BAB 5

1017 Kata
Jika menjadi cantik dan dicintai seseorang yang juga Thania cintai itu adalah sebuah kesalahan, ia akan  memilih menjadi jelek. Bisa mencintai walau cintanya tak terbalas mungkin akan menjadi pilihan lain. Bukan salahnya ia terlahir dengan paras seperti ini. Bukan salahnya jika pria yang sangat diinginkan saudaranya William, mencintainya. Ia tak pernah meminta pada Tuhan agar Sean mencintainya. Thania tidak bisa menolak karena harus terlahir dari keluarga yang selalu membutuhkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Thania dan keluarganya bekerja keras agar tidak ada yang bisa merendahkan derajat mereka.  William tidak pernah tahu Thania tidak menginginkan uang dalam hubungannya  dengan Sean.. Ia tulus mencintainya dengan sederhana. Andaikan Sean terlahir dari keluarga sederhana sekalipun, Thania akan tetap mencintainya seperti saat ini. Seharusnya, William tidak menyalahkannya atas keadaan ini. Semua ini bukan kehendaknya. Penghakiman membabi buta William memerangkap Thania ke dalam hukuman yang tak seharusnya ia terima. Thania terisak. Tuduhan dan perbuatan keji William telah menahannya pada awal  mula pusaran badai penderitaan. Air matanya membasahi bantal dan meninggalkan jejak perih. Malam itu, Thania hanya bisa menuruti semua titah William. Ia tinggal di kamar itu sendirian, sementara William memilih tidur di kamar lain. Semalaman matanya tak bisa memejam. Ia terus menangisi kesialan yang menimpa dirinya. Apa yang akan ia katakan kepada orangtuanya? Apakah ia harus menceritakan semua ini pada mereka? Lantas, bagaimana dengan Sean? Apakah Sean akan percaya jika pria yang menjadi panutannya selama ini telah memerkosanya? Semua pertanyaan itu semakin membelit perasaannya. Cahaya matahari pagi menerobos celah jendela. Thania masih menangis. Lingkaran hitam terlihat mengelilingi mata sembapnya. Ia terus mengutuk dan mengumpati William. Thania beringsut ke tepi ranjang. Ia mencoba membangun kembali semangat juangnya untuk segera terlepas dari cengkeraman si monster William. Rasa ngilu di pangkal paha masih ia rasakan saat ia melangkah ke jendela. Ia menahan kedua tangannya di birai jendela, lalu melihat ke luar. Sesaat, ia memandang atap ruangan lain yang menjadi bagian dari rumah besar William dan kolam renang yang menghias halaman belakang. Lumayan tinggi dan aku pasti akan terjatuh jika memaksa kabur dari sini. Suara derit pintu dibuka terdengar. William dalam balutan kaus Polo hitam dan celana jinnya memasuki kamar dengan langkah arogan. Untuk perempuan selain Thania, mungkin penampilan William pagi ini tampak sangat menawan.   Thania berbalik. Kedua tangannya tetap tertumpu di birai jendela. Seketika oksigen dalam kamar tersebut menguap entah ke mana. Thania mulai sesak. Bibir dan tubuhnya gemetaran. “Kau sudah bangun? Lusuh sekali penampilanmu.” William melangkah mendekati Thania, lalu memegang dagu perempuan itu yang dengan cepat ditepisnya. “Matamu sembap dan kau terlihat sangat jelek. Sebaiknya, kau mandi. Asisten rumah tangga di sini akan menyiapkan baju untukmu.” Ia berbicara dengan santai seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Thania menatap kesal kepada William. Kebencian berkilat-kilat dari sorot mata cokelatnya. Ia ingin sekali menampar wajah si Lucifer itu. “Aku mau pulang.” Thania mengeluarkan suara berat dan lelahnya. William tak menggubrisnya sama sekali. Ia berbalik, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya, membalas beberapa pesan pendek sambil melangkah menuju pintu. William tak ingin lagi mendengar rengekan Thania. “Aku mau pulang, berengsek!” Thania menjerit. William menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan menatap bengis kepada Thania. “Beraninya kau berteriak padaku! Kaupikir kau siapa, hah?” William kembali mendekat, lalu mencengkeram kedua lengan Thania. Wajah mereka kini berhadapan dengan sangat dekat. “Aku mau pulang.” Thania terisak. “Kalau begitu, bersihkan dirimu dulu dan aku akan mengantarmu pulang,” kata William. Nada bicaranya melembut. “Aku tidak mau. Aku mau pulang sekarang. Kau tidak bisa seenaknya memerintahku! Aku bukan perempuan mainanmu!” “Kelak kau juga akan jadi mainanku, Nona. Mulai saat ini,” William membalas sinis yang penuh cemooh. Thania menampar keras pipi William. “Jangan harap!” William mengusap pipinya. Ia menyeringai kejam. “Hanya ini yang kau bisa?” Thania bergidik ngeri melihat perubahan raut wajah William yang seperti ingin menelannya. “Sepertinya aku harus membuktikan kalau kau akan jadi mainanku.” William menarik paksa tangan Thania dan menyeretnya ke kamar mandi. William memutar pancuran air dan memaksa Thania berada di bawahnya. Air mengguyur membasahi kemeja putih yang dikenakan Thania. Aliran air yang keluar dari pancuran semakin lama membuat kemeja putih itu basah dan mencetak dengan jelas p******a ranum Thania yang tidak tertutupi bra. Tenggorokan William mengering. Gelombang sensasi panas membanjiri William begitu cepat hingga napasnya terengah Ia menggeram, lalu memegang erat lengan Thania, ikut berbasah-basahan. William mendorong tubuh Thania ke dinding kamar mandi dan mencium bibir Thania dengan kasar. Thania meronta dan berteriak, “Kau mau apa? Lepaskan aku, berengsek!” Ia mengangkat satu kaki Thania dan meletakkan di atas pahanya. Kemudian, ia membuka ritsleting celananya, membebaskan bukti gairahnya untuk kembali memasuki Thania. Perempuan itu mengerang dan memekik saat sensasi gerakan intim William mengoyak miliknya lagi. Thania menangis tersedu-sedu sesaat setelah William menyelesaikan kegiatan yang menguras banyak energinya. William mengambil kimono handuk, lalu mengenakannya pada tubuh Thania yang terduduk lemas. William menatap Thania penuh sesal selama beberapa saat. Damned! Aku melakukannya lagi. Perempuan ini benar-benar membuatku gila. “Cepat ganti bajumu! Asistenku sudah menyiapkannya untukmu. Aku akan mengantarmu pulang,” ucap William sebelum meninggalkan Thania yang masih terpuruk dalam kesedihannya di kamar mandi. Setibanya di rumah, Thania hanya mampu berbohong kepada orangtuanya bahwa semalam ia menginap di rumah Diana mengerjakan tugas kuliahnya untuk menjelaskan lingkaran hitam di matanya. Ia memendam sendiri kejadian nahas yang menimpa dirinya semalam. Thania mengurung diri di kamar sepanjang siang. Tindakan tak bermoral William memerangkapnya dalam duka yang membuat air matanya tak berhenti mengalir. Apakah ia harus mengatakan kepada orangtuanya atau melaporkan kejadian itu pada pihak berwajib? Pertanyaan itu terus berkecamuk di kepalanya. Namun, apakah akan ada yang memercayainya? Seorang Anderson bahkan bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih cantik dari Thania untuk menghangatkan ranjang tanpa harus melecehkan seorang pelayan restoran sepertinya. Thania hanya akan mencemarkan nama baik keluarganya seandainya ia melaporkan kejadian malam tadi dan mendapat penyangkalan dari William. Pria itu bisa saja memutarbalikkan fakta. Thania yakin sekali jika William bisa melakukan itu dengan uang dan kekuasaan yang ia miliki dan akhirnya keluarganya yang akan mendapat masalah. Dengan semua pertimbangan itu, akhirnya Thania memilih bungkam. ===== Alice Gio
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN