Beberapa senti lagi mungkin bibir Zayn sudah mendarat di atas bibir manis milik Belva yang membuatnya sangat tertarik. Namun Belva meraih kesadarannya. Didorong tubuh Zayn pelan sambil terkekeh.
“Mau apa? Aku bukan gadis naif seperti dulu Zayn. Aku mau pulang,” ujar Belva sambil beranjak. Zayn memegang tangan Belva dan menariknya agar kembali duduk.
“Maaf, aku enggak bermaksud seperti itu. Kita bisa lanjut ngobrol?” ujar Zayn.
“Sudah malam, dan besok ada acara di panti,” ucap Belva.
“Kenapa enggak bilang dari tadi?” rutuk Zayn, mengerucutkan bibirnya sebal. Belva mengerutkan keningnya dan menatap pria yang tampak semakin rupawan itu.
“Memangnya kenapa?”
“Aku bisa batalkan tiket pesawatku ke luar kota besok jika kamu bicara lebih awal, klienku pun sudah dalam penerbangan ke Bali,” ujar Zayn sebal. Belva terkekeh menanggapinya, melepas pegangan tangan Zayn yang sedari tadi menggenggam lengannya, tangan Zayn begitu besar hingga mampu menjangkau lingkaran tangan Belva.
“Bukan acara besar, hanya pemberian vitamin bagi para bayi saja dari para relawan.” Belva melihat jam tangannya, sudah cukup malam dan dia sangat ingin melihat laporan di emailnya. Dia perlu mengecek beberapa hal. Gila kerja adalah nama akhirnya kan? Belva Catherine Worker Holic.
“Ayo aku antar,” ucap Zayn. Belva tampak menimbang dan mengangguk. Mereka berdiri bersama, Zayn mengambil kunci mobil dan juga ponselnya. Lalu dia tampak melenggang santai.
“Kamu enggak ganti baju dulu?” tanya Belva melihat Zayn yang hanya memakai celana tidur dan kaos putih tipis itu. Zayn hanya menggeleng dan mengangkat bahunya acuh membuat Belva terkekeh. Tak banyak pria yang cuek seperti itu.
***
Zayn mengantar Belva sampai apartmennya, Belva tidak mungkin ke panti semalam ini, dia tak mau membangunkan bunda Tere, dia juga meminta Zayn tidak turun dari mobil dan hanya mengantar sampai lobbi. Zayn tahu Belva adalah wanita yang keras dan tidak mau diatur, karenanya dia tak mau terlampau jauh melewati batas yang dibuat oleh Belva.
Sesampai di kamar, Belva memutuskan mandi, dan setelah berpakaian, dia pun membuka laptopnya. Bersandar di ranjang dan membaca email sebelum tidur adalah rutinitasnya.
Malam ini dia mencoba menepiskan bayangan Zayn yang seharian ini bersamanya dengan terus bekerja, melihat penjualan produk The R2 Company bisa menyita waktu dan pikirannya. Setelah beberapa jam, matanya mulai merasa lelah, dia pun memutuskan menutup laptopnya. Namun ketika memejamkan mata, wajah Zayn saat ingin menciumnya tadi kembali terlintas.
“Arggghhttttt sialan Zayn!” decih Belva merutuki pikirannya sendiri.
“Pikirin hal lain! Please!” ucapnya pada dirinya sendiri. Dia tetap tidak bisa terlelap, lalu mengecek pesan di ponselnya. Tidak ada satu pun pesan dari Zayn. Bukankah normalnya pria mengirim pesan setelah bertemu? Ah belva memutuskan tidak peduli. Dia meletakkan ponsel itu kembali di atas nakas dan memejamkan mata, memaksakan diri agar tertidur.
***
Belva yang biasa disebut wanita maskulin. Memakai celana panjang santai berwarna cokelat dengan atasan kaos hitam yang sedikit kebesaran. Kalung panjang menjuntai di lehernya, tidak lupa gelang dan jam tangan yang berwarna hitam. Berjalan sambil menenteng satu kardus makanan untuk para bayi yang berada di panti.
Staff panti menyambutnya dan berniat membantunya namun Belva menolak, tenaganya cukup besar untuk membawa kardus itu. Tampak beberapa wanita berseragam pink putih sedang memberikan vitamin kepada para bayi, beberapa di antaranya mencatat dokumen penting dan sebagian lagi berfoto-foto entah untuk dokumentasi atau hanya memuaskan hasrat mereka. Bunda Tere, wanita berwajah lembut keibuan itu hanya melemparkan senyumnya kepada Belva yang kini duduk di salah satu sudut memangku balita berusia tiga tahun.
Dia mengedarkan pandangan ke sekitar panti, semakin lama semakin banyak anak-anak yang berada di panti asuhan membuat dia sangat miris. Mereka tidak hanya anak yatim dan piatu, mereka juga berasal dari anak-anak yang tidak diinginkan. Yang paling membuat Belva sakit hati adalah, dirinya pun sama seperti mereka, tidak diinginkan. Tinggal di panti ini setelah dilahirkan dan ditinggal begitu saja tanpa tahu siapa orang tuanya?
Belva mengecup kepala balita dalam pangkuannya. Balita itu menoleh ke arah Belva dan tersenyum lebar. Belva membalas senyumnya dan mengusap pipinya. Kasihan sekali balita ini, dia sangat butuh pelukan dari kedua orang tuanya. Namun lihatlah dia kini, berada di sebuah panti asuhan tanpa tahu siapa orang tuanya? Karena ayahnya yang tidak mau bertanggung jawab dan ibunya yang melahirkan di rumah aman namun pergi setelah itu.
“Kelak jika kamu besar, jangan ulang kesalahan orang tua kamu ya, anak kamu berhak mendapat kasih sayang dari mereka. Ya meskipun bunda Tere mencintai kamu, namun tetap saja, kamu pasti merindukan wanita yang mengandung kamu kan?” bisik Belva yang meskipun dia menyadari, bahwa balita itu belum mengerti apa yang dia ucapkan.
Setelah acara selesai, para relawan yang memberikan vitamin itu pun berpamitan, mereka tentunya berfoto beramai-ramai dengan bunda Tere dan beberapa anak panti juga petugas panti. Namun tentu tidak berlaku bagi Belva yang lebih memilih berdiam diri bermain dengan beberapa anak yang kurang beruntung itu.
Bunda Tere menghampiri Belva setelah para relawan itu berpamitan. Dia menarik napas panjang dan mengusap bahu Belva.
“Ada apa? Sejak tadi kenapa melamun?” tanya Bunda Tere membuat Belva mendengus, sempat-sempatnya wanita itu memperhatikanya di tengah kesibukan.
“Ada penambahan anak panti lagi Bun?” tanya Belva. Bunda Tere mengangguk.
“Bunda juga sudah membuat iklan lowongan pekerjaan, pengasuhnya kurang sementara anaknya terus bertambah,” ucap Bunda Tere, hanya di depan Belva dia berani mengeluarkan keluh kesahnya. Karena dia sangat percaya dengan Belva, dia tidak mau membebani para pengasuh dan petugas panti dengan keluhan atau kegetirannya.
“Kenapa sih? Mereka enggak mikir konsekuensinya? Kalau enggak mau punya anak kan bisa pakai kontrasepsi? Kenapa harus membuang anak mereka sendiri! Dipikir anak-anak enggak punya perasaan apa? Semakin lama anak semakin besar, semakin banyak pertanyaan yang terlintas, siapa orang tuanya? Kenapa dia ditinggal di panti? Apa kesalahannya sampai dibuang seperti itu?” Belva mengeluarkan segala gundah yang sedari tadi ditahannya.
“Di negara kita, iklan kontrasepsi bahkan tabu, lebih baik menikah muda dari pada berhubungan seksual bebas karena agama yang melarang, namun ... mereka, para manusia berdarah muda itu terlalu dikuasai nafsu duniawi sesaat, kelak mereka pasti akan menyesal dengan apa yang pernah mereka lakukan. Pendidikan seks usia dini juga dianggap tabu, padahal jika dikemas dengan kata-kata yang tepat tentu enggak akan menimbulkan spekulasi yang lain kan? Entahlah mau dibawa ke mana negara ini?” ujar Bunda Tere yang semakin lama merasa semakin miris dengan pergaulan para remaja masa kini. Mengapa dengan mudahnya mereka bergaul dan berhubungan seksual tanpa memikirkan akibatnya.
“Berat pembahasan kita, Bun,” ujar Belva sambil menggeleng geli. Bunda Tere tertawa dan mengajak Belva masuk ke dalam.
“Makan dulu ayo,” ucapnya. Belva ikut berdiri dan masuk ke dalam panti bersama Bunda Tere, terlihat para pengasuh sedang menyiapkan makan siang untuk para bayi yang sudah berusia lebih dari enam bulan. Juga para balita yang duduk di kursi khusus makan mereka. Biasanya untuk anak di atas satu tahun, mereka diberi kepercayaan memegang sendok sendiri, untuk melatih kemandirian mereka.
“Bagaimana kabar Renata? Sampaikan ucapan terima kasih Bunda ya, kemarin dia mengirim banyak keperluan untuk para bayi, padahal setiap bulan juga dia dan perusahaan The R2 mengirim dana yang tidak sedikit,” ucap Bunda Tere.
“Baik Bun, nanti aku sampaikan.”
“Bunda senang dia sudah bahagia dengan rumah tangganya. Kamu bagaimana? Sudah ketemu calon?” goda Bunda Tere.
“Bun, please deh, aku hanya berharap satu orang saja enggak tanyain tentang pernikahan, yaitu bunda Tere. Ini justru terlontar juga?” dengus Belva. Bunda Tere duduk di karpet bersama dengan Belva, mengambil alih menyuapi makanan para bayi dibawah satu tahun.
“Usia kamu sudah semakin bertambah, Sayang,” ucap Bunda Tere sambil menyuapi bayi gembul yang tertawa ketika makanan berada di mulutnya, sangat menggemaskan.
“Iya tahu, nanti lah Bun,” ucap Belva.
“Waktu itu bilangnya nanti setelah sukses, sekarang setelah sukses mau alasan apa lagi?”
“Bun,” rengek Belva, matanya yang semula menatap bayi yang sedang dia suapi di hadapannya kini beralih ke Bunda Tere, mereka saling tatap dan Belva hanya mengembuskan napasnya.
“Jangan takut menikah sayang, tidak semua pria seburuk yang kamu pikir. Bunda yakin kamu akan dapat suami yang sayang kamu dan keluarga, bisa memberi kenyamanan dalam hidup kamu, seperti suami bunda.”
“Memangnya ada pria yang lebih baik dari ayah di dunia ini?” ujar Belva. Bunda Tere hanya terkekeh menanggapinya.
“Pasti ada, makanya cari dulu, pahami sifat sikapnya, lihat saat dia marah, lihat saat dia terkena masalah, untuk tahu sifat buruknya. Kadang saat pacaran, manusia itu saling menutupi sifat mereka, hingga ketika mereka menikah, boom! Meledaklah segala sifat buruknya, tempramentnya, egois dan sebagainya, hingga membuat rumah tangga mereka sukar dipertahankan,” ucap Bunda Tere yang terdengar sangat logis. Belva mengangguk, dia sangat paham mengenai hal itu.
Salah seorang petugas administrasi panti menghampiri Bunda Tere dan duduk di sebelahnya, “Bun, orang tua angkat bayi Maria datang, mereka telah selesai menjalani test dan hasilnya bagus, apakah kita bisa serahkan Maria sekarang?”
“Bayi Maria yang mana?” tanya Belva.
“Itu yang kamu suapi, makanya jangan terlalu sibuk sampai lupa nama adik sendiri,” dengus bunda Tere. Lalu wanita itu menoleh ke arah petugas administrasi, “saya lihat lagi berkasnya ya, kita harus melakukan test selanjutnya dengan membiarkan kepengasuhan bayi Maria sebelum benar-benar dilepas,” ujarnya. Bunda Tere memberikan mangkuk makanan bayi yang dipegangnya ke salah satu pengasuh dan dia pergi bersama petugas administrasi itu.
Belva menyuapi bayi di hadapannya, senyumnya sangat indah. Di panti ini bukan orang tua yang memilih anak, namun bunda Tere dan para pengasuh yang memiliki kuasa untuk memberikan kepercayaan mereka untuk mengangkat salah satu anak panti. Hal itu demi menghindari ketidak adilan. Dan biasanya para orang tua angkat sudah tahu hal itu sebelum mengadopsi bayi atau balita di panti sehingga mereka tidak keberatan.
“Hei kamu, selamat ya kamu akan memiliki orang tua, suatu saat nanti ketika kamu dewasa, mungkin mereka akan menceritakan asal usul kamu, saat itu tiba, jangan pernah marah kepada mereka ya. Karena mereka meluruhkan egonya, merawat anak yang bukan darah dagingnya, memberikan kasih sayang sepenuh hati. Cintailah mereka seperti mereka mencintai kamu, oke?” ujar Belva sambil melotot, bayi Maria justru merengek sampai ingin menangis hingga pengasuh di samping Belva menoleh ke arah Belva.
“Kok nangis?” tanya Belva.
“Ngasih nasihatnya kayak ngomel sih, Kak,” ujar pengasuh itu.
“Ya ampun, maaf sayang, maafin kakak ya, cup cup ayo makan lagi,” ujar Belva mencoba menghibur bayi itu. Para pengasuh di dekat Belva hanya tertawa dan menggeleng geli melihat kelakuan Belva.
***