Part 1
PART 1
PART-1
Pagi menjemput jiwa-jiwa lelah yang masih mendambakan mimpi indah di tidurnya. Matahari menyalak angkuh, seolah mengatakan sepanjang hari akan cerah, tanpa awan mendung dan hujan. Kepulan asap kendaraan sudah mengontaminasi udara yang seharusnya bersih dan segar. Lenguhan klakson saling bersahut. Deruman mesin kendaraan menjadi nyanyian paling buruk pagi itu.
Seorang lelaki remaja berusia 17 tahun dan mengenakan seragam putih abu-abunya sedang berjalan menuju sekolah. Sesekali kakinya menyepak debu-debu di jalanan. Kurang beberapa menit lagi gerbang SMA JAYA akan ditutup dan lelaki itu segera berlari cepat masuk ke dalam sekolah ketika mengetahui para tata tertib sekolahannya bersiap berjaga.
“Arthur Mahatma Rajendra, mau kabur kemana?” terdengar suara gurunya berada di belakangnya ketika baru saja laki-laki itu melintasi guru-guru tata terbit sekolah yang baru saja berjaga di gerbang tersebut.
“Ah sial!”
Lelaki yang biasa dipanggil Arthur itu berdecak kesal kala di hadang guru lain sehingga tak bisa kabur.
“Sini kamu!” teriak guru yang pertama memanggilnya tadi. Kemudian Arthur membalikkan badannya dan menghampiri gurunya itu dengan perasaannya yang ogah-ogahan.
“Rambutmu.” Guru itu menatap tajam ke Arthur saat tau rambut muridnya itu belum juga dipotong.
“Lupa, Bu,” jawab Arthur jujur.
“Lupa, lupa, lupa itu terus alasannya.”
“Ya nanti saya potong rambutnya.” Arthur juga celingukkan mencari teman-temannya, barangkali nanti ada seseorang teman ketika menjalani hukuman.
“Tidak ada kata nanti lagi dan besok pasti akan lupa.”
“Terus?”
“Kamu ini ya benar-benar tidak ada sopan santunnya pada gurumu ini!” sentak guru perempuan yang sudah setengah baya itu berkacak pinggang.
“Nggeh, Bu Soimah, kulo salah.” Arthur memiliki firasat tidak enak hari ini.
(Iya, Bu Soimah, saya salah)
“Sekarang kamu berjongkok.”
“Oh hukuman squat jump kan, Bu? Kalau itu mudah dong-eh itu saya akan lakukan.” Lantas Arthur berjongkok dan melakukan squat jump tapi langsung dihentikan oleh gurunya.
“Apa-apaan sih! Dengarkan dulu hukuman dari ibu!” titah Bu Soimah pada Arthur searasa kesabarannya diuji pagi hari ini mengatur beberapa murid yang melanggar peraturan sekolah.
“Iya,” jawab Arthur singkat.
Arthur merasa gurunya lama itu perlahan mendongakkan wajahnya seketika matanya membulat melihat Bu Soimah atau biasa dipanggil Imah itu baru saja menerima gunting dari guru lain dan yang membuat jantungnya mulai berdebar mengetahui gunting itu sepertinya baru selesai digunakan memotong rambut.
“Diam kamu!” Bu Soimah agak membungkukkan badannya seraya tangannya mulai meraup rambut Arthur.
Arthur memekik. “Ibu mau potong rambut saya?”
“Sudah jelas begini masih nanya.”
Arthur lemah memandangi rambut-rambutnya yang berguguran di depan wajahnya.
“Bu harusnya jangan begini,” rengek Arthur yang nelangsa, tangannya meraba-raba rambutnya dan sudah ia tebak rambutnya tidak rapih sekarang.
“Akibat mengabaikan teguran dari saya, bagus sekali sekarang ya rambutnya.” Bu Soimah meledek rambut Arthur agar muridnya itu sadar atas kesalahannya yang tidak kunjung memotong rambut yang sudah panjang khusus murid laki-laki.
“Kenapa ibu tidak beli alat cukur rambut gitu biar rapih dan saya tidak susah payah ke tempat cukur? Sekalian di sekolah ditambahi fasilitas salon dan semua murid bakalan rapih rambutnya.” Arthur kini sedang membereskan sisa-sisa potongan rambutnya dan dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam. Begitu juga dengan murid lain yang bernasib sama seperti Arthur.
“Comel sekali mulutmu ya.” Bu Soimah pun melanjutkan kegiatannya dan saat ini berganti mengurus seorang siswi yang alasannya bangun sekolah kesiangan.
‘Mereka di mana sih?’—Arthur berdiri dan menyapu pandangannya di sekitaran sekolah.
“Di saat begini mereka tidak ada, asem memang dan lihat aja ya, gue tetap cari kalian,” ucap Arthur begitu yakin temannya juga akan merasakan apa yang dirasakannya sekarang.
“Kamu lagi kamu lagi, tidur kesiangan.”
Suara Bu Soimah yang ternyata guru itu masih berdiri di sebelahnya, bedanya sekarang memarahi murid lain. Arthur yang selesai membersihkan rambutnya, menatap sosok gadis yang tengah menguap lebar dan matanya yang nampak sayup-sayup menandakan masih diselimuti hawa kantuk tapi berusaha dengan sekuat tenaganya menahan rasa kantuknya tersebut.
“Hanin,” gumam Arthur mengenal sosok gadis berkuncir kuda dan seragamnya dibalut jaket kebesaran.
Hanindya Nasywa Arvita, kerap kali dipanggil Hanin menoleh sekilas menatap Arthur karena merasa lelaki itu menyebut namanya. Ia baru sadar kalau berdiri bersebelahan dengan Arthur, seseorang yang membuat hatinya terluka di masa lalu namun ia menganggap bahwa itu kesalahannya sendiri yang terlalu berharap kepada Arthur.
“Bu, saya sudah selesai kan?” Arthur tidak mau berpapasan muka dengan Hanin dan ingin beranjak pergi dari sini.
“Iya, kamu pergi sana! Di sini makin risih aja lihat mukamu. Oh ya, kamu Hanin. Lari-lari biar tidak mengantuk terus selesai minta surat ijin dan masuk ke kelas. Jangan bolos kalian ya!” peringat Bu Soimah pada dua murid yang berdiri di hadapannya.
Mereka berdua kompak mengangguk dan meninggalkan gurunya yang masih berdiri di depan gerbang SMA Jaya.
“Lovie!” teriak Arthur pada seorang gadis berkulit putih pucat tengah berjalan ke arahnya seraya meratakan rambut sepunggungnya ke sisi kanan dan wajahnya agak miring serta senyumnya mengembang mendapat kedipan maut dari Arthur.
“Hey, sayang. Itu rambut---”
“Ah ini habis kena popol dari Bu Soimah.” Arthur menyengir kuda sambil menepuk puncuk kepalanya sendiri.
Tentu saja pemandangan itu sempat dilihat oleh Hanin tapi gadis itu secepatnya menjauh dari mereka berdua dan hanya Arthur yang menyadarinya.
“Kamu lihat apa?” tanya Lovie Qyara, sosok kekasih Arthur dan hubungan asmara mereka telah terjalin sejak kelas 10 SMA di waktu masih masa pengenalan sekolah dulu.
“Enggak lihat apa-apa kok.” Arthur gelagapan dan baru sadar memperhatikan Hanin sedari tadi.
“Kamu ini aneh deh, apa gara-gara botak gak rata ya?” Lovie terkekeh pelan dan menepuk bahu Arthur.
“Terserah apa katamu deh, penting kamu ketawa senang gini ikut senang akunya.” Arthur mencubit dagu Lovie.
“Haha ada-ada saja kamu ini, emm apartemen pilihanku buatmu nyaman enggak?” tanya Lovie penasaran.
“Nyaman dong. Makasih, Baby!” Arthur merangkul pinggang Lovie mesra dan mereka mulai berjalan beriringan menuju kelasnya masing-masing.
“Ah padahal aku gak suka dipanggil baby, serasa aku jadi bayi deh.”
“Bodo amat.”
“Arthur!”
“Dalem, Baby.”
“Dibilang aku gak suka!”
...
“Eh anying banget ya kalian berdua!” Tidak lama setelah Arthur duduk, dua temannya yang ditunggu-tunggu telah tiba di kelasnya. Arthur berada di kelas 11 IPS 1 berbeda dengan dua temannya di kelas 11 IPS 2.
“Weh kena popol dari Bu Soimah kan?” tebak Vicky Bagaskara, lelaki playboy tapi mengaku setia dengan pacarnya saat ini.
“Kalian potong rambut?” tanya Arthur seraya memincingkan matanya curiga dan menatap temannya bergantian. Apalagi rambut mereka tampak rapih potongannya.
“Iya, salah sendiri lo gak masuk kemarin. Kita habis pulang langsung ke barber shop.” Sanggah Alexis Gavriel, lelaki yang paling rapih seragamnya dibanding dua temannya tersebut.
“Beneran anying lo ya, harusnya kalian itu bilang. Tau gini percuma nungguin kalian tadi.” Arthur mengacak-acak asal rambutnya yang tidak merata potongannya itu.
“Haha keren rambut lo, model baru dari jaman kapan ini?” Vicky tidak bisa menghentikan gelak tawanya dan tangannya terus meremas rambut Arthur yang menurutnya bagus namun karena potongan yang tidak merata itu mengundang tawa ke teman yang lain juga.
Arthur kini menahan rasa malunya dan ia yakin wajahnya masih tampan. Buktinya Lovie tidak pernah berpaling darinya dan terus bucin kepadanya. Asal good looking, semua permasalahannya tertolong. Itu yang ada dipikiran Arthur saat ini.
...
“Duh si bocah satu ini kalau jam kosong malah enggak ngantuk, giliran ada gurunya ngantuk. Mau lo apa sih sebenarnya?” Seorang gadis berbando warna biru dan dipakai saat merasa poninya itu membuatnya risih. Gianna Myesha, menggelengkan kepalanya menatap temannya yang duduk santai sambil memainkan ponselnya.
“Pulang pagi.”
“Ya, itu sih harapan gue juga. Entahlah gue mendadak malas begini.”
“Kita baru naik kelas 11, sudah pada malas semua nih.” Seseorang datang membawakan dua botol teh kepada mereka dan sekantung plastik berwarna hitam berisikan makanan. Dialah Fatin Delisia, teman yang suka sekali makan dan tubuhnya sulit gemuk .
“Lo ini suka banget bikin diet gue gagal.” Gian tak bisa menolak makanan pemberian dari Fatin dan langsung melahapnya.
“Memangnya lo punya niat mau diet? Olahraga setengah putaran aja sudah tepar di tempat.” Fatin berdecih sinis dan duduk dibangkunya yang sebangku dengan Hanin.
“Heh itu rahasia gue, main bongkar aja.” Gian tertawa renyah.
“Lo tadi sudah sarapan belum?” tanya Fatin khawatir pada Hanin. Karena tau temannya itu seringkali nafsu makannya hilang dan suasana hati Hanin pula tak bisa ditebak.
Hanin mengangguk dan sudah hafal betul sifat temannya itu yang suka perhatian pada orang lain. Pertemanan inilah yang membuatnya nyaman dan Hanin merasa lebih menyukai berteman dengan perempuan dibanding laki-laki yang seringnya terlibat perasaan. Hanin agak trauma memikirkan masa lalunya yang menurutnya begitu memalukan dan memilukan dirinya sendiri.
“Hubungan lo sama Vicky gimana Tin?” tanya Gian kepo pada Fatin yang diketahui memiliki seorang kekasih yang sikapnya suka memainkan perasaan seorang perempuan.
“Engga ada apa-apa, cuman salah paham,” jawab Fatin seraya menggelengkan kepalanya dan tersenyum simpul menatap balik ke teman-temannya.
“Kalau sudah tidak kuat, tinggalkan saja dan jangan jadi cewek lemah!” Hanin ikut menimpal ucapan Gian.
“Iya, Hanin. Thank’s saran lo.” Fatin hendak berdiri, terdengar suara yang memanggilnya. Sosok kekasihnya yang menyuruhnya menghampirinya di bangku belakang.
‘Sok kuat lo, Hanin. Padahal lo sendiri aja lemah, mental kerupuk gini gue’---Hanin menertawakan dirinya sendiri kali ini.
...
Apartemen Wilya, letaknya tak jauh dari SMA Jaya dan rata-rata juga anak sekolahan yang sengaja tinggal di sini sebab jarak rumah antar sekolah sangat jauh serta bangunan asrama ini hanya 3 lantai saja. Tapi tidak bagi sosok lelaki yang tengah asyik memainkan kunci apartemennya, dia mendapat hukuman dari ayahnya untuk sementara waktu tinggal di luar rumah dan lelaki bernama Arthur itu hampir saja di penjara karena ikut balap liar disertai adanya tawuran meski hanya masalah sepele saja.
Ketika Arthur membelokkan badannya hampir menabrak seorang pria paruh baya dan orang itu membungkukkan badannya langsung melengos pergi tanpa mengatakan sepatah kata sembari menutupi wajahnya. Membuat Arthur mengkerutkan dahinya heran lalu mengedikkamn bahunya acuh dan melanjutkan langkahnya menuju apartemennya.
“Hah capek seka—what?” Arthur mendelik setiba di depan pintu, tak menyangka ada seorang bayi yang sepertinya baru saja bangun dari tidurnya kemudian menangis kencang.
“I-ini a-anaknya siapa sih?” Arthur masih syok dan bingung harus apa sebab kondisi koridor apartemennya juga tampak sepi.
“Apa apa apa!” teriak bayi laki-laki itu sambil beranjak berdiri dan berlari tertatih mendekati Arthur.
“Apa?” Lelaki remaja itu menggosok lehernya dan reflek memegangi bayi laki-laki yang tidak tau asalnya dari mana tiba-tiba ada di depan apartemennya.
Akan tetapi, bayi itu semakin menangis kencang dan mau tak mau Arthur membawanya masuk ke dalam. Tidak lupa pula barang-barang yang berada di sekitaran bayi itu dibawa masuk dan lebih kagetnya lagi saat mengangkat tas bayi berukuran besar ternyata di sebelahnya ada seekor kucing berwarna putih tengah terlelap.
“Gue balik deh kata-kata gue tadi, haduh gue bilang suka baby dan sekarang malah datang beneran tapi ini bayi. Kan gue niatnya buat panggil sayang ke Lovie.”
...
Hanin baru selesai kerja kelompok di tempat tongkrongan yang tidak jauh dari apartemen dan sengaja mencari waktu ketika pulang sekolah sebab ingin segera diselesaikan saja tugas-tugas kelompok yang menurutnya menyebalkan jika tak satu kelompok bersama teman akrabnya. Gadis berambut sebahu itu tengah mencepol asal rambutnya dan melangkahkan kakinya cepat sebentar lagi akan tiba di apartemen. Merasa sudah tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket sore ini dan sudah saatnya mandi lalu istirahat tenang di apartemen.
Baru saja membuka pintu, seseorang yang tinggal di depan apartemennya mengejutkannya. Lantas Hanin menoleh ke belakang dan seketika mulutnya dibekap oleh sosok itu yang sudah paham kalau dirinya akan berteriak. Bagaimana tidak kaget melihat tampilan Arthur yang seperti orang gila dengan wajahnya yang dipenuhi coretan dan kaosnya pula.
“Itu bayinya siapa?” Mata Hanin tertuju pada sosok bayi sekisar usiannya 1 tahunan berada di gendongan Arthur menggunakan tali selendang jaman dahulu. Bayi mungil itu berceloteh sambil mengemut jempol tangannya yang dibaluri air liurnya sendiri.
...