“Foto yang sangat bagus.” Sebuah pujian keluar dari mulutnya yang membutuhkan pertimbangan agak lama. Kemudian dia menyerahkan kembali foto itu pada si koki. Si koki lantas menyambar foto itu dan segera menggantungkannya kembali di paku tepat di bawah foto Nicki yang lain yang ukurannya lebih besar.
“Ayo pergi,” kata Nicki sembari menyeka mulutnya. Dia menaruh sejumlah uang tunai di atas meja, dan bergegas keluar dari restoran itu. Dia mengangguk dan tersenyum takzim kepada para pelanggan yang lain, dan mereka berhasil meloloskan diri dari restoran itu tanpa hambatan.
“Mengapa kau terlihat gugup saat menghadapi mereka?” Sebuah pertanyaan yang sudah dipendam Denis sejak mereka ada di restoran tadi.
“Aku tidak mau membicarakan soal sepak bola, oke? Aku sama sekali tidak ingin dan tidak pernah berharap untuk bisa mendengar seperti apa aku dulu, betapa hebatnya aku dulu, dari siapapun itu.”
Mereka menyusuri jalanan sepi yang ada di sekitar lapangan, melewati sebuah gereja yang merupakan tempat di mana Nicki dibaptis, dan tempat yang sama di mana Denis melangsungkan pernikahannya. Mereka juga melewati sebuah rumah di Nine Street. Rumah itu dibagi menjadi dua lantai, yang merupakan tempat tinggal Nicki sejak dia usia delapan tahun sampai dia meninggalkan kota ini untuk melanjutkan kuliah di Mifa. Orangtuanya sudah menjual rumah tersebut. Setelah itu, mereka bergerak dan menemui rumah Maggie di seberang jalan. Mereka bergerak secara perlahan seakan mereka bisa mendengar berita terbaru di dalam rumah itu hanya dari dalam mobil. Jalur masuk rumah Maggie dipenuhi oleh mobil, di mana sebagian besar mobil itu berpelat nomor kota lain, beberapa mobil sepertinya milik keluarga dan teman dekat Maggie, menurut perkiraan mereka. Mereka kemudian melewati sebuah taman, tempat di mana mereka pernah menjauhkan sejenak diri mereka dari sepak bola dan bermain panahan di sana.
Dan mereka berdua teringat beberapa kisah. Salah satunya yang saat ini tengah mendapat predikat sebagai legenda di Lambet, ya tentu saja, kisah tentang Maggie. Awal-awal mereka bermain sepak bola: Nicki, Denis, dan beberapa teman lain sedang bermain sepak bola kecil-kecilan di dekat pagar lapangan yang biasa dipakai buat panahan. Mereka menyadari hawa kehadiran seseorang yang saat itu sedang mengawasi mereka dengan sangat cermat. Setelah mereka selesai bermain, laki-laki tersebut mendekat dan memperkenalkan diri pada mereka sebagai Pelatih James Maggie. Bocah-bocah itu seketika tak mampu bicara.
“Kau mempunyai senjata yang bagus, Nak,” puji laki-laki itu pada Nicki, yang seketika itu dia merasa mulutnya seperti menempel sebuah perekat yang membuatnya tak mampu berkata apa-apa. “Kaki kirimu itu akan menghasilkan pundi-pundi penghargaan buatmu.”
Bocah-bocah lain beralih memandangi kaki kiri Nicki yang menurut mereka terlihat biasa saja, tak ada beda dengan kaki mereka.
“Apakah postur ibumu setinggi ayahmu?” tanya Maggie.
“Hampir,” jawab Nicki singkat.
“Bagus, suatu hari kau akan memimpin Red Circle dan menjadi pemain yang hebat,” puji Maggie sambil menyapu pandangan bocah-bocah yang lain, dan setelah percakapan singkat itu, dia pun pergi.
Nicki yang belia, kala itu masih berusia sebelas tahun.
Mereka berhenti di sebuah pemakaman.
***
Musim pertandingan 1992 yang semakin dekat, memunculkan sebuah keprihatinan yang cukup besar di Lambeth. Di musim sebelumnya, tim mereka mengalami kekalahan yang cukup krusial sebanyak tiga kali. Akibat kekalahan itu, menimbulkan bencana sipil yang luar biasa. Membuat para penduduk kota jadi tidak begitu menikmati santapan biskuit mereka di Nineteen, menyantap ayam karet dengan menggurutu saat makan siang, dan membanting keras botol-botol bir murahan di setiap bar pedalaman. Dan terdapat faktor yang mendatangkan pertanda buruk, yaitu keberadaan beberapa senior yang ada tim itu. Benar-benar melegakan ketika para pemain yang lemah itu lulus.
Kebiasaan Maggie adalah tidak memperlihatkan kalau dia sedang merasa tertekan. Ketika itu, dia sudah menjadi pelatih Red Circle sekitar lebih dari tiga dekade, dan sudah mengetahui semuanya. Momen dia meraih gelar negara bagian terakhir, yakni yang kelima belas terjadi pada tahun 1987, jadi selama beberapa tahun itu, para penduduk terpaksa harus menahan sejenak keinginannya untuk kembali juara. Para penduduk itu sudah dimanja sedemikian rupa sehingga membuat mereka membuat target sendiri agar tim menciptakan sejarah baru dengan meraih kemenangan seratus kali pertandingan berturut-turut dari berbagai level kompetisi. Dan menginjak usianya yang ketiga puluh empat tahun, dirinya tak lagi peduli dengan apa yang mereka mau.
Hal yang identik pada tim tahun 1992 adalah dipenuhi oleh para pemain yang kurang memiliki bakat, dan semua orang tahu itu. Satu-satunya bintang tim pada saat itu cuma Robert Frank Luis, yang biasanya bermain sebagai pemain sayap, tempat di mana dia bisa bebas berlari seiring datangnya bola padanya.
Di kota seperti Lambeth, suatu bakat akan datang berdasarkan siklus. Saat-saat masa kejayaannya, seperti di tahun 1987 dengan Nicki, Leo, Denis, Jodan Sancho, dan beberapa pemain lain sebagai punggawanya, rekor kemenangannya sangat bagus. Namun salah satu kehebatan Maggie yang paling unik adalah dia menang dengan para pemainnya yang cenderung lebih kecil dengan postur pemain lawan. Dia memanfaatkan tubuh ramping mereka, dan menghajar mereka dengan latihan super keras. Hanya sedikit tim yang memiliki intensitas latihan seperti yang dihadirkan Maggie di lapangan pada bulan Agustus 1992.
Usai pertandingan buruk yang mereka jalani pada hari Sabtu sore, Maggie benar-benar marah pada para pemainnya dan menuntut mereka latihan di hari Minggu pagi. Sesuatu yang jarang, bahkan hampir tak pernah dilakukan. Sebab hal itu menjengkelkan bagi orang-orang gereja. Latihan dimulai pada hari Minggu pagi sekitar jam delapan, jadi para pemain masih sempat berdoa ke gereja sebentar, itu pun kalau mereka mampu. Entah kenapa, Maggie merasa begitu jengkel karena menurutnya, latihannya terlihat masih terlalu ringan. Ini adalah lelucon. Karena berdasarkan fakta di lapangan, setiap pemain harus berlari sprint puluhan kali. Jumlah yang sangat tidak lazim untuk sebuah latihan di minggu pagi.
&&& (LANJUTAN, BUKAN PINDAH PLOT)
Celana pendek, jaket untuk melindungi paparan sinar matahari, dan sepatu yang semakin berat dan semakin menganggu karena basah oleh air. Suhu dideteksi menghadirkan suhu sekitar delapan puluh tujuh Fahrenheit pada jam delapan pagi dengan tingkat kelembapan yang tinggi dan langit yang terlihat bersih tak berawan. Sebelum dihajar dengan porsi latihan yang potensial mengancurkan kaki mereka, peregangan lebih awal adalah sesuatu yang wajib untuk dilakukan. Biasanya, setiap pemain sudah terlebih dahulu mandi keringat sebelum masuk ke dalam inti latihan yang sebenarnya.
Latihan tahap dua yang termasuk dalam daftar siksaan yang paling ditakuti yaitu latihan di bangku-bangku. Di mana latihan tersebut dilakukan tepat setelah Red Circle Marathon. Setiap pemain telah mengetahui apa artinya itu, apalagi saat Maggie berseru: “Bangku!”, separo anggota tim ingin memutuskan untuk mengundurkan diri.
Mengikuti Robert Frank—kapten mereka—para pemain bergerombol membentuk satu baris yang memanjang, kaki mereka mulai terasa getaran yang luar biasa di mana itu yang membuat mereka merasa enggan pergi ke sudut lapangan. Masing-masing dari mereka mulai mencoba melemaskan kaki dengan cara berlari-lari kecil di tempat. Saat barisan mendekati podium tamu, Frank berbelok memasuki gerbang tribun dan mulai menjajaki bangku satu demi satu. Dalam sepuluh baris tanjakan, mereka turun kembali untuk satu putaran lagi.
Setelah satu putaran yang menguras tenaga itu, para pemain bertahan—termasuk penjaga gawang—mulai tertinggal dari barisan. Sementara Frank, yang sanggup untuk tetap stabil, sudah berada jauh di depan. Maggie menggeram di sepanjang running track, bersama sebuah kalung peluit yang menjuntai di lehernya, sambil meneriaki mereka yang tertinggal oleh barisan. Menurut Maggie, bunyi paling merdu ialah deru suara dari para pemainnya yang sedang naik-turun di bangku tribun. “Kondisi kalian masih lemah!” katanya dengan suara keras. “Ini adalah gerombolan paling lambat yang perna aku lihat.” Itu adalah kalimat provokatif yang kerap kali berhasil membakar para pemain yang ada di gerombolan tertinggal itu. Maggie benar-benar terkenal melalui cara memprovokasinya itu.
Setelah melalui putaran kedua, seorang defender tersungkur ke tanah dan muntah. Sedang para pemain yang tubuhnya agak gemuk, berlari semakin lambat, nyaris seperti lari di tempat.
Martin Lawther merupakan murid tahun kedua yang masuk ke dalam anggota tim-khusus tepatnya di bulan Agustus. Berat tubuhnya sekitar tujuh puluh kilogram—di mana hal ini selalu menjadi persoalannya di setiap latihan. Dalam putaran ketiga saat menyusuri bangku tribun, dia tersungkur di antara bangku baris tiga dan empat, dan saat itu juga, dia tak sadarkan diri. Tersungkurnya dia di bangku tribun, entah antara tanjakan kaki dan staminanya sudah tidak sinkron, atau dia hanya terpeleset.
Oleh karena hari itu ialah hari Minggu pagi, dan agenda latihan hanya melatih fisik, dua pelatih tim lainnya absen—sesuai arahan dari Maggie. Pun tak ada ambulans di dekat tempat itu. Usai peristiwa jatuhnya, Martin Lawther, para pemain yang lain setelah itu berkisah bagaimana Maggie menangkup kepala Martin di pangkuannya. Sementara mereka menunggu suara sirene yang baru terdengar bunyinya berapa lama kemudian. Karena tidak ada tindakan medis yang segera, Martin Lawther tewas di antara bangku tribun itu, dia sudah tidak bernapas setibanya di rumah sakit. Heat Stroke, sebuah kondisi paling berat pada tubuh akibat cuaca panas karena tubuh tidak dapat mengontrol suhu badan.
Denis menceritakan semua kisah itu ketika mereka tengah berjalan menyusuri jalur pemakaman penduduk Lambeth yang berliku. Di salah satu bagian makam yang tampak lebih baru, di lereng bukit yang curam, bebatuan nisannya lebih kecil, barisan tampak lebih rapi. Dia mengangguk ke salah satu nisan itu dan Nicki segera berlutut untuk membacanya. Martin Lawther Scott. Dilahirkan, Lambeth pada tanggal 19 Juli 1977 dan meninggal pada tanggal 20 Agustus 1992.
“Dan mereka akan memakamkannya di sebelah sini?” tanya Nicki, sambil telunjuknya mengarah ke salah satu tempat yang masih kosong di samping makam Martin.
“Ya, ada isu yang mengatakan seperti itu,” jawab Denis.
“Tempat ini sepertinya selalu bagus untuk sebuah isu.”
Mereka berjalan beberapa langkah menuju sebuah bangku dari jeruji besi yang ada tepat di bawah sebatang pohon elm yang tinggi menjulang. Mereka berdua duduk di sana dan sepertinya sudah siap untuk membicarakan masa lalu. “Siapa yang berani memecat Maggie?” tanya Nicki.