir kalau orang-orang di sini masih marah padamu karena kau tidak menyabet Golden Ball of College?   Nb: Untuk teman-teman pembaca cerita ini, penulis hanya ingin memberitahukan bahwa untuk penggunaan tanda baca '&&&' bukan berarti ada pemindahan plot, ya. Tapi tetap melanjutkan plot dari paragraf sebelumnya sebelum tanda baca tersebut.  Kecuali kalau pada bab lain ke depannya, penulis akan tetap memakai tanda baca '***' untuk pemindahan plot adegan. Sama seperti aturan baku tulisan penulis yang lain. Kalian bisa lihat di story yang lain untuk memastikannya.  Kenapa penulis memakai tanda baca '&&&'? Barangkali ada yang bertanya, penulis ingin mengkonfirmasi saja bahwa itu sengaja disertakan sebagai penanda kalau adegan di bab sebelumnya akan ditaruh kembali disertakan pada bab berikutnya. Jika kalian tidak ingin mengulang bacaan sebelumnya, kalian bisa langsung menuju paragraf setelah ada tanda baca '&&&'.  Jadi sekali lagi, perlu dibedakan tanda baca '&&&' dengan tanda baca '***'. Tandada baca pertama bermakna melanjutkan cerita, sementara tanda baca yang kedua artinya pemindahan plot adegan.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN