Sebelas

1585 Kata
Pada akhirnya, Belva kembali ke Indonesia setelah seminggu lebih berada di luar negeri, dia membawa banyak tugas yang harus diselesaikan. Namun khusus hari ini dia ingin beristirahat di panti. Menemui bunda Tere juga para pengasuh, dia telah membelikan mereka banyak oleh-oleh. Mereka semua sangat antusias menerima pemberian Belva, tak menyangka Belva yang biasanya tidak suka direpotkan dengan oleh-oleh kini membawa banyak benda dari Turki. Semua itu karena Anne Zayn yang mengajaknya berbelanja, dia memilih banyak barang untuk Belva bawa ke Indonesia. Awalnya Belva menolak namun Anne Zayn bersikukuh agar Belva menerimanya, terlebih Zayn yang berjanji akan membawakannya di bandara membuat Belva pada akhirnya menerima tawaran itu. Hari sudah semakin siang, Belva melihat para bayi dan balita yang tertidur pulas. Ada beberapa anak seusia sekolah dasar yang memang tidak diadopsi dan dibiarkan tinggal di panti asuhan, mungkin sampai dewasa seperti Belva. Setelah itu dia menemui bunda Tere yang ada di ruang kerjanya, menyusun anggaran belanja bulanan seperti kebiasaannya. Bunda Tere tidak muda lagi, keriput sudah tampak di wajahnya, dengan kaca mata baca yang khas dia tampak sangat serius. Belva menghampiri meja kerja itu dan memainkan bandul keseimbangan yang memang ada di meja berbahan jati tersebut. “Bun,” panggil Belva. “Ya, ada apa?” tanya bunda Tere, mengangkat hanya matanya sehingga tampak mata itu keluar dari frame kaca matanya. “Lanjutkan dulu menghitungnya,” ujar Belva. Berjalan menjauh, menuju sofa. Di ruangan ini biasa para orang tua angkat datang dan berkonsultasi sebelum memperoleh izin untuk mengadopsi salah satu anak. Ruangan ini didominasi dengan warna cokelat baik dari dinding dan gordennya, juga dari furniture yang rata-rata terbuat dari kayu jati sehingga terlihat sangat kokoh. Ada lemari buku besar, semua foto anak-anak yang pernah singgah di rumah aman ini ada di dalam album foto itu, sangat lengkap sejak Belva hadir. Belva duduk di sofa panjang dan memainkan ponselnya, sambil bersandar malas. Bunda Tere menutup bukunya, meletakkan kaca mata baca di atas buku catatan anggaran itu. Lalu dia duduk di samping Belva. “Ada apa? Kamu terlihat risau?” tanya bunda Tere seraya merapikan anak rambut Belva dengan lembut. “Kalau pada akhirnya aku menikah, menurut bunda bagaimana?” “Itu berita bagus tentunya, kamu memang sudah waktunya menikah. Tapi ... kamu benar-benar siap kan?” “Aku masih ragu, tapi ... dia terlihat sangat menyayangiku Bun, sepertinya aku bisa bahagia bersamanya, aku merasakan kebahagiaan ketika ada disampingnya,” ucap Belva seraya menunduk. “Zayn?” tebak bunda Tere. “Iya, bunda tahu kan kemarin aku bertemu ibunya, ayahnya sedang terbaring koma, tapi Zayn yakin ayahnya akan merestui kami.” “Bunda hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Sayang. Kamu tahu kan kalau kamu itu anak bunda? Jadi ... jika memang itu yang terbaik untukmu, bunda akan merestui hubungan kalian,” ucap bunda Tere. Belva mengangguk, sepanjang perjalanan kemarin dia banyak merenungi, tentang tujuan hidupnya, tentang segalanya. Apakah yang menjadi tujuan hidupnya selama ini? Dia telah mencapai titik kesuksesan yang sering diimpikan orang-orang, menjadi pemudi yang sukses dalam karir, dan dia juga sangat berharap sukses dalam cinta. Dia yakin bahwa rasa dalam hatinya adalah benih cinta yang siap bertumbuh, dengan bantuan perhatian dan kasih sayang dari Zayn, benih itu akan tumbuh subur. . . Belva berniat kembali ke apartmennya, ketika tiba-tiba dia melihat Zayn di sore hari ini berada di panti, tengah bermain lempar tangkap bola dengan anak-anak balita di panti. Belva perlu menegaskan matanya untuk memastikan bahwa sosok pria dengan brewok tipis di wajahnya itu adalah pria yang belakangan ini selalu singgah di benaknya. “Zayn?” ujar Belva. Seperti mendengar namanya disebut, Zayn pun menoleh ke arah Belva dan melambaikan tangan. Lalu dia menyerahkan bola ke balita di sampingnya dan menghampiri belva dengan langkah yang maco. “Sudah sejak kapan di sini?” tanya Belva. Zayn melihat jam tangannya dan bergantian menatap Belva, “sekitar satu jam, tadi sitternnya ingin memanggil kamu tapi aku larang,” ucap Zayn. Sebuah bola meluncur ke kakinya, Zayn menerimanya dan melemparkan dengan pelan ke anak yang tadi mengejar bola itu. “Kamu sudah bertemu bunda Tere?” tanya Belva. “Belum, tadi katanya lagi mandi,” ucap Zayn, “aku juga bawa beberapa keperluan bayi sudah dibawa sama sitternya, kamu mau pulang?” tanya Zayn. “Ya, aku sudah dari tadi di sini, itu bunda Tere, ayo aku kenalkan,” ucap Belva. Zayn mengangguk dengan senyum tipis di bibirnya, Belva mengajak Zayn menemui wanita paruh baya yang baru keluar dari arah pintu. “Bun, ini Zayn,” ucap Belva. Zayn menyalami bunda Tere dan menyebutkan namanya. “Tadi bunda dengar kamu bawa banyak s**u dan diapers bayi ya, terima kasih ya Nak, semoga rejeki kamu dilipatgandakan Tuhan,” ucap bunda Tere. “Amin. Semoga berguna Bun,” ucap Zayn. “Tentu berguna sekali, s**u dan diapers memang sangat penting,” ucap bunda Tere. “Syukurlah jika berguna,” jawab Zayn bernapas lega. “Kapan kamu mau bawa keluarga kamu menemui bunda? Biar bagaimana pun, Belva adalah anak bunda, jadi jika mau niat serius dengannya, kamu bawa keluarga kamu menemui bunda di sini,” ucap bunda Tere. “M-maksudnya?” tanya Zayn ke arah Belva. Belva mengangguk dan tersenyum ke padanya. “Aku sudah berdiskusi dengan bunda, bunda setuju aku akan menikah dengan kamu,” ucap Belva membuat Zayn tersenyum lebar. Dia mengambil tangan bunda Tere dan menciumnya dengan hormat. “Terima kasih Bunda,” ujar Zayn. “Jaga Belva dan sayangi dia ya.” “Pasti Bun, tapi ... ayah aku saat ini masih terbaring koma, aku akan meminta tolong paman untuk mewakilkan,” ucap Zayn. “Iya tidak apa-apa, selama itu masih keluarga kamu,” ucap bunda Tere. Zayn sangat senang sore hari ini, impiannya untuk menikah dengan Belva kian terasa nyata. Setelah sedikit berbincang, Zayn pun pamit pulang, di dekat mobil mereka, Zayn memegang tangan Belva. “Aku akan kabari secepatnya ya, mungkin keluarga yang datang akan diwakili ayah Aina sebagai pamanku,” ucap Zayn. Ayah sambung Aina adalah paman Zayn yang memang stay di Indonesia sejak lama. “Iya enggak apa-apa, kita pisah di sini ya, aku mau istirahat besok ada meeting di kantor,” ucap Belva. “Enggak peluk dulu?” tanya Zayn sambil mengerucutkan bibirnya. “Apa sih? Sudah sana pulang, memang besok enggak kerja? Jangan malas kalau mau jadi suami aku!” cebik Belva. “Iya iya, besok kerja kok, di kantor nyusun report system seperti biasa. Ya sudah kamu hati-hati di jalan.” “Seminggu ke depan mungkin aku akan sibuk banget, jangan marah kalau chatnya enggak dibalas ya,” ucap Belva. Melepas pegangan tangan Zayn yang sebenarnya terasa sangat pas dalam genggamannya. “Iya, aku harus terbiasa kan?” kekeh Zayn yang seperti ledekan di telinga Belva. . . Zayn benar-benar harus terbiasa dengan slow respon yang dilakukan Belva, namun dia tidak bisa lagi membiarkan Belva berlarut dalam kegiatannya sehingga seolah melupakan cita-cita pernikahan mereka. Bahkan kini sudah dua minggu sejak bertemu bunda Tere, Zayn sering menanyakan ke Belva kapan dia bisa membawa pamannya? Karena dia tidak mau jika Belva justru tidak ada di tempat. Namun Belva selalu menundanya, Zayn khawatir bunda Tere menjadi tidak percaya dengannya dan menganggap bahwa Zayn tidak serius. Karenanya siang ini, dengan membawa buket bunga, Zayn mendatangi kantor Belva, terpaksa dia menghubungi Willi, suami dari Aina sepupunya itu untuk meminta bantuan agar bisa menyusupkannya ke ruang kerja Belva karena tentu saja tidak sembarang orang bisa keluar masuk lantai tersebut. Willi mengajak Zayn menuju ruang kerja Belva, di mana wanita itu tampak berkutat dengan banyak dokumen yang membuat mejanya cukup berantakan. Rambutnya tidak kalah berantakan dengan kertas yang berhamburan itu. Tampak sekali Belva sangat stress. Willi yang tahu diri pun memutuskan keluar dari ruangan itu, meninggalkan Zayn yang mematung menatap Belva. Belva benar-benar seperti ibu singa yang ingin mengamuk. Terdengar suara pintu tertutup. Dia pun menghampiri Belva yang sudah berdiri. “Ada apa?” tanya Belva ketus. Zayn mengulurkan bunga itu yang langsung diletakkan di meja oleh Belva. “Kamu lihat sendiri kan? Aku lagi banyak banget kerjaan, kamu bilang kamu akan sab-ar.” Ucapan Belva terputus karena Zayn yang langsung memeluknya. “Capek banget ya?” tanya Zayn masih mendekap erat Belva. Belva mengangguk pelan, memang hal ini cukup membuatnya stress, bahan riset untuknya masih kurang dan dia tidak yakin bisa mengeluarkan produk dalam waktu dekat. “Aku bisa menahan untuk enggak menerima chat kamu Belva, tapi aku enggak bisa lagi menahan rasa rindu aku,” ucap Zayn sambil membelai punggung Belva yang hanya terdiam. Zayn bisa merasakan tangan Belva yang bergerak dan membalas pelukan Zayn yang terasa menenangkannya. Zayn sangat ingin mempercepat pernikahan mereka, karena setidaknya jika mereka telah menikah, meski siang hari Belva sibuk kerja, namun malam mereka akan tetap bertemu dan bisa bersama, itu cukup! “Hari sabtu besok, sisihkan waktu sebentar saja untuk menerima lamaran dari keluarga aku ya, setelah itu urusan pernikahan dan lain sebagainya, serahkan ke aku, kamu hanya tinggal duduk manis selama tiga jam di kursi pelaminan dan setelahnya kamu bisa langsung kerja lagi,” ucap Zayn dengan tetap mendekap erat kekasihnya itu. Belva pun menyetujui ide itu. “Aku kosong dari pukul tujuh malam,” ucap Belva pelan. Zayn melepas pelukannya dan menangkup kedua pipi Belva, lalu mendaratkan kecupan singkatnya di bibir sang kekasih. “Aku akan datang pukul tujuh malam, dengan orang tua Aina dan mungkin Aina juga Willi ikut sebagai perwakilan keluarga. Semangat ya kerjanya aku enggak akan ganggu kamu. Tapi ingat jangan lupa makan dan istirahat,” ucap Zayn sambil mengusap pipi Belva, memperlakukan Belva dengan lembut. Membuat Belva merasakan bahwa dirinya benar-benar dicintai. . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN