Enam Puluh

3543 Kata
“Itu sudah jelas. Aku ingin bertanya sesuatu? Apakah kau punya ayah atau saudara laki laki?” "Kenapa?" "Sebab seandainya anak perempuanku dianiaya suaminya, aku pasti akan mematahkan lehernya." "Ayahku tidak tahu. Orang tuaku masih gusar dengan kehamilanku. Mereka tidak akan pernah melupakannya. Mereka benci Yarber sejak saat pertama dia menginjakkan kaki di rumah kami, dan ketika skandal itu terbongkar, mereka mengasingkan diri. Aku tidak pernah bicara dengan mereka sejak aku meninggalkan rumah." "Tidak ada saudara laki-laki?" "Tidak. Tak ada seorang pun yang melindungiku. Bahkan sampai saat ini." Kata-kata ini menghunjam keras dalam perasaanku, dan butuh waktu beberapa lama bagiku untuk menyerapnya. "Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan," kataku. "Tapi kau harus mengajukan gugatan cerai." Entah kenapa jiwa kesalku semakin memberontak. Ia menyeka air mata dengan jari, dan aku mengambil sehelai tisu dari meja. "Aku tak bisa mengajukan gugatan cerai." "Kenapa tidak?" "Dia akan membunuhku. Dia selalu mengatakan begitu padaku. Kau tahu, ketika mengajukan gugatan sebelum ini, aku diwakili pengacara yang benar benar busuk, yang aku temukan di halaman kuning atau pada tempat semacam itu. Aku mengira kalau mereka semua sama saja. Dan dia pikir tentu akan lucu menyuruh deputi menyampaikan surat cerai kepada Yarber ketika dia sedang bekerja, di depan kelompoknya, teman teman minumnya, dan regu softball-nya. Yarber tentu saja merasa terhina. ltulah kunjunganku yang pertama ke rumah sakit. Seminggu kemudian aku mencabut gugatan cerai itu, dan dia terus mengancamku. Dia akan membunuhku." Ketakutan dan kengerian jelas terpancar pada matanya. la bergeser sedikit dan mengernyit, seolah olah rasa nyeri yang tajam menghunjam ke pergelangan kaki. la merintih dan berkata, "Bisakah kau taruh bantal di bawahnya?" Aku melompat dari ranjang. "Tentu." la menunjuk dua bantal tebal di kursi. "Salah satu," katanya. Ini, tentu saja, berarti selimut itu akan dibuka. Aku membantunya. la berhenti sejenak, melihat sekeliling, dan berkata, "Berikan gaun itu juga." Aku melangkah resah ke meja, dan menyerahkan gaun baru kepadanya. "Perlu bantuan?" tanyaku. "Tidak, cuma berbaliklah." Ketika mengucapkan ini, ia sudah menarik gaun yang lama, mengangkatnya lewat kepala. Aku berbalik dengan sangat perlahan-lahan. la tidak terburu-buru. Dilemparkannya gaun itu ke lantai di sampingku. la ada di belakang sana, tak lebih dari satu setengah meter jauhnya, telanjang bulat, kecuali celana dan balutan gips. Aku terus terang yakin bisa berbalik dan menatapnya, dan ia tidak akan keberatan. Aku merasa pening dengan pikiran ini. Aku memejamkan mata dan bertanya pada diri sendiri, "Apa yang aku lakukan di sini?" "Edward, bisakah kau ambilkan sponsnya?" ia berkata dengan lembut. "Di dalam kamar mandi. Basahilah dengan air hangat. Dan tolong handuk juga." Aku berbalik. la duduk di tengah ranjang sambil memegang selimut tipis itu di depan d**a. Gaun baru itu belum tersentuh. Aku tak kuasa berbuat apa-apa kecuali menatap. "Di sana," ia menganggúk. Aku mengambil beberapa langkah ke kamar mandi sempit; aku menemukan spons itu di sana. Ketika membasahinya, aku melihatnya di cermin di atas bak cuci. Dari celah pintu, aku bisa melihat punggungnya. Semuanya. Kulitnya halus dan kecokelatan, tapi di antara pundaknya ada memar mengerikan. Aku memutuskan akan membantunya mandi. la ingin aku melakukannya, aku tahu. la luka dan tak berdaya. la ingin bermesraan, dan ingin aku melihat tubuhnya. Aku berdebar-debar dan gemetar. Kemudian terdengar suara. Perawat itu kembali. la hilir-mudik di sekeliling kamar ketika aku masuk kembali. la berhenti dan menyeringai kepadaku, seolah-olah nyaris menangkap basah kami. "Waktu sudah habis," katanya. "Sekarang hampir setengah dua belas. Ini bukan hotel. la menarik spons dari tanganku. "Biar aku saja. Sekarang kau keluar dari sini." *** Aku hanya berdiri di sana, tersenyum pada Anne, membayangkan menyentuh kakinya. Perawat itu mencengkeram sikuku dengan erat dan menuntunku ke pintu. "Sekarang pergilah," ia mengomel, pura pura jengkel. Pukul tiga dini hari aku menyelinap ke buaian dan berayun-ayun dengan pikiran linglung di malam sunyi, mengawasi bintang-bintang berkedip di balik ranting dan dedaunan, mengingat setiap gerakan indah yang ia lakukan, mendengarkan suaranya yang sedih, memimpikan kaki itu. Sudah jadi kewajibanku untuk melindunginya, tak ada orang, lain. la berharap aku menolongnya, kemudian memulihkannya. Jelas bagi kami berdua, apa yang akan terjadi sesudahnya. Aku bisa merasakannya memeluk leherku, menekankan tubuh padaku selama beberapa detik yang berharga itu. Aku bisa merasakan seluruh tubuhnya yang ringan bersandar wajar dalam pelukanku. Ia ingin aku melihatnya, menggosok tubuhnya dengan spons hangat. Aku tahu kalau ia menginginkan ini. Dan malam ini aku berniat melakukannya. Aku mengamati matahari naik di balik pepohonan, kemudian jatuh tertidur sambil menghitung jam sampai aku melihatnya lagi. *** Aku duduk di kantorku mempelajari bahan ujian, sebab tak ada hal lain yang harus aku kerjakan. Aku menyadari kalau aku tak seharusnya mengerjakan hal lain, sebab aku belum lagi jadi pengacara, dan tidak akan jadi pengacara sampai aku lulus ujian. Sungguh sulit memusatkan pikiran. Mengapa aku jatuh cinta pada seorang perempuan yang bersuami hanya beberapa hari sebelum ujian? Pikiranku harus setajam mungkin, bebas dari segala kekusutan dan gangguan, terpusat dan terarah pada satu tujuan. la seorang pecundang, aku mencoba meyakinkan diri sendiri. la perempuan malang dengan berbagai luka, banyak di antaranya bisa berbekas permanen. Dan suaminya berbahaya. Pikiran bahwa ada laki-laki lain menyentuh cheerleader-nya yang cantik pasti akan membuatnya meledak. Aku memikirkan semua ini dengan kaki di atas meja, tangan di belakang kepala, menatap kosong ke dalam kabut, ketika pintu mendadak terbuka dan Henry menerobos masuk. "Kau sedang apa?" ia menyalak. “Belajar," jawabku sambil melonjak duduk tegak. "Aku pikir kalau kau akan belajar sore hari." Sekarang pukul setengah sebelas. la mondar-mandir di depan meja kerjaku. "Dengar, Henry, sekarang Jumat. Ujian akan mu-lai Rabu depan. Aku ngeri." "Kalau begitu, pergilah belajar di rumah sakit. Cari kasus. Sudah tiga hari aku belum melihat yang baru." "Sulit untuk belajar dan cari pekerjaan pada saat yang sama." “Yuval bisa melakukannya." "Yeah, Yuval mahasiswa abadi." "Aku baru saja ditelepon Martin Van Tyler. Kenal?” "Tidak. Haruskah aku kenal?" "Dia partner senior di Skadden. Pengacara hebat di ruang sidang, menangani segala macam gugatan komersial. Jarang kalah. Benar-benar pengacara hebat, biro hukum besar." "Aku tahu segalanya tentang Chris & Fou." "Nah, kau akan segera tahu lebih banyak. Mereka mewakili State Farm. Martin jadi penasihat hukum pemimpinnya." Aku rasa bahwa sedikitnya ada seratus biro hukum di kota ini yang mewakili perusahaan asuransi. Dan pasti ada seribu perusahaan asuransi. Berapa besarkah peluang bahwa perusahaan yang paling aku benci, State Farm, menyewa biro hukum yang kukutuki setiap hari, Chris & Fou? Anehnya, aku menerimanya dengan tenang. Aku sama sekali tidak terkejut. Mendadak aku menyadari mengapa Henry mondar-mandir dan bicara begitu cepat. la khawatir. Gara-gara aku, ia mengajukan gugatan sebesar sepuluh juta dolar pada perusahaan besar yang diwakili seorang pengacara yang membuatnya taklit. Ini sungguh menggelikan, Tak pernah kubayangkan Henry jika taklit pada sesuatu. "Apa katanya?" "Halo. Cuma sekadar memeiksa. Dia mengatakan kasus ini sudah dilimpahkan pada Jim Oakley yang sungguh kebetulan, dia adalah rekan sekamarnya di Sacred Heart tiga puluh tahun yang lalu, ketika mereka sama-sama kuliah hukum, dia sekaligus seorang pengacara kasus asuransi yang luar biasa sebelum menderita serangan jantung dan dokter menyuruhnya ganti karier. Dia terpilih menduduki kursi hakim, dan dia tak bisa menepiskan penalaran pembela bahwa vonis yang adil dan fair adalah vonis di bawah sepuluh ribu dolar.” "Maaf aku tadi tanya.” "Jadi, kita akan menghadapi Martin Tyler dan stafnya yang besar, dan mereka punya hakim favorit. Kau memang mendapatkan pekerjaan yang dirancang khusus untukmu.” "Aku? Bagaimana denganmu?” "Oh, aku akan membantu. Tapi ini tetap urusanmu. Mereka akan menimbunimu dengan surat-surat dan dokumen." la berjalan ke pintu. "Ingat, mereka dibayar per jam. Makin banyak surat yang mereka hasilkan, makin banyak yang mereka tagihkan.” la menertawakanku dan membanting pintu, sepertinya gembira aku akan dihajar habis-habisan oleh orang orang itu. Aku ditinggalkan. Di Chris & Fou ada lebih dari seratus pengacara, dan aku mendadak merasa sangat kesepian. Aku dan Yuval makan semangkuk sup di Kafetaria Simon’s. Para pelanggannya semua golongan kerah biru. Tempat itu bau minyak, keringat, dan daging goreng. Itu adalah tempat favorit Yuval untuk makan siang, sebab ia pernah mendapatkan beberapa kasus di sini, kebanyakan kasus kecelakaan kerja. Salah satunya diselesaikan dengan ganti rugi 30.000 dolar. la mengambil sepertiga dari 25 persen, atau 2.500 dolar, Ada beberapa bar di daerah itu yang juga kerap dikunjunginya, ia mengaku lirih sambil makan sup. la akan menanggalkan dasi, berusaha tampak seperti salah satu dari mereka, dan minum soda. la mendengarkan para pekerja yang minum-minum di sana sesudah bekerja. la menceritakan padaku letak bar bar bagus yang suka ia sebut sebagai tempat merumput yang baik. Yuval penuh dengan nasihat untuk memburu kasus dan menemukan klien. Dan, ya, ia bahkan sekali-sekali pergi ke klub p***o, tapi hanya bersama klien. Kau harus bergaul, katanya lebih dari satu kali. la suka kasino-kasino di Arkansas, dan berpendapat kalau tempat itu bukan tempat yang tepat, sebab orang-orang miskin pergi ke sana dan berjudi dengan uang belanjaan. Tapi mungkin ada peluang juga. Kejahatan akan meningkat. Perceraian dan kebangkrutan cenderung meningkat bila makin banyak orang berjudi. Orang akan butuh pengacara. Banyak penderitaan potensial di sana, dan ia bersikap bijaksana menghadapinya. la sedang menggarap sesuatu. la akan terus mengabariku. *** Aku kembali menikmati makanan lezat di Rumah Sakit Santo Petrus, di Gaze Skale, demikian tempat ini disebut. Aku mendengar sekelompok dokter intern menyebutnya demikian. Salad pasta dalam mangkuk plastik. Aku belajar secara sporadis, dan mengawasi jam. Pukul sepuluh, laki-laki tua berjaket merah jambu itu tiba, namun sendirian. la berhenti, menengok sekeliling, melihatku, dan berjalan menghampiri dengan wajah keras. Jelas tampak tidak senang. "Anda Mr. Cicero?" ia bertanya sopan. la memegang sehelai amplop, dan ketika aku mengangguk mengiyakan, ia meletakkannya di meja. "Ini dari Mrs. Marlie," katanya sambil sedikit membungkukkan pinggang, lalu berjalan pergi. Amplop itu seukuran surat, polos dan putih. Aku membukanya dan mengeluarkan sehelai kartu. Bunyinya: Dear Edward: Dokter memulangkanku pagi ini, jadi aku ada di rumah sekarang. Terima kasih atas segalanya. Berdoalah bagi kami. Kau sungguh baik hati. la membubuhkan tanda tangan, lalu menambahkan catatan: Harap jangan menelepon atau menulis surat, atau mencoba menemuiku. Itu hanya akan meng akibatkan masalah. Terima kasih lagi. la tahu aku akan berada di sini, menunggu dengan setia. Dengan segala pikiran penuh nafsu berputar putar dalam benak selama 24 jam terakhir ini, tak pernah terpikir olehku bahwa ia akan pergi. Aku yakin kalau kami akan bertemu malam ini. Aku berjalan tanpa tujuan di koridor-koridor tak berujung-pangkal, mencoba menenangkan diri. Aku bertekad akan menemuinya lagi. la membutuhkanku, sebab tak ada orang lain yang akan menolongnya. Pada sebuah telepon umum, aku menemukan nama Yarber Marlie dan memencet nomor itu. Pesan rekaman memberitahukan bahwa sambungan itu sudah dicabut. *** KAMI tiba di loteng tengah hotel itu pagi hari Rabu, dan dengan efisien digiring ke sebuah ballroom yang lebih besar dari lapangan sepak bola. Kami didaftar dan dikatalogkan, biayanya sudah lama dilunasi. Terdengar beberapa percakapan gelisah, tapi tak banyak sosialisasi. Kami semua ketakutan. Dari sekitar dua ratus orang yang menempuh ujian pengacara di tempat ini, paling sedikit setengahnya lulus Southaven University bulan lalu. Mereka teman-teman dan musuh-musuhku. Bolie mengambil tempat duduk di meja jauh dariku. Kami memutuskan untuk tidak duduk berdekatan. Anya Joy Moretz dan Tom Evans berada di sebuah sudut di seberang ruangan. Mereka sudah menikah Sabtu lalu. Bulan madu yang menyenangkan. Tom Evans seorang laki-laki tampan dengan didikan seperti layaknya orang berada dan gaya angkuh seorang berdarah biru. Aku berharap ia gagal dalam ujian ini. Moretz juga. Aku bisa merasakan persaingan di sini, sangat mirip dengan beberapa minggu pertama di sekolah hukum, ketika kami sangat memperhatikan kemajuan orang lain. Aku mengangguk pada beberapa kenalan, diam-diam berharap mereka gagal, sebab mereka pun diam-diam berharap aku roboh. Begitulah sifat profesi ini. Begitu semua sudah duduk di depan meja lipat yang terpisah jauh satu sama lain, kami diberi petunjuk selama sepuluh menit. Kemudian lembaran ujian dibagikan tepat pukul delapan pagi. Ujian itu mulai dengan bagian yang disebut Multi State, serangkaian pertanyaan pilihan berganda yang tak ada habisnya tentang undang-undang yang berlaku di semua negara bagian. Sama sekali mustahil untuk mengatakan sejauh mana aku siap. Pagi itu berlalu lamban. Makan siang berupa buffet hotel yang aku nikmati bersama Bolie, tanpa sepatah kata pun terucap tentang ujian. Makan malam adalah sandwich kalkun di teras bersama Miss Streep. Dan pukul sembilan aku tidur. *** Ujian berakhir pada pukul lima sore hari Jumat, dengan keluhan. Kami terlalu letih untuk merayakan nya. Mereka mengumpulkan kertas ujian kami untuk terakhir kali, dan mengatakan kami boleh pulang. Ada usul untuk minum di suatu tempat, demi masa lalu, dan kami berenam bertemu di Yugo's untuk minum beberapa gelas. Prince pergi malam ini dan tak ada tanda-tanda dari Henry. Ini melegakan, sebab aku tidak suka teman-teman melihatku bersama bosku. Pasti akan muncul banyak pertanyaan tentang praktek kami. Beri aku waktu setahun, dan aku akan punya pekerjaan yang lebih baik. Sesudah semester pertama di sekolah hukum, kami belajar bahwa yang terbaik adalah tidak membicarakan ujian. Apabila catatan dibandingkan sesudahnya, kita jadi menyesal akan hal-hal yang tidak kita kerjakan. Kami makan piza; minum bir, tapi terlalu letih untuk mabuk-mabukan. Bolie berkata padaku dalam perjalanan pulang bahwa ujian itu membuatnya sakit secara fisik. la yakin dirinya gagal. *** Aku tidur selama dua belas jam. Aku sudah berjanji kepada Miss Streep akan mengurus tugasku hari ini, dengan syarat bila hari tidak hujan. Apartemenku dipenuhi cahaya matahari yang terang benderang ketika akhirnya aku terbangun. Udara panas, lembap, lengket, khas cuaca Southaven di bulan Juli. Sesudah tiga hari bekerja keras dengan mata, imajinasi, dan ingatan dalam sebuah ruangan tak berjendela, aku siap untuk sedikit berkeringat dan berlepotan tanah. Aku meninggalkan rumah tanpa dilihat, dan dua puluh menit kemudian aku parkir di jalan masuk rumah keluarga Jack. Ronnie Kray sedang menunggu di beranda depan, memakai jeans, sepatu olahraga, kaus kaki gelap, T-shirt putih, dan topi bisbol ukuran sedang yang tampak terlalu besar pada wajahnya yang cekung. la berjalan dengan tongkat, namun butuh tangan kokoh di bawah lengannya yang rapuh untuk berjalan stabil. Aku dan Smith menuntunnya sepanjang trotoar sempit itu dan dengan hati-hati mendudukkannya di jok depan mobilku. Smith merasa lega Ronnie Kray bisa keluar rumah beberapa jam, kesempatan pertamanya selama berbulan-bulan ini, katanya. Sekarang ia ditinggalkan hanya dengan Eddy dan kucing-kucing itu. Ronnie Kray duduk dengan tongkat di antara kaki, menyandarkan dagu, ketika kami bermobil melintasi kota. Sesudah mengucapkan terima kasih satu kali padaku, ia tidak bicara banyak. la lulus SMA tiga tahun yang lalu, pada usia sembilan belas tahun. Saudara kembarnya, Reg, lulus setahun sebelumnya. la tak pernah mencoba masuk college. Selama dua tahun ia bekerja sebagai kerani di sebuah toko, tapi berhenti setelah terjadi perampokan. Riwayat pekerjaannya tidak jelas, namun ia tak pernah meninggalkan rumah. Dari catatan yang sudah aku pelajari sejauh ini, Ronnie Kray tak pernah mendapatkan penghasilan lebih dari upah minimum. Reg, di lain pihak, berjuang untuk kuliah di UTEP, dan sekarang kuliah di sebuah universitas di Houston. la juga masih lajang, tak pernah menikah, dan jarang kembali ke Southaven. Dua bersaudara ini tak pernah dekat, kata Smith. Ronnie Kray suka tinggal di rumah, membaca buku, membuat model pesawat terbang. Reg suka bersepeda dan pernah bergabung dengan geng jalanan beranggotakan anak-anak dua belas tahun. Mereka anak yang baik, Smith meyakinkanku. Berkas itu didokumentasikan dengan cermat, ada bukti cukup dan jelas bahwa sumsum Reg sangat tepat untuk transplantasi Ronnie Kray. Kami menggelinding dalam mobil kecilku yang reyot, la menatap lurus ke depan, paruh topinya merosot rendah menutupi kening; ia hanya berbicara bila diajak bicara. Kami parkir di samping Cadillac Miss Streep, dan aku menjelaskan bahwa di rumah tua yang menyenangkan di lingkungan eksklusif inilah aku tinggal. Aku tak tahu apakah ia terkesan; kurasa tidak. Aku membantunya mengitari tumpukan pupuk, menuju tempat teduh di teras. Miss Streep tahu aku akan membawanya datang, dan ia sedang menunggu dengan penuh gairah, sudah menyiapkan limun segar. Mereka berkenalan, dan ia dengan cepat mengambil kendali kunjungan itu. Kue? Brownies? Bacaan? la mengganjalkan bantal pada bangku di sekeliling Ronnie Kray sambil terus berceloteh riang. la berhati emas. Aku jelaskan padanya bahwa aku bertemu dengan orang tua Ronnie Kray di Lincoln Gardens, sehingga ia merasa sangat dekat dengan Ronnie Kray. Salah satu asuhannya. Begitu Ronnie Kray ditempatkan di tempat teduh, aman dari cahaya matahari yang bisa membuat kulit pucatnya melepuh, Miss Streep mengumumkan bahwa sudah tiba saatnya bekerja. Dengan dramatis ia berhenti dan mengamati halaman belakang, menggaruk garuk dagu, seolah-olah sedang berpikir dalam, lalu perlahan-lahan menggeser pandangannya ke tumpukan pupuk. la memberikan beberapa perintah, agar didengar Ronnie Kray, dan aku langsung melompat melaksanakannya. Tak lama kemudian aku sudah bermandi keringat, namun kali ini aku menikmatinya. Selama satu jam pertama Miss Streep terus mengomel tentang lengasnya udara saat itu, lalu memutuskan untuk melewatkan waktu mengurus bunga-bunga di sudut teras yang lebih sejuk. Aku bisa mendengarnya berbicara nonstop pada Ronnie Kray yang tidak banyak berbicara, tapi menikmati udara segar. Saat mondar mandir dengan kereta dorong, sekali aku melihat bahwa mereka sedang bermain dandas. Pada kesempatan yang lain, Miss Streep duduk berpuas diri di samping Ronnie Kray, sambil menunjuk-nunjuk foto dalam sebuah buku. Beberapa kali aku tergoda untuk bertanya apakah Miss Streep tertarik untuk membantu Ronnie Kray. Aku percaya perempuan baik hati ini akan menulis sehelai cek untuk transplantasi tersebut, kalau ia memang benar punya uang itu. Namun aku tidak melakukannya karena dua alasan. Pertama, sekarang sudah terlambat untuk melakukan cangkok sumsum. Dan kedua, Miss Streep akan malu bila ia ternyata tidak memiliki uang tersebut, la sudah cukup curiga dengan sikap tertarikku pada uangnya. Aku tak bisa memintanya. Tak lama sesudah Ronnie Kray didiagnosis menderita leukemia akut, pernah diadakan usaha pengumpulan dana yang tidak begitu berhasil untuk membiayai pengobatannya. Smith mengorganisasi beberapa sahabat dan mereka menempelkan wajah Ronnie Kray pada karton s**u di kafetaria-kafetaria serta toko-toko di seluruh Southaven Utara. Tidak menghasilkan banyak, katanya. Mereka menyewa pondok dan mengadakan pesta besar dengan hidangan ikan. Juga ada musik. Mereka bahkan meminta seorang DJ lokal untuk memutar piríngan hitam. Pesta itu rugi sekitar 28 dolar. Kemoterapi pertama yang dijalaninya menelan biaya empat ribu dolar, dua pertiganya ditanggung oleh Rumah Sakit Santo Petrus. Mereka mengais-ngais untuk membayar sisanya. Lima bulan kemudian, leukemia itu kembali dengan kekuatan penuh. Sambil menyekop, menyeret, dan berkeringat, aku arahkan energi mentalku untuk membenci State Farm. Hal itu tidak butuh upaya keras, tapi aku butuh semangat moral untuk menopangku begitu peperangan dengan Skadden dimulai. Makan siang merupakan kejutan menyenangkan. Miss Streep membuat sup ayam. Sebenarnya aku tidak begitu berselera, tapi ini selingan yang menyenangkan dari sandwich kalkun. Ronnie Kray makan setengah mangkuk, lalu mengatakan ia perlu tidur siang. la ingin mencoba buaian. Kami menuntunya melintasi halaman rumput dan membaringkannya di sana. Meskipun suhu udara lebih dari tiga puluh derajat, ia minta selimut, Kami duduk di tempat teduh, meneguk limun lagi, dan bicara tentang betapa malang nasib anak itu. Aku menceritakan pada Miss Streep tentang perkara terhadap State Farm, dan menekankan fakta bahwa aku telah menuntut mereka sebesar sepuluh juta dolar. la mengajukan beberapa pertanyaan umum tentang ujian, lalu menghilang ke dalam rumah, Ketika kembali, ia menyodorkan padaku sehelai amplop dari seorang pengacara di Savannah. Aku mengenali nama biro hukum itu. "Bisakah kau menjelaskan ini?" ia bertanya, berdiri di hadapanku, berkacak pinggang. Pengacara itu menulis surat pada Miss Streep, sekaligus melampirkan satu salinan surat yang aku kirimkan padanya. Dalam suratku, aku menerangkan bahwa aku sekarang mewakili Miss Streep, dan ia memintaku menyusun surat wasiat baru, dan aku butuh informasi tentang harta almarhum suaminya. Dalam suratnya ia hanya menanyakan apakah boleh memberikan informasi padaku. la kedengaran tak acuh, seakan-akan cuma mengikuti perintah. "Ini tertulis hitam di atas putih," kataku. "Saya pengacara Anda. Saya mencoba mengumpulkan informasi. " "Kau tidak mengatakan padaku akan mencari-cari kabar di Savannah." "Apa salahnya? Apa yang tersembunyi di sana, Miss Streep? Mengapa begitu rahasia?" "Hakim di sana menyegel berkas pengadilannya," katanya sambil mengangkat pundak, seolah-olah itulah akhir penjelasan. "Apa yang tercantum dalam arsip pengadilan itu?' "Setumpuk sampah." "Tentang Anda?" "Astaga, tidak!" "Oke. Tentang siapa?" "Keluarga Hary. Saudaranya di Mexico sana sangat kaya, punya beberapa istri dan anak. Seluruh keluarganya benar benar gila. Mereka berkelahi hebat mengenai surat wasiatnya. Ada empat surat wasiat, kurasa. Aku tidak tahu banyak tentang itu, tapi aku pernah dengar bahwa seluruh pengacaranya mendapat bayaran enam juta dolar. Sebagian uang itu merembes ke Hary yang cuma hidup cukup lama untuk mewarisinya menurut undang-undang Mexico. Hary bahkan tidak mengetahuinya, sebab dia mati terlalu cepat. Tidak meninggalkan apa-apa kecuali seorang istri. Aku. Itu saja yang aku ketahui.” Tidak penting bagaimana ia mendapatkan uang tersebut, tapi jelas bahwa menyenangkan untuk tahu berapa banyak yang ia warisi. "Apa Anda tidak ingin bicara tentang surat wasiat Anda?” tanyaku. "Tidak. Nanti,” katanya sambil meraih sarung tangan berkebun. "Ayo kita kerja.” *** Beberapa jam kemudian, aku duduk bersama Smith dan Ronnie Kray di teras yang ditumbuhi ilalang di luar dapur mereka. Eddy sedang tidur, syukurlah. Ronnie Kray merasa letih karena kegiatan siangnya di rumah Miss Streep. Saat itu malam Minggu di pinggiran kota, bau arang dan barbecue merembes di udara panas. Dentuman suara para koki dan tamu mereka di kebun belakang merembes melewati pagar kayu dan pagar hijau yang rapi. Lebih mudah untuk duduk dan mendengarkan bicara. Dot lebih suka merokok melontarkan gosip remeh tentang salah satu tetangga. Atau salah satu anjing tetangga. Pria pensiunan di sebelah rumah kehilangan satu jari karena gergaji mesin minggu lalu dan ia menyebutkan kalau ini tak kurang dari dua kali. Aku tak peduli. duduk mendengarkan selama berjam-jam. Pikiranku masih kebas karena ujian. Tidak butuh banyak untuk menyenangkanku. Dan setelah berhasil melupakan urusan hukum, aku punya Anne untuk mengisi pikiranku. Aku masih belum merancang cara yang tidak membahayakan untuk menghubunginya, tapi aku akan melakukannya. Beri saja aku waktu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN