Satu hal yang nggak pernah gue lakuin ketika gue sedang naksir sama cewek, yaitu ngajak ngobrol face to face. Saat itu gue merasa seperti manusia yang lupa dikasih bekal keberanian sama Tuhan. Gue itu dulu cemen banget. Padahal tampang lumayan. Pakaian bisa dikatakan cukup bagus walaupun gue nggak pakai baju-baju branded. Tapi kalau menyangkut soal nyali, gue belum punya banyak.
Sewaktu gue bisa jadian sama Nia, itupun juga suatu kebetulan. Sebelumnya gue juga nggak menaruh rasa suka sama dia. Tapi, karena acara sinetron televisi yang telah membuat gue jadi dekat sama dia. Waktu itu gue nggak sengaja ikut kumpul bareng sama temen-temen cewek di kelas. Gue lihat mereka seperti membahas sesuatu yang asyik sehingga tawa mereka sampai meledak-ledak ke telinga gue.
Gue mendekat dengan tatapan sok keren, dan duduk di antara mereka hanya sekadar basa-basi. Tapi, setelah gue mendengar apa yang mereka obrolin, gue langsung ikutan jadi pembicara diantara mereka. Karena waktu itu membahas soal serial di televisi yang judunya, ‘Cinta Yang Masih Di Bawah Umur’ dan kebetulan gue juga tahu sinetron itu, sebab gue sering lihat setelah azan maghrib.
“Eh, iya. Sam itu keren banget!!!” ucap salah satu cewek. Namanya, Niken.
“Eits, ada lagi, adiknya Tiara. Itu ya ampuuun cool banget!” sahut cewek yang lain.
“Apalagi Mang Jaja, dia itu keren banget!!!” timpal gue ikut-ikutan.
Langsung semua cewek yang berada di situ melihat gue dengan tatapan aneh. Gue diem.
“Dia bukannya pembantu, ya?” tanya Niken ke gue dengan sorot mata menyimpan kebingungan.
“Iya, emang. Keren, kan? Demi keluarganya dia mau ngambil peran sebagai seorang pembantu. Coba kalau Sam yang jadi pembantunya, kan jadi gak keren,” ujar gue.
Hening.
Mereka terlihat sedang mikir.
“Iya juga ya,” seru Nia yang menjadi cewek pertama yang setuju mengenai pendapat gue. “Coba kalau Sam yang jadi pembantunya, terus Mang Jaja yang jadi tokoh utamanya. Kan jadi gak keren tuh,” tambahnya.
“Iya juga sih.”
“Iya juga sih.”
Serentak semua cewek di situ langsung setuju. Sambil manggut-manggut dan melihat satu sama lain.
Setelah istirahat usai. Kebetulan karena waktu itu temen sebangku gue gak masuk, jadi gue duduk sendiri. Tiba-tiba saja, Nia langsung menghampiri gue dengan salam pembuka yang sok asik.
“Kosong, kan?”
Gue diem. Padahal seharusnya dia tahu kursi di sebelah gue sejak tadi memang kosong.
“Gue boleh duduk?” katanya.
“Boleh.”
“Lo juga suka nonton cinta yang masih di bawah umur?”
“Dikit. Karena awalnya gue penasaran sama judulnya.”
“Judulnya?”
“Iya. Coba deh, cinta yang masih di bawah umur. Gue kira nyeritain kisah cinta anak-anak SD gitu. Padahal, kalau gue bisa nyaranin produser atau sutradaranya, gue kasih judul, ‘Cinta Yang Masih Mentah’ atau ‘Kisah Cinta Di Bawah Sumur’ gitu.”
“Iya aneh sih emang. Tapi bagus juga sih ceritanya. Menyangkut percintaan anak sekolah. Eh, tapi baru kali ini gue tahu cowok suka nonton sinetron.”
“Ya karena gue beda sama cowok-cowok lain.”
Benar, kata orang. Perbedaan membuat ketidakmungkinan menjadi mungkin. Yang tidak bisa diprediksi bersatu, jadi bisa bersatu.
Setelah kejadian hari itu, hari-hari berikutnya gue sering ngobrol dengan Nia membahas topik yang sama dengan waktu kejadian yang berbeda. Gue perlahan bisa jadi teman penghabis waktunya di sekolah, juga terkadang di luar sekolah.
***
Gue mutusin kalau gue harus segera menemui Berlin, dan segera minta nomor teleponnya. Karena bagaimanapun juga, hati juga butuh suasana tenang.
Jam pelajaran ke tujuh, kelas gue ada mata pelajaran Biologi. Gurunya tidak terlalu garang. Juga tidak terlalu overprotektif sama murid-murid. Setelah Pak Junaedi—guru Biologi yang biasa dipanggil ‘Pak Jun’ mencatat daftar kehadiran murid, langsung dilanjutkan olehnya pengisian materi. Gue tidak terlalu suka dengan konsep mengajarnya. Bukannya gue gak menghargai, melainkan cara beliau menyampaikan selalu saja membingungkan. Padahal gue tahu kalau materi yang sedang dibahas itu sebenarnya mudah. Bukan hanya gue yang merasakan cobaan itu. Tapi kebanyakan murid kelas yang dibimbingnya merasakan hal yang sama seperti gue.
Karena jika gue memaksakan buat tetap ikut pelajaran Pak Jun, gue tetap tidak mengerti apapun dan itu akan sia-sia saja. Hari itu kelas Berlin sedang ada jam kosong. Terlihat banyak murid dari kelasnya pada duduk-duduk di luar kelas. Tapi gue tidak mendapati Berlin di sana. Mungkin sedang di dalam kelas.
Hingga beberapa menit kemudian, Berlin ke luar sama temen ceweknya. Namanya, Melan. Jalan berdua sambil gue lihatin mereka dengan heran.
Melan mengenal gue dengan baik. Dia gemuk dan supel. Tidak banyak omong, tapi lucu. Enak diajak bercanda. Jadi, ketika gue ngobrol sama dia, gak pernah merasa tegang atau malu-malu.
Itu adalah kesempatan yang sangat tepat buat gue ngomong langsung sama Berlin. Ditambah lagi ada Melan di sana yang mengenal gue dengan baik, mungkin saja dia bisa membantu gue. Setidaknya sebagai pengisi suasana yang beda.
“Permisi, Pak. Saya mau izin ke kamar mandi sebentar,” ucap gue pada Pak Jun.
“Dua menit!”
“Siap!”
Itu adalah kalimat paling klise yang sering diutarakan seorang pelajar yang kejenuhannya sudah tingkat tinggi. Dan, waktu dua menit sudah sangat cukup buat gue bisa manfaatin ketemu sama Berlin. Tidak terlalu jadi pengacau bila nanti gue terlalu lama. Kalaupun gue dihukum, atas dasar apa seseorang mencari kesalahan orang lain yang sedang kebelet?
“Permisi!” sahut gue di balik punggung dua cewek.
Keduanya menoleh. Yang satu senyum. Yang satu biasa saja.
“Hei,” balas Melan. Berlin hanya diam.
Melan yang menimpali, kedua mata gue tetap fokus ke Berlin. Saat itu gue seperti di hadapan warga biasa yang menjadi target istimewa gue. Sedangkan gue sendiri layaknya seorang penagih nasabah yang masih pemula, tapi sudah nekat terjun ke lapangan.
“Boleh aku meminta nomormu?” pinta gue. Tapi ke Melan.
Melan langsung kebingungan sendiri.
“Hah?! Buat apa?”
“Buat curhat aja sih,” jawab gue asal. Sambil nyembunyiin kegugupan gue.
“Nih... Kertas,” tambah gue sambil nyodorin secarik kertas yang sebelumnya sudah gue siapin.
“Pulpen?” tanya Melan.
Gue lekas rogoh saku di baju gue. Dan gak ada. Gue coba ke saku celana, kiri-kanan. Gak ada juga. Celana belakang, gak mungkin karena gak ada sakunya.
Dan tanpa gue sadari, gue berdiri bersebelahan dengan koperasi sekolah. Tuhan memang bisa banget menyadarkan hambaNya disaat hambaNya sedang butuh.
Segera gue masuk ke koperasi. Bukan beli pulpen, tapi pinjem pulpen ke penjaga koperasi. Setelah dipinjami, gue kembali menemui Berlin dan Melan yang sedang senyum-senyum aneh. Mungkin sedang ngomongin gue.
“Kenapa?” tanya gue ke Melan. Sambil sekilas melirik Berlin yang mimik wajahnya berubah datar.
“Gapapa. Kelas lo bukannya ada pelajaran ya?” jawab Melan sambil berusaha menghilangkan tawanya.
“Ada.”
“Terus kenapa lo ke sini?”
“Gue izinnya ke kamar mandi. Tapi setelah gue nemuin lo.”
“Lo bilang gitu ke guru?”
“Nggak, sih. Gue cuma bilang mau ke kamar mandi aja.”
“Bohongin guru, dosa lo.”
“Intinya gue ke kamar mandi, kan? Terus gue bohong dalam hal apa dong?”
Hening.
“Gue ke kamar mandi dulu ya,” ucap gue sambil beranjak pergi. Sekali-kali berhenti untuk menengok ke belakang, berharap Berlin melihat langkah gue. Tapi, tidak. Gue yang melihat langkah dia juga turut menjauh.
***
Pemain amatiran yang mencoba mengambil selip drama cinta yang tersedia di kehidupan adalah gue. Pemuda dengan tampang yang sering dibilang tampan. Juga tingkah yang diniliai sedikit nakal. Tapi walaupun dibilang nakal, gue tetap berbakti sama orang tua juga tetangga terdekat.
Kenakalan gue biasa terjadi disaat gue sedang happy. Tidak selalu perasaan yang sedang bahagia, tetap berwibawa menjaga sikap dengan baik. Itu tidak tentu! Bahagia juga kerap menjadikan sikap menjadi berlebihan.
Seperti saat gue berhasil mendapatkan nomornya Melan. Setelah pulang ke rumah, gue langsung saja menyambar ponsel gue yang stay alone di bawah bantal tempat tidur gue. Lantas gue menghubungi nomor Melan yang baru dia kasih. Gue misscall.
Ada sambungan, langsung gue matiin. Gue gak mau kehabisan banyak pulsa hanya gara-gara nelepon orang yang gak penting.
Kemudian, setelah gue matiin ponsel, ada pesan masuk dari nomor Melan. Dia kirimin pesan seperti ini: “Kalau gak niat buat nelpon, mending jangan. Siapa sih lo? Ganggu orang lagi nge-game aja!”
Gue nggak tau kalau Melan termasuk orang yang sangat sensitif. Padahal dia belum tahu siapa orang yang baru saja misscall dia.
Gue langsung bales, “Gue, Arga.”
Sepuluh menit setelah pesan gue terkirim, dia bales: “Oooooh. Ada apa?”
“Septa minta nomornya Berlin buat keperluan ekstra dance.”
“Keperluan kok sama nomornya. Ya sama orangnya dong. Septa atau elu nih?”
“Ya, kalau gue, sih, juga butuh. Soalnya kalau dapet nomornya Berlin, gue dikasih pulsa sepuluh ribu sama Septa.”
“Ya keenakan elu dong nantinya. Gini, deh, nanti kongsi aja. Lo lima ribu, gue lima ribu.”
“Oke.”
Satu alternatif yang perlu lo lakuin ketika lo tahu kekurangan yang ada pada diri lo yaitu buat alasan yang masuk akal buat raih tujuan lo tanpa memperhatikan kekurangan lo. Lelaki yang pemberani, belum tentu mampu berpikir dengan logika terhadap urusannya. Tapi, orang yang mampu berpikir dengan logika adalah orang yang paling keren dibandingkan orang paling berani sedunia sekalipun.
Seperti yang gue lakuin. Gue nggak berani minta nomor Berlin langsung dari dia sendiri. Tapi, karena kurangnya keberanian itu, gue manfaatin situasi yang ada dengan logika gue. Ada Melan, sebagai teman paling dekatnya Berlin. Dia pasti tahu mengenai Berlin. Termasuk salah satunya adalah nomor telepon. Langsung saja gue minta nomor telepon Melan terlebih dahulu sebagai jembatan gue agar bisa sampai ke tujuan gue yang sebenarnya.
Nah, akhirnya gue dapat nomor telepon Berlin setelah gue membujuk Melan dengan penawaran yang sederhana. Dan sebenarnya gue juga nggak pernah disuruh Septa untuk meminta nomor Berlin. Itu hanya alasan gue untuk menutupi kekurangan gue.
“Mana pulsanya? Buruan transfer!” pinta Melan setelah mengirim nomor Berlin.
“Gue dibeliin Septa pulsa listrik, bukan pulsa buat ponsel. Oh iya, Septa bilang, sekian dan terima kasih.”
Gue tahu kalau di seberang sana, Melan kecewa karena merasa diberi harapan palsu sama gue. Tapi, saat itu gue janji, kalau Berlin jatuh ke pelukan gue, gue akan beliin pulsa lima ribu buat Melan sebagai ganti kekecewaan hari itu.
Gue segera menghubungi nomor yang Melan kasih ke gue. Gue berharap, cara pengucapan gue agak berbeda ketika di telepon dibandingkan ketika ngomong langsung. Semoga tidak gagu seperti orang salah sambung.
Gue seneng banget ketika tidak ada suara operator yang biasa bilang, “Maaf, nomor yang anda tuju tidak terdaftar.” Tapi, lebih menjengkelkan lagi ketika ada suara operator di seberang bilang, “Sisa pulsamu tidak cukup untuk melakukan panggilan ini.”
Gue tidak biasa mengisi pulsa telepon, karena gue terbiasa hanya pakai SMS. Gue langsung ke toko sebelah rumah dan beli pulsa telepon. Hanya butuh enam ribu rupiah untuk ngehilangin rasa penasaran gue.
Gue sedikit gugup ketika ada sambungan telepon. Tapi masih bisa gue tahan karena saat itu gue sambil mikirin masa kelam saat gue diputusin sama Nia. Jadi ada sedikit rasa geram yang muncul. Lalu mendominasi suasana hati gue menjadi tidak lagi takut.
“Halo”
Suara dari seberang terdengar sampai ke telinga gue. Rasa gugup menyambut gue. Dan gue tahu cara menghilangkannya. Berjalan entah ke mana, sambil mengambil udara yang berserakan di lingkungan sekitar rumah gue.
“Ini Berlin ya?” jawab gue.
“Iya. Ini gue Berlin. Ini siapa?”
“Gue… Gue… Em… Gue Arga,” timpal gue dengan sedikit gugup.
“Oh, Arga yang kemarin minta nomor Melan? Ada apa?”
“Gapapa. Lo sibuk gak?”
“Enggak kok.”
Gue senyum kegirangan. Sambil loncat-loncat di pinggir jalan. Semacam orang yang habis dapat hadiah uang dari dalam snack.
“Gue buat lo sibuk mau?”
“Maksudnya?”
“Lo temenin gue chat ya, sebentar.”
“Okay.”
Satu menit yang berharga buat gue. Gue seneng banget akhirnya nomor telepon Berlin bisa dihubungin. Dan gue berharap saat itu dia juga masih jomlo.
Setelah beberapa kali balas-kirim pesan dengannya, ada sinyal positif di luar kepala gue yang membuat hati dan perasaan gue semakin antusias dan percaya diri untuk bisa dapatin hati Berlin. Ditambah lagi cara Berlin balas pesan gue cepet dan menurut gue dia juga tidak cuek.
***
Hari minggu, gue ada rencana keluar sama Berlin. Ngerjain tugas sekolah bareng di warnet. Waktu itu gue nggak jemput dia. Dia mutusin agar bawa motor masing-masing. Karena kalau boncengan, malah terlihat seperti satu saudara yang mau lebaran ke rumah kakeknya. Bukan seperti orang pacaran. Ya gapapa, gue nggak mau citra Berlin dan gue terlihat buruk di mata masyarakat.
Saat itu gue belum jadi pacar Berlin. Hanya sebagai teman dekat. Gue mencari-cari alasan supaya gue bisa keluar sama dia. Dan nggak terlalu sulit buat gue menemukan alasan itu.
“Kamu buru-buru pulang?” tanya gue.
“Gak juga sih. Mau beli bakso sebentar buat bapak sama ibuk,” katanya. “Eh, tumben kok pake ‘kamu’ biasanya lo-gue gitu,” tambahnya.
“Karena kamu lebih romantis dibanding lo. Yuk!” sergah gue sambil beranjak ke motor yang gue parkir di bawah pohon.
“Ke mana?”
“Ke tukang bakso.”
Berlin menurut. Di perjalanan, gue bawa motor di belakang dia. Sambil mengawasi dia dari jarak satu meteran. Tidak ada kejadian yang menggelegar selain saat kasmaran. Gue sempat berpikir, seperti apa gambaran yang terlukis di dunia nyata gue setelah gue pacaran sama Berlin.
Sebentar mengenalnya, gue bisa menduga kalau Berlin adalah cewek yang baik dan sederhana. Penampilannya juga tidak terlalu berlebihan saat ketemu sama gue. Setahu gue biasanya kalau cewek yang ketemuan sama calon pacarnya, dandanannya parah abis. Lipstick di mana-mana. Pensil alis yang digambar seperti penari ronggeng. Aneh-aneh, deh, pokoknya.
Tapi, gue percaya bahwa dunia masih menyisakan cewek yang natural dan apa adanya seperti Berlin. Gue juga bisa menilai kalau Berlin adalah tipe cewek yang sayang keluarga. Sampai mau ngebeliin bakso buat ibu dan bapaknya. Itu kejadian yang jarang banget gue temuin.
“Kamu jomlo?” tanya gue.
Kursi kayu berukuran dua meter menjadi tempat duduk gue waktu. Berlin di samping kiri gue. Di hadapan gue, ada ibu-ibu dan anak kecil perempuan yang sedang makan bakso.
“Bukan jomlo. Single!”
“Apa bedanya jomlo sama single?” tanya gue.
“Jomlo itu nasib. Single itu keputusan.”
“Terus kenapa mutusin buat single?”
“Cowok itu sama aja. Bisanya bikin kecewa. Gak pernah main perasaan, jadinya gampang bosan,” katanya.
“Tapi gue enggak kok,” sergah gue. Anak perempuan di depan gue langsung tersedak setelah gue mengucapkan kalimat itu.
Berlin pun mengetahui itu.
“Tuh. Tanda-tanda kalau lo bohong. Manis awal aja, setelahnya mungkin sama kek cowok-cowok lain,” sergah Berlin sambil melihat anak perempuan yang meneguk segelas air.
“Aku menghargai pendapat kamu. Manusia bebas berpendapat, kan? Aku maklum karena kamu belum tahu banyak tentangku.”
Pramusaji datang membawa pesanan kami.
“Terima kasih.”
“Aku bingung deh, kenapa cewek selalu negative thinking terus sama cowok?”
“Karena cewek yang sering menjadi korban cowok-cowok.”
“Korban dalam hal?” tanya gue.
“Ya, banyak. Diduain, dibohongin, dikekang, dikasarin. Banyak deh.”
“Gue juga boleh berpendapat soal cewek?”
Berlin menoleh ke arah gue. Dengan raut muka datar.
“Cewek selalu memikirkan perasaannya sendiri. Memang cewek tidak terlihat agresif. Tidak seperti cowok. Tapi, karena cewek selalu ingin perasaannya bisa terus bahagia, mereka jadi egois dan mementingkan perasaannya sendiri.”
“Maksud lo?”
“Aku pernah dikecewain sama cewek. Aku sebenarnya pengin hubunganku sama dia bisa bertahan lama. Tapi, semua itu digagalkan oleh cewek aku sendiri waktu itu. Dengan alasan, dia tidak bisa LDR-an. Karena waktu itu, dia mau pindah sekolah.”
Hening sekejap.
“Terus, apakah hanya cowok yang pantas dijadikan lubang kesalahan? Kita bisa menilai sisi kepribadian masing-masing. Orang yang pernah dikecewain, mereka tidak punya niat buruk sedikitpun untuk hubungan mereka. Mereka hanya ingin memulai hal baru dengan lebih baik.”
***
“Gimana hubungan lo sama Berlin? Sudah ganti status?”
“Belum. Masih temenan aja.”
“Terus maksudnya lo kemarin keluar bareng sama Berlin apa?”
“Ya gue pengin kenal dia lebih deket aja sih. Seengaknya, gue bisa terang-terangan ngobrol sama dia.”
Malam minggu, gue lagi jalan sama Riski ke minimarket deket rumah buat beli snack. Riski mau tidur di rumah gue. Dia juga mau cerita sama gue soal pacarnya.
“Secepatnya lo harus nembak dia, Bro! Lo mau keduluan sama cowok lain?”
“Kalo dia mau keluar sama gue, tentunya gak ada cowok lain dong, selain gue.”
“Bro, cewek itu butuh kepastian dari cowoknya. Kalau cewek sudah ngasih kode mau jalan dan mau chattingan sama lo, itu artinya dia mau sama lo. Tapi, kalau lo belum nembak-nembak dia atau ngeresmiin hubungan lo, si cewek bisa mikir yang kagak-kagak. Takutnya, lo dianggep cuman baperin dia doang.”
“Terus gue harus gimana?”
“Tembak dia sekarang!”
“Sekarang? Lo gila?”
“Eh, mencintai itu apa adanya, Bro! Lakuin sekarang, atau lo kehilangan dia.”
“Tapi masa iya nembak cewek lewat SMS?” sergah gue.
“Yang penting niatnya! Udah deh jangan kelamaan. Siapa tahu Berlin sedang nunggu kepastian dari lo. Nunggu kepastian itu gak enak, Bro.”
Sambil jalan, gue mengetik beberapa kalimat di ponsel buat gue rangkai menjadi kalimat anti klise untuk nembak Berlin.
Begini pesan yang gue kirim: Tuhan memberikan waktu agar hambaNya semakin paham. Memahami tentang kejadian yang sudah terjadi. Bahkan memahami kejadian yang belum terjadi sekali pun. Kamu mungkin bukan orang pertama yang diciptakan Tuhan di bumi. Tapi, meskipun bukan yang pertama, dengan cara Tuhan menciptakan kamu dan menempatkan di bumi, sudah membuatku paham bahwa Tuhan ingin ada orang yang mengerti keluh kesahmu setiap detiknya. Bahwa ada seseorang yang harus bisa mengerti ragamu di bumi. Aku mungkin bukan tipe cowok yang pandai melankolis. Tapi izinkan aku bisa menjadi orang yang pandai memahamimu. Segala sisi perasaanmu itu adalah tugas belajarku. Kamu mau menjadi pacarku?
Kalian bisa menyimpulkan sendiri tentang kalimat itu. Bagaimana gue tiba-tiba menjadi cowok yang puitis dan sok agamis. Tapi, jika kalian mau tahu, gue bisa membuat kalimat seperti itu sebab gue suka baca buku. Dan sering mendengarkan keluh kakak sepupu gue ketika di rumah.
Tapi, menurutku itu tidak terlalu penting buat kalian pahami. Melainkan, yang harus kalian pahami adalah respon balik dari Berlin setelah gue mengirim pesan itu padanya.
Berlin: Maaf, aku nggak bisa.
Tiga kosa kata, satu kalimat yang secara instan membuat perasaan gue hancur. Gue merasa bahwa perkiraan Riski memang salah. Berlin tidak menunggu gue. Berlin memang tidak butuh kepastian dari gue. Mungkin, tentang hari minggu kemarin yang membuat Berlin mau keluar sama gue, itu cuma jawaban bahwa Berlin merasa tidak enak jika menolak ajakan gue.
Tapi, biar bagaimanapun gue sedikit merasa senang, karena Berlin pakai ‘aku’ bukan ‘gue’ itu sedikit membuat gue melupakan penolakannya, walaupun sebentar.
Gue juga meminta jawaban darinya, kenapa dia menolak gue.
Berlin: Aku sudah janji sama Marinda, buat tidak pacaran lagi.
Itu adalah alasan anti klise yang tidak pernah gue dengarkan dari cewek lain. Gue langsung matiin ponsel gue. Kembali jalan sama Riski menuju rumah gue.
Sampai di rumah, gue tetap diam seakan tidak terjadi apa-apa. Riski juga belum tahu kalau gue sudah nembak Berlin, dan hasilnya gue ditolak. Waktu itu gue tidak terlalu percaya diri buat cerita langsung sama Riski tentang penolakan dari Berlin. Menurut gue, tidak semua masalah harus diceritain ke orang lain.
“Gimana, sudah nembak dia belum?”
“Belum.”
“Yaah, kelamaan lo,” sahutnya sambil mengambil ponsel gue yang tergeletak di lantai.
“Ngapain lo?!”
“Gue mau SMS dia.”
Gue diam saja. Toh, mungkin akan ada jawaban yang sama dari Berlin. Gue juga tidak peduli lagi kalau Riski tahu sendiri jawabannya.
“Kalau sampai Berlin nerima lo, semua snack ini jatah gue!”
“Kalau dia nolak?”
“Gue akan bayarin uang kas kelas lo selama satu bulan,” tawarnya.
“Oke!”
Gue sebenarnya juga menunggu-nunggu balesan dari Berlin. Tapi, ponselku masih belum berbunyi sama sekali. Beginilah resiko menaruh hati sama perempuan. Ketika kehidupan gue yang sebenarnya sudah menyenangkan, berubah menjadi ribet dan membuat gue gak tenang.
Seraya menunggu, gue main PS sama Riski. Permainan bola yang biasa menimbulkan konflik antara gue dengan Riski. Sudah enam pertandingan dengan tim yang berbeda gue lalui dengan Riski. Satu pertandingan memakan waktu sepuluh menit. Itu artinya sudah satu jam Berlin tidak menghiraukan pesan gue. Itu tidak seperti biasanya. Apakah Berlin tidak mau berkomunikasi sama gue lagi sebab ada maksud lain dari gue buat menjadikan dia pacar gue? Sempat gue berpikir begitu.
“Gue ke kamar mandi dulu, ya.” Tiba-tiba gue sakit perut dan menghentikan pertandingan yang sudah setengah jalan.
Setelah gue kembali dari kamar mandi, gue melihat Riski yang senyum-senyum sendiri sambil mainin ponsel gue.
“Kenapa lo?”
Dia menoleh ke arah gue dengan senyum yang masih sama.
“Memang benar, ya, cewek emang butuh kepastian.”
“Hah?!” Gue masih berdiri dengan tatapan d***u.
“Dia nerima lo, nih!”
“Hah?!”
“Hah heh hah heh! Jadi snack semua ini jatah gue!” Dipeluknya semua snack oleh Riski.
Gue bingung dong. Apakah memang benar seperti kejadian yang sekilas nampak di pikiran gue?
Gue segera melihat ponsel gue. Dan yang bisa gue baca waktu itu adalah kalimat yang terbilang, “Iya, aku mau jadi pacar kamu.”
Tentu dong, gue nggak langsung seneng gitu aja. Ada keanehan yang membekas di benak gue. Tadinya, gue nembak Berlin, gue ditolak. Dan, baru gue lihat setelah Riski yang ngirim pesan, ternyata diterima.
“Lo ada main sama Berlin di belakang gue, ya?”
“Main apaan?” tanya Riski sambil tampangnya terlihat bingung.
“Lo tadi nembak Berlin atas nama siapa?”
“Ya atas nama lo, lah! Kok lo bukannya seneng, sih?”
“Ya bukannya gue nggak seneng, cuma tadi gue sempet nembak Berlin pas kita jalan tadi, Dan gue ditolak.”
“Nah ini buktinya lo diterima sama dia. Coba lo lihat sendiri pesan yang habis gue kirim tadi ke dia.”
Pesan terkirim dari Riski menurut gue kalimatnya singkat banget. Nggak seribet gue kirim pesan pertama.
“Lo nggak nanya alasan dia apa nerima gue?”
Riski menggeleng saat itu.
“Cinta itu nggak butuh alasan, Bro. Lo berharap dia muji-muji lo gitu?”
“Ya nggak gitu. Gue heran aja. Tadi waktu dia nolak gue, alasannya gara-gara dia sudah janjian sama Marinda buat nggak pacaran.”
“Terus?”
“Yasudah. Gue diemin. Intinya dia nolak gue.”
“Arga-Arga, lu mah gitu mulu kalo mikirin cinta. Ya, coba lu nanya alasan ke Berlin kenapa tiba-tiba dia nerima lu.”
Berlin: Kata Marinda, dia nerima cintanya Danar. Masak aku nggak nerima kamu.
Setahu gue, Marinda adalah teman kelasnya Berlin. Gue nggak terlalu deket sama dia. Hanya pernah denger dari Septa kalau Marinda juga ikut ambil bagian dalam ekstra tari.
Sejak hari itu, gue percaya diri buat cerita ke temen-temen kelas gue. Tentang hilangnya status jomlo gue. Dan gue memperkenalkan Berlin ke temen-temen kelas gue bahwa dia adalah pacar baru gue. Nggak semua orang gue kasih tahu. Hanya Rahmad, Gery, dan Fery.
Mereka senang mendengarnya. Termasuk Fery yang merasa tidak percaya bahwa orang yang pernah nolak dia dulu, saat itu nerima cinta temannya sendiri.
***
Sering kali gue berpikir, apakah gue akan bisa tetap yakin pada satu cewek? Semua keadaan yang ada gue lalui tanpa berusaha menyakiti perasaan cewek gue. Mungkin Berlin juga melakukan hal yang sama tanpa sepengetahuan gue. Walaupun, kita sering berantem memperdebatkan hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Namun, masih saja bisa baikan setelahnya.
Gue merasa itu adalah bagian dari proses penyempurnaan dalam sebuah hubungan. Gue sering melakukan hal yang sama seperti orang yang jatuh cinta diam-diam. Masih suka melihat dia dari kejauhan. Mengawasi gerak-geriknya. Pernah marah-marahan sebab gue cemburu ketika melihat dia tertawa bareng sama Aldi. Tapi, gue selalu bisa dibuatnya paham kalau itu hanya sebatas canda antara teman sekelas. Tentu gue percaya.
Setiap hari, setelah pulang sekolah atau sedang cuti sekolah, dia yang selalu SMS gue duluan. Itu yang gue suka. Seakan bukan hanya gue yang berusaha mempertahankan hubungan. Dia juga. Gue juga rela menembus derunya hujan pada saat jam pelajaran sekolah kosong. Saat itu, murid-murid sedang di luar kelas. Menjulurkan tangan mereka supaya bisa bersentuhan dengan hujan.
Dan, waktu gue melihat Berlin tengah duduk sendirian di depan kelas, gue secara sigap langsung menghampiri dia. Sebetulnya, gue bukan tipe cowok yang gentleman seperti itu. Gue juga heran kenapa gue bisa seberani itu sama cewek. Semua berawal dari cinta gue ke Berlin. Karena sebelum sama dia, kalau gue suka sama cewek atau sedang menjalani hubungan sama cewek, kebanyakan menghabiskan waktu dengan saling berkomunikasi via SMS. Dan, hubungan itu pun tidak bertahan lama.
Entahlah, karakter seseorang biasa berubah setelah kejadian buruk telah dilalui. Gue hanya memikirkan berlebihan atau tidaknya apa yang gue lakuin. Tentu tidak. Siapa yang melarang orang yang sedang ngobrol di depan kelas saat hujan turun?
***
Teruntuk cowok yang biasa pacaran saat masih sekolah, mereka mudah sekali bosan. Banyak sekali penyebab soal itu. Konsep pacaran yang itu-itu saja, terlalu sering bertemu dan membahas obrolan yang basi. Itu sering terjadi untuk seseorang yang menjalani hubungan saat masih sekolah. Dan gue mengalami itu.
Riski pernah bilang, “Kalau lo ngerasa jenuh sama hubungan lo. Ingatlah awal perjuangan lo ngedapetin dia. Seberapa besarnya cinta lo saat itu sama dia. Bagaimana ribetnya usaha lo. Dan, seperti apa usaha orang-orang terdekat lo buat kasih support sama hubungan lo.”
Gue berusaha bertahan walaupun gue sangat bosan. Demi keindahan suatu saat yang kemungkinan terjadi. Demi perasaan perempuan yang tidak boleh disakiti.
“Wanda itu dulunya satu kelas sama lo, kan?” tanya gue ke Gery.
“Iya. Kenapa?”
“Cantik.”
“Emang cantik dia. Lucu lagi orangnya.”
Walaupun sudah satu semester gue satu kelas sama Wanda, gue baru sadar kalau dia cantik. Lucu juga seperti yang dibilang Gery. Mungkin karena Wanda bangkunya berada di pojok depan, jadi nggak terlalu terlihat cantiknya. Sedangkan, bangku gue paling pojok belakang.
Gue diam-diam juga sering melihat Wanda kalau sedang tertawa bersama teman-teman cewek lainnya. Gue suka melakukan hal itu. Sangat suka. Apalagi, kalau pelajaran di sekolah sudah sangat membosankan. Gue heran kenapa dengan melihat Wanda, gue bisa senyum-senyum sendiri seperti orang yang sedang jatuh cinta.
Bersamaan dengan itu, ada cewek lain di kelas yang suka sama gue. Namanya, Ines. Dia tipe cewek yang nggak banyak omong dan nggak banyak tingkah. Itulah kenapa gue tahu kalau dia suka sama gue, sebab dikasih tahu orang lain. Gue juga tahu kalau dia kerap diam-diam melihat ke arah gue kalau sedang ada pelajaran dikelas. Sumpah, gue sangat risih merasakan itu.
Gue nggak suka memberikan harapan palsu sama cewek. Kalau gue nggak suka, pasti gue akan nolak dia. Tapi, gue juga nggak secara terang-terangan mengatakan penolakan itu.
Seperti saat jam istirahat. Ines sedang duduk sendiri sambil merapikan buku-bukunya. Gue menghampiri dia dan bersikap sok asyik padanya.
“Lo sudah nulis catatan yang ditulis Bu Tatik di papan tadi?” tanya gue ke Ines. Gue mendapati muka dia seperti tersipu. Gue nggak pernah melakukan hal seperti itu padanya.
Ines sedikit terkejut dengan datangnya gue. “Eh… sudah, kok. Kenapa?”
Gue ambil bukunya sambil gue berlagak serius seperti mengecek catatannya. Gue membuka-buka buku Ines juga sambil sedikit meliriknya. Tulisannya sudah selesai semua. Tapi, tujuan gue bukan untuk melihat itu.
“Ini nomornya Wanda?” tanya gue lagi. Nggak sengaja gue buka buku tulis itu sampai lembar terakhir. Dan, biasanya, lembaran terakhir buku sering digunakan seorang pelajar remaja sebagai media buat meluapkan rasa bosan.
“Iya,” katanya sambil tetap tersenyum walaupun tidak nampak tulus seperti sebelumnya.
“Ada pulpen?”
Ines kasih pulpen ke gue. Gue langsung catat nomor Wanda yang ada di buku Ines ke lengan gue. Gue lihat, Ines seperti orang yang sedang naik darah. Senyumnya hilang.
“Makasih, ya,” gue jawab. Dengan cara itu, gue bisa mengungkapkan perasaan gue yang sebenarnya ke Ines, tanpa harus secara frontal mengucapkan penolakan.
***
Suasana antara gue sama Wanda telah sedikit mengalami perubahan. Awalnya yang tidak saling mengenal, kemudian saling mengerti satu sama lain. Tentang kesukaan, kebencian, dan masa lalu. Gue suka melihat dia tersenyum ke arah gue ketika di kelas. Lesung pipi yang melengkapi desain senyumannya yang membuat gue semakin sulit untuk lupa.
Itu penyebab utama kenapa perasaan gue ke Berlin berubah total. Yang sebelumnya obrolan SMS antara gue dengan Berlin biasa mencapai dua ratusan pesan seharinya, berubah menjadi lima atau sekitar enam pesan saja dalam sehari.
Memahami perubahan yang sangat signifikan itu, akhirnya gue mutusin buat mengakhiri hubungan gue dengan Berlin.
“Aku minta maaf dan terima kasih sama kamu untuk empat bulan yang menurutku sangat berarti. Maaf untuk hubungan kita yang sudah tidak bisa berjalan seperti biasanya. Aku mau kita bisa sendiri-sendiri lagi. Sampai pada akhirnya kita sama-sama saling mengerti kembali karena merasa sepi.”
Kalimat perpisahan yang gue kirim ke Berlin waktu malam ketika gue sedang duduk di luar rumah sendirian.
Berlin hanya menjawab, “Iya.”
Gue tidak memikirkan apapun lagi saat itu, selain berharap agar Berlin tidak menyimpan dendam seperti saat gue diputusin sama Nia dulu. Tentu akan sangat berbahaya jika Berlin menyimpan dendam ke gue.
Tapi, gue yakin kalau Berlin tidak akan melakukan itu. Berlin bukan tipe cewek pemikir. Melainkan, dia tipe cewek pengingat. Yang kebanyakan lebih merelakan kejadian yang sudah terjadi dan memulai suasana yang baru.
Sempat gue mengajak Berlin buat ngobrol face to face membahas soal hubungan gue dengannya. Tapi, setelah gue pikir-pikir itu nggak perlu. Karena akan lebih membuat dia bingung dan merasa tersudut. Sama seperti saat gue diputusin sama Nia. Mungkin, pada waktu kejadian gue bisa mengontrol perasaan gue untuk bersabar menerima. Beda lagi saat jauh. Gue bisa bersikap semaunya setelah kecewa. Bisa menangis menderu-deru. Atau juga boleh berteriak sekuat suara gue.
Nb: Ini adalah sampel cerita yang dulu pernah aku tulis waktu SMA. Masih receh banget, tapi nggak tahu menurut kalian gimana. Perlu aku terusin lagi atau enggak. Silakan berkomentar.