Laki-laki dengan jabatan kepala keluarga itu terlihat melonggarkan dasi. Sepertinya Ita sudah membuatnya tersinggung. Entahlah, sejak kapan kehadirannya mampu mengaduk hati Ita semengerikan ini.
"Tadi habis dari mana?" beonya lagi.
"Aku udah kirim chat ke kamu. Setidaknya lihat dulu sebelum tanya."
"Memang udah diizinkan?" tandasnya tak kalah tajam.
Ita menghela nafas berat. Matanya melengos. Malas menatap dua manik yang selalu menyakiti hatinya ini.
"Terus aku harus nunggu dapat izin sampai kapan? Toh, selama ini kamu nggak pernah cek handphone pribadi selama di kantor. Keburu dua anak mu nangis karena mereka yang ngotot mau pergi."
"Tinggal jawab aja! Dari mana? Sama siapa? Gampang kan?!" Otot lehernya mulai ketara. Laki-laki ini benar-benar emosi.
"Apa aku pernah usik urusan mu? Bahkan di hari libur kamu pergi pun, apa aku pernah interogasi saat kamu pulang? Nggak kan?!"
"Aku pergi wajar karena ada urusan bisnis. Kamu? Inget posisi mu!"
"Posisi? Ah! Iya.... posisi ku nggak lebih dari seorang istri yang dipaksa diam di rumah. Harus menerima segala bentuk perlakuan suami dan yang lebih penting, di suruh DIAM di saat suaminya selingkuh!"
"Selingkuh apa sih?!" ucap Raga menaikan volume suara.
"Kamu pikir aku nggak tau? Hubungan mu sama sekretaris mu Sasa. Mau ditutup serapat apapun selamanya bangkai akan tercium juga!"
"Jangan menyimpulkan seenaknya!"
"Aku nggak akan bilang kalau nggak ada bukti nyata!"
Laki-laki itu diam. Ia menatap tajam pada Ita. Gemeretak giginya bahkan terdengar.
"Kalau bukan karena Zera dan Zeno mungkin aku udah minta cerai dari dulu!" ucap Ita tegas. "Ingat! Kamu yang buat aku jadi kayak gini!"
Laki-laki dengan nama lengkap Saraga Hilar, yang menjadi satu-satunya penerus keluarga Hilar itu berdecak kemudian keluar ruangan dengan menghadiahkan bantingan pintu kepada istrinya.
Ita menatap nanar. Kepergian Raga membuat Ita merobohkan kedua kaki yang mati-matian ia tahan untuk jejak berdiri. Berbicara lantang seperti tadi bukan hal mudah untuk Ita. Kenyataannya Ita lemah.
Satu rahasia yang ia simpan rapat-rapat sejak dulu. Entah kapan dimulainya hingga tumbuh cinta pada laki-laki itu.
Cinta sepihak yang menyakitkan!
^^^^^^^
Suara TV menggema di ruang tengah. Kebiasaan nonton K-Drama masih mengalir di nadi Ita.
Zera dan Zeno yang biasanya aktif bermain di siang hari tidak disangka akan tertidur. Membuat Ita bebas melakukan apapun.
Ia sempat memesan beberapa camilan lewat gofood. Menonton K-Drama tidak lengkap tanpa camilan. Begitu prinsip Ita.
Merasa jenuh dengan alur drama. Ita memutuskan membuka file-file lama di laptop. Banyak sekali folder berjejer. Ita sengaja menyimpannya di laptop sebab ia sadar diri sering lupa pasword google drive. Padahal stok poto semua sudah di upload ke sana.
Kursor mengarah pada folder kenangan semasa SMA. Entah sudah berapa tahun Ita tidak meniliknya. Salah jika bilang Ita tidak merindukan kenangan itu. Alasannya tidak lain karena Ita takut.
Benar! Ia takut rasa bersalah menghantuinya lagi. Membuat tiap penggalan mimpinya terselip sosok orang itu. Orang yang sudah meninggal di masa lalu. Bukan salah Ita. Itu murni kecelakaan. Sayangnya Ita selalu merasa itu salahnya.
Setelah menguatkan diri, foto kenangan itu terbuka. Jajaran poto mengisi ingatan Ita kembali di masa-masa SMA. Sejenak hatinya menghangat melihat tawa lepas teman-temannya. Masa itu adalah masa dimana beban tidak seberat sekarang. Tangan Ita berhenti menekan tombol next ketika potret seseorang memenuhi layar laptop.
Dia Mahesa, laki-laki baik yang secara tulus mau menerima kerandoman Ita. Menjadi pacar sekaligus orang yang membuat Ita merasakan kehilangan teramat besar. Kecelakaan tragis itu terjadi. Saat konfoi kelulusan. Bukan Mahesa yang ugal-ugalan. Sebuah truk oleng dan menghantam kendaraan Mahesa.
Mungkin jika saat itu Ita tidak menerima panggilan orangtuanya yang menyuruhnya pulang. Nama Ita saat ini sudah tersemat di batu nisan. Zera dan Zeno tidak ada. Lalu... perasaan sepihak ini tidak akan pernah ada.
Entah Tuhan yang masih sayang dengan Ita atau ada ujian yang harus Ita lalui setelahnya. Saat itu masih menjadi misteri sampai sebuah mobil mewah terparkir di halaman rumahnya.
Dia Saraga Hilar. Satu-satunya penerus H Group setelah kedua orangtuanya meninggal. CEO H Group yang menaungi dua puluh lima departement store terpencar di seluruh Indonesia. Kehadiran orang itu menjadi jawaban jelas. Bahwa akan ada badai ujian setelahnya.
Pernah terlintas di benak Ita. Kenapa dia diselamatkan pada hari itu? Apakah untuk mengahadapi ujian saat ini? Jika demikian, pantaskah jika Ita meminta untuk dimatikan saja?
Genggaman tangan kecil pada baju Ita menyadarkan lamunannya. Sosok mungil dengan mata bulat itu menatap polos.
"Kenapa Zera sayang?"
"Mau pipin," jawabnya lirih. Kantuk masih menjalarinya.
"Pinternya anak Mama nggak ngompol. Abang Zeno masih tidur ya?"
"Masih. Abang nompol. Bau pecing," ucap Zera menggemaskan sambil menutup hidung.
Ita terkekeh singkat. "Nanti bilangin abang ya. Yang ngompol nggak dapat permen susu."
"Humm. Kata Abang sebenelnya nggak mau nompol. Tapi, abang takut ke kamal mandi," beo Zera seraya melangkah kecil sambil menggenggam daster Ita.
"Kenapa takut?"
"Kata Abang ada 'tutut' di sana."
Tutut? Itu adalah kata plesetan untuk kata takut yang menjurus pada istilah hantu atau hal gaib. Seketika Ita menelan paksa salivanya.
Sudah besar begini pun Ita masih sering parno menyangkut hal gaib. Apalagi putra dan putrinya ini sering kali cerita menyeramkan dengan wajah ceria.
Pernah saat itu mereka bilang ada teman main di tengah malam. Dan yang paling membuat buluk kuduk Ita berdiri adalah saat Ita memergoki Zera mengobrol di kamar tanpa ada siapa pun.
Oleh sebab itu, Ita memberi pemahaman anak-anaknya untuk tidak berkomunikasi dengan mereka. Dan memberi nama mereka tutut sebagai kata perumpamaan.
Rasanya kalau tidak diberi perumpamaan, Ita bisa pingsan seketika. Karena si kembar ini memang selalu berkata jujur. Contohnya saja begini. "Ma disitu ada teman aku. Matanya gak ada." Atau begini, "Ma itu sapa di atas lemali?"
Siapa yang tidak jantungan kalau seperti itu?
"Hehe... Zera kita ke kamar mandi sebelah sana yuk," bujuk Ita. Tadinya berniat mengantar Zera ke kamar mandi biasa mereka pakai. Siapa yang menyangka pernyataan Zera membuat Ita berubah haluan.
"Lho kenapa Ma?"
"Hemm, Mama takut tutut."
"Tututna baik lho."
"Ahaha.... sayang Mama punya permen s**u. Zera mau?"
"Mauu!" ucap Zera kegirangan.
Syukurlah! Zera tidak membahas tutut itu lagi. Hati Ita menghangat. Sejak memiliki Zera dan Zeno hari-harinya kian berwarna.
Kehadiran merekalah sebab segala pikiran negatif hilang. Seperti saat ini, tadinya Ita disuguhi banyak pikiran. Namun sekarang seolah pikiran itu menguap hanya karena celotehan Zera.
"Nak.... kalian adalah harta berharga Mama," gumam Ita.
"Apa Ma?" sahut Zera yang sudah menunaikan buang air kecil.
"Kalian anak manis Mama sampai kapan pun," peluk Ita pada tubuh Zera.