Tiga Puluh Tiga

1008 Kata
Tiga Puluh Tiga “Dan kau diam saja?” tanya David. Dia mulai mencermati cerita ini. “Instingku yang bermain. Aku mengayunkan tinjuku dan melayangkan tepat ke wajahnya. Aku tak mengerti apakah dia berniat membalasku atau tidak.” “Sampai pingsan?” “Ya, dia tersentak seperti sekarung semen. Aku tak begitu tahu siapa, wajahku penuh darah, tapi mungkin pelatih lain yang lantas segera maju padaku sambil berteriak-teriak, seperti akan menghabisiku. “Mark Holiday yang kau maksud,” sahut Denis, membenarkan siapa sosok yang menghampiri Nicki. “Ya, dia,” kata Nicki. “Setelah itu Leo dengan cepat mengambil alih tempat dan menyambar kerah baju Mark dengan kedua tangan. Dia melemparkan Mark ke dinding dan dengan sadis dia mengancam bakal membunuhnya jika dia berani bergerak satu langkah lagi. Di sisi lain, Maggie sudah terkapar di lantai saat itu. Sudah tak sadarkan diri. Tiga pelatih lain, termasuk Diego mendekat, berjongkok di sampingnya. Keadaan begitu berantakan selama beberapa menit itu. Kemudian Leo memerintahkan mereka semua untuk meninggalkan ruang ganti. Zadin sempat berbisik padanya, tapi Leo hanya menendang pantatnya. Dia sedang benar-benar di luar kendali. Setelah itu, mereka membawa pergi Maggie dari ruang ganti dan kami semua merenung.” “Aku tak tahu kenapa. Tapi aku menangis. Dan susah buatku menghentikan isak tangisku sendiri,” kata Nicki. David menepikan sedikit peralatan makan yang ada di hadapannya. Mereka bertiga menatap ke arah satu titik yang sama. “Kami menemukan es. Hidung Nicki mengeluarkan darah yang begitu banyak, tak henti-hentinya bercucuran. Sementara Leo masih berteriak membabi-buta pada tim. Peristiwa itu sungguh buas sekali untuk ukuran sebuah tim remaja regional.” “Kita tim papan atas. Tak bisa disangkal. Sedikit saja masalah yang terjadi pada tim kita, media langsung memposisikan beritanya di halaman utama,” kata David dilanjut dengan menyambar secangkir kopi dan mengiris sepotong biskuit. “Nicki tergeletak di lantai, baru kali itu aku melihatnya benar-benar tak berdaya. Darah itu bercucuran melapisi seluruh wajahnya, turun ke telinganya. Pada saat itu, kami membenci Maggie lebih dari siapa pun orang yang pernah kami benci. Kami sangat ingin menghabisi seseorang, atau mungkin sekadar berkelahi. Dan kami pikir, anak-anak Golden Spurs adalah sasaran yang pas.” Ada jeda sebentar di antara perbincangan itu. Pada akhirnya Nicki yang mengatakan, “Tak lama setelahnya, Leo bersimpuh di dekatku dan menjerit, ‘Bangun, berdirilah! Kita harus membuat empat gol lagi!” “Entah dia terprovokasi oleh Leo atau gimana aku tak begitu mengerti, yang jelas dalam sekejapan mata, dia akhirnya bangkit. Setelah Nicki berdiri, kami berhamburan di ruang ganti. Membenahi semuanya. Tali sepatu, rambut, dan lain-lain. Diego muncul dari balik pintu dan disambut teriakan oleh Leo, ‘Jauhkan para b*****h itu dari bench!” “Sebelum kick off  babak kedua dimulai, kami sempat berunding seperti biasanya. Dan saat itu Nicki dan Leo mengatakan bahwa setelah pertandingan usai, kami semua harus segera kembali ke ruang ganti, mengunci pintu rapat-rapat, dan tidak keluar dari sana setelah semua orang benar-benar bubar dari lapangan.” “Ya, sesuai rencana, kami semua kompak melakukannya. Membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menantikan semua orang benar-benar bubar. Dan kami membutuhkan waktu sekitar satu jam lebih untuk menenangkan diri. Waktu yang cukup lama bagi siapapun yang tengah merenung,” kata Nicki. “Dan kalian tak pernah membicarakan soal ini?” “Tidak. Saat itu kami semua sepakat untuk menenggelamkan peristiwa hari itu,” kata Nicki. “Sampai saat ini?” “Ya, seperti itu. Toh Maggie sudah meninggal. Kejadian itu sudah tidak penting lagi.” “Mengapa terlalu dirahasiakan?” “Kami takut kalau kami membeberkan kejadian itu akan timbul masalah. Maggie memukul seorang pemain. Dan pemain yang dia pukul bukan sekadar pemain biasa. Hidung Nicki masih berdarah-darah walau dia kembali masuk ke pertandingan.” “Kami benar-benar menjadi sangat emosional saat itu. Coba bayangkan, tertinggal dengan tiga gol tanpa balas di babak pertama. Banyak pendukung kami yang sefanatik apapun mereka pasti pesimis dengan pertandingan hari itu. Mengira kami akan kalah. Dan ya, awalnya dari kami para pemain juga begitu, kemungkinan berpikir bahwa kami akan kalah. Ditambah lagi kejadian di ruang ganti. Itu benar-benar menyita emosi kami. Tapi entah kenapa, kami bisa mendapatkan keajaiban, melakukan sesuatu yang sebenarnya mustahil. Tanpa pelatih, tanpa optimisme dari para pendukung, hanya berbekal nyali semata, bahwa kami bisa mengembalikan kedudukan pertandingan itu sebagai pembalasan bagi Maggie dan para pelatih yang lain, mungkin juga bagi para pendukung yang bisa-bisanya tidak percaya pada kami. Kami hanya sekelompok anak yang berhasil lolos dari tekanan yang luar biasa. Dan ketika babak tambahan waktu itu, tekad kami semakin kuat. Kami percaya bahwa kami bisa memenangkan pertandingan. Siapapun pemain bisa menyulut api kebencian mereka terhadap apa yang saat itu Maggie lakukan, dan mereka bisa melampiaskan itu di babak tambahan waktu. Dan benar, kami menggila. Sekembalinya kami ke ruang ganti usai babak tambahan waktu itu, Leo meminta ke setiap pemain untuk bersumpah akan tutup mulut.” “Dia bilang bahwa dia akan menghajar siapapun yang membuka mulut,” kata Denis. “Cerita yang bagus.” “Tapi satu hal yang aneh di antaranya yaitu para pelatih yang lain pun tak pernah membicarakan soal ini. Diego pun sama. Mereka membisu.” “Tapi sekali lagi, bahwa keanehan sedikit yang terjadi di Lambeth, perlahan-lahan akan menjadi jelas. Kalian juga tahu itu,” kata David. “Aku tak pernah membicarakan hal itu pada siapapun,” kata Denis. “Aku pernah menangkap salah seorang anak asuhan Maggie, bocah yang bernama Walker…” “Luke Walker.” Denis mencoba membenarkan. “Dia tertangkap karena diduga telah memukuli istrinya. Dia dipenjara selama beberapa minggu. Selama di penjara, aku sering mengajaknya bermain kartu. Dan sering aku katakan bila aku menangkap salah seorang anak asuhan dari Maggie, aku selalu memberikan mereka regulasi khusus, termasuk sel, makanan, dan aturan diperbolehkannya izin di akhir pekan.” “Pertalian saudara yang menakjubkan, puji Denis. “Ya seperti itu juga jika kau diduga melakukan suatu tindakan illegal melalui bank mu nanti.” “Lalu?” Ada jeda cukup lama setelah pertanyaan itu diucapkan. David memasukkan satu suap potongan biskuit itu ke dalam mulutnya dan menyeruput sedikit kopinya. Sepertinya dia hendak bercerita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN