Sebelas

1060 Kata
Sebelas “Ya, kami sempat bicara soal itu.” Ada jeda canggung yang sedikit lama sembari masing-masing di antara mereka mengenang kembali pertandingan itu beserta segala rentetan misteri yang menyertainya. Pertandingan tersebut adalah momentum di mana Lambeth mendapatkan gelar terakhirnya. Dan pertandingan itu sudah cukup untuk dijadikan sebagai bahan analisis selama bertahun-tahun. Kalah dengan skor telak 4-0 di babak pertama pertandingan, diawali dengan permainan kasar, kebobolan, dan dibuat kucing-kucingan oleh tim lawan. Red Circle kembali ke ruang ganti pemain. Semua penggemar harap-harap cemas mengenai kembalinya performa para pemain, sedang Maggie tidak ada di sana. Dia tidak muncul hingga menjelang babak kedua berakhir. Apa yang mereka anggap sebagai kebenaran di balik peristiwa tahun 1987 itu tetap terkubur selama lima belas tahun. Dan sudah sangat jelas di raut wajah mereka, baik Nicki, Denis, Leo, maupun Jodan Sancho, tidak satu pun di antara mereka yang berniat memecah kesunyian. Masing-masing tenggelam dalam sudut pandang memorinya sendiri. Bersamaan dengan Maggie menyelinap di rumah sakit ketika Nicki dirawat, Maggie akhirnya meminta maaf, tapi Nicki sengaja tak memberitahu siapa pun soal itu. Munez dan Crouch mengucapkan selamat tinggal dan berlari pergi menembus kegelapan. “Kau tak pernah kembali, kan?” tanya Frank. “Usai aku terluka, aku sama sekali tak pernah kembali.” “Mengapa tidak?” “Tidak pernah ingin sedikit pun untuk kembali.” Sancho, yang sedari tadi kebanyakan diam daripada bicara, ternyata dia diam-diam sudah menghabiskan satu botol minuman yang lebih kuat daripada bir. Dan sekalipun dia bicara, kata-kata yang diucapkannya terkesan menuduh. “Kata orang, kau membenci Maggie?” “Itu sama sekali tidak benar.” “Tapi dia membencimu.” “Maggie selalu mempunyai masalah dengan bintang,” sergah Denis. “Sudah jadi rahasia umum. Agaknya kita semua di sini juga tahu kalau Maggie punya sikap sedikit kurang friendly terhadap seorang bintang. Dulu, kau memenangkan begitu banyak penghargaan, membuat rekor baru di setiap musim, sedang Maggie pun iri. Kadang aku merasa orang itu benar-benar sudah gila. Setiap latihan, dia melatih kita semua layaknya seekor anjing, dan bersamaan dengan itu dia menginginkan supaya setiap orang dari kita suatu saat bisa menjadi pemain yang hebat. Tapi, ketika orang-orang seperti Nicki mendapatkan posisi seperti itu, Maggie menjadi iri.” “Aku tidak habis pikir. Aku tidak begitu percaya dengan itu.” “Faktanya seperti itu. Pun dia membuka pintu buat semua college yang menginginkan sang bintang pada saat itu. Dia mau Nicki masuk Teiko.” “Dan dia mau aku masuk Angkatan Darat,” sahut Leo. “Beruntungnya dirimu tidak dipenjara,” timpal Denis. “Ceritanya masih belum selesai,” kata Leo dilanjutkan dengan gelak tawanya. Mobil lain menyusul masuk gerbang kemudian berhenti. Lampu-lampu depannya dipadamkan. Tak ada pintu dari mobil itu yang dibuka. “Penjara tak masuk dalam hitungan.” Sancho ikut menimpali, dan semua orang kembali tertawa. “Maggie mempunyai beberapa pemain yang dia sayang,” kata Nicki. “Dan aku tidak termasuk salah satu di antaranya.” “Menyebut ‘beberapa’ itu saja sudah tidak adil,” kata Denis. “Terus kenapa kau ke sini?” tanya Andy pada Nicki. “Aku juga tidak tahu. Mungkin sama seperti halnya alasanmu ke sini.” Selama musim pertamanya di Mifa, Nicki pernah pulang ke Lambeth dan mengikuti pertandingan di sana. Pada saat upcara pertengahan pertandingan, mereka memensiunkan nomor 8. Iringan tepuk tangan yang tiada henti dari para hadirin menyebabkan penundaan tendangan kick-off pada babak kedua pertandingan. Peristiwa itu merupakan satu-satunya pertandingan yang ditonton Nicki semenjak kepergiannya. Setahun berselang, dia ada di rumah sakit. “Kapan mereka bangun patung itu?” “Patung tembaga Maggie?” “Tentu saja.” “Dua tahun tepat setelah mereka mengakhiri karier pelatihnya di sini,” jawab Frank. “Sekitar sepuluh ribu dolar dikumpulkan oleh para pendukung untuk membuat patung tembaga itu. Para pendukung itu hendak memberi patung itu padanya sebelum pertandingan, tapi dia menolaknya.” “Jadi, dia tak pernah kembali?” “Ya, seperti itu,” kata Frank, setelah itu dia menunjuk sebuah bukit di kejauhan tepat terlihat di belakang gedung olahraga. “Sebelum debut pertandingan, ia selalu mengendarai mobilnya ke Austin Hill dan memarkir mobilnya di jalanan yang penuh kerikil di sana. Dia dan Miss Pratiwi duduk berdua di sana, memandang pemandangan di bawah sambil mendengarkan sayup-sayup suara Brian Moore di radio, masih terlalu jauh untuk dapat melihat lebih banyak, namun dia ingin memastikan bahwa penduduk di kota tahu kalau dia masih menonton. Dan selalu pada akhir babak pertama, para pendukung akan menghadap bukit tempat Maggie tengah duduk dan menyanyikan lagu pertempuran mereka, beserta lambaian tangan dari lima belas ribu pendukung kepada Maggie. ‘Cih, hebat juga,” kata Bruno. “Maggie tahu segala sesuatu yang terjadi, dia tidak melewatkan satu pun,” kata Denis. “Diego, yang menjadi informannya, pun kalau tidak disuruh, dia selalu menyampaikan gosip dalam dua kali sehari.” “Apa dia menutup diri?” tanya Nicki. “Tidak juga. Tapi, memang dia tidak banyak bergaul,” jawab Bruno. “Tapi paling tidak, dalam tiga atau empat tahun pertama sepertinya, ada desas-desus bahwa dia akan pindah, tapi isu tersebut tidak begitu ada artinya jika di sini. Dia hadir dalam misa pada setiap pagi, dan ada sejumlah orang yang seperti itu di Lambeth.” “Dalam beberapa tahun terakhir, dia lebih kerap keluar,” kata Denis. “Dia mulai bermain panahan.” “Apakah dia menyesal?” Pertanyaan itu membutuhkan jeda cukup lama: di mana perlu dipertimbangkan lebih dalam oleh yang lainnya. “Ya, dia kecewa,” kata Frank. “Aku pikir tidak,” ucap Denis. “Dia cenderung menyalahkan dirinya sendiri.” “Ada isu kalau mereka akan memakamkannya di samping Lawther,” ujar Bruno. “Aku juga dengar soal itu,” tegas Leo. Terdengar suara pintu mobil dibanting dan di sana terlihat sook yang melangkah ke running track. Berjalan seorang laki-laki pendek dan agak kekar menggunakan seragam sedang terhuyung menyusuri lapangan dan mendekati bench pemain, lalu mengarah ke bangku-bangku tribun. “Sepertinya akan datang masalah,” gumam Bruno. “Itu David Stone,” bisik Leo. “Sherif kita yang mulia,” kata Denis pada Nicki. “Nomor 1?” “Ya.” Nomor 8 Nicki merupakan seragam terakhir yang dipensiunkan. Sementara nomor 1 merupakan yang pertama. David Stone bermain di sekitar pertengahan enam puluhan dalam Major League. Tinggi seratus delapan puluh lima dan pada 35 tahun silam dia adalah penjaga gawang andalan, juga kadang menjelma menjadi preman di lapangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN