Thania Adipraja meneguk minumannya yang tersaji di atas meja kayu di sudut kantin kampus. Senyuman manis menghiasi wajah cantik dan polosnya. Perempuan sembilan belas tahun itu masih tidak percaya dengan semua yang baru saja dikatakan teman sekampusnya yang duduk di seberang meja. Pria muda tampan itu menatap Thania dengan mesra. Manik birunya berbinar terang memancarkan luapan kebahagiaan.
“Apa kau yakin dengan semua yang kaukatakan padaku, Sean?” Thania meyakinkan dirinya.
“Aku bersumpah demi Tuhan, Thania. Aku jatuh cinta padamu.”
“Apa kau tidak salah menyatakan cintamu pada seorang pelayan restoran sepertiku? Aku rasa kepalamu baru saja terbentur atau kau salah minum obat, ya, Sean?” Thania menggoda Sean dengan senyumannya. Jauh di dalam hatinya, ia bersorak gembira. Tak dinyana, ternyata Sean punya perasaan yang sama dengannya.
Sean melayangkan tatapan lembut penuh arti kepada Thania. “Aku tahu sepertinya aku sedang menggombal, tapi aku yakin dengan semua yang kukatakan padamu.”
“Sean, aku ingin sekali memercayai semua yang perkataanmu, tapi ....” Kepala Thania mendadak berdenyut. Setelah beberapa menit, ia melayang di awan harapan, kini ia kembali ke kenyataan. Lidahnya kelu. Binar tatapannya meredup.
“Why, Thania? Kenapa kau tidak bisa memercayaiku?” Sean memberanikan diri menggenggam tangan Thania. “Aku sangat yakin dengan perasaanku padamu.”
“Aku sadar siapa aku, Sean. Aku cuma anak tukang bunga yang berjualan di pasar tradisional dan aku hanya seorang pelayan restoran. Keluargaku sangat tidak sepadan dengan keluargamu yang ….”
Belum selesai Thania berbicara, telunjuk Sean sudah menempel di bibir merah muda Thania. “Sudah, cukup!” Putra pengusaha asal Inggris itu menaikkan volume suaranya. “Aku tidak mau mendengar lebih banyak alasan lagi. Aku, Sean Patrick Crawford, jatuh cinta padamu, Thania Adipraja.”
Mata indah Thania terbelalak. Rona kemerahan mewarnai pipinya yang licin dan seputih mutiara. Ungkapan perasaan yang mirip pengumuman itu membuat seisi penghuni kantin menoleh ke arah mereka. Kantin pun menjadi hening.
Sean lantas mengecup punggung tangan Thania tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya. Semua mata tertuju pada adegan romantis Sean kepada Thania dari sudut kantin. Tak ayal, cerita romantis itu menjadi tajuk pembicaraan seluruh penghuni kampus.
Perbedaan status yang mencolok di antara Thania dan Sean tidak menjadi kendala bagi hubungan mereka. Meski ada beberapa kerikil tajam yang menghalangi, mereka tetap bisa melewatinya dengan bijak dan bersahaja.
○○○
“Morning, gorgeous,” sapa Sean di suatu pagi. Sentuhan bibir Sean yang lembut, tetapi ringan mendarat di pipi Thania.
“Hai, Sean.” Thania melirik sekilas ke arah Sean, lalu mengembalikan pandangannya ke buku yang dibacanya.
Sean duduk di samping Thania. Suasana kampus yang masih sepi membuat pria muda berambut cokelat terang itu tanpa ragu merangkul pundak Thania.
“Sean, jangan seperti ini. Kita di halaman kampus. Aku malu. Banyak mata melihat kita,” protes Thania sambil melepas rangkulan Sean.
“Oke, Sayang. Maaf, kadang kebiasaanku di Sheffield terbawa sampai ke sini.” Sean mencubit kecil pipi Thania.
“Ih, Sean. Sakit, tahu!” Thania memukul pelan lengan Sean. Ia mencuri lihat wajah tampan kekasihnya. Tak ada yang lebih membuat pagi Thania lebih bersinar selain melihat Sean dengan senyumannya. “Kita ke kelas, yuk!”
Sean mengaitkan jemarinya ke Thania. Mereka berjalan melintasi halaman kampus. Tiba di kelas, Sean melempar tas punggungnya ke sebuah kursi, lalu menarik kursi lain untuk Thania duduk. Pria dengan tinggi 180 cm itu duduk di samping perempuan itu.
Thania mengeluarkan tugas kuliah dari tasnya, Ia membacanya sekali lagi dan memastikan tidak ada kesalahan. Perempuan cantik yang juga cerdas itu harus mempertahankan nilai-nilainya agar beasiswanya tetap berlanjut.
“Sayang, aku cemburu,” cetus Sean yang sedari tadi mengamati sang kekasih.
Thania menutup lembaran-lembaran tugasnya, lalu menoleh kepada Sean. “Cemburu dengan siapa?”
“Itu.” Sean menunjuk makalah yang dipegang Thania.
Thania terkekeh. “Sean, kau ini.”
“Iya, aku cemburu. Kau terus memperhatikannya, sedangkan aku dicuekin.” Sean menyilangkan tangan di depan dadanya.
“Sean, aku harus memastikan nilaiku tetap tinggi jika mau terus kuliah di sini. Ingat, aku tidak sepertimu atau yang lain ....”
“Ssst!” Sean menempelkan telunjuknya ke bibir merah muda Thania. “Sudah, jangan dibahas lagi.”
Dehaman cempreng menginterupsi kemesraan mereka. “Pagi-pagi sudah bikin dapur ngebul! Panas, saudara-saudara!” Diana—sahabat Thania dan juga Sean—muncul tiba-tiba seperti hantu. Perempuan manis itu duduk di deretan kursi depan Thania dan Sean. Masih membelakangi mereka, ia berseru, “Kalian yang di belakang, tolong ya, jangan membuat aku iri. Kasihanilah si Joker alias jomlo keren ini. Harap pengertiannya!”
Thania dan Sean kompak tertawa. Sean dengan isengnya menarik pelan rambut Diana.
“Auw!” jerit Diana sambil berbalik ke kedua sejoli jahil itu. “Siapa, nih, pelakunya? Pasti kau, Sean! Iseng amat, sih!”
Sean kembali terkekeh. Wajahnya yang mungil dengan mata bulat dan bibir yang tebal, mengerut, membuat perempuan manis itu terlihat makin lucu.
Keseruan mereka kemudian harus terganggu dengan kehadiran perempuan yang sangat tidak diharapkan. Perempuan bule cantik dengan tinggi di atas rata-rata bak seorang model itu melangkah mendekat ke samping kursi Sean. Ia mengibaskan rambut panjang cokelat yang senada dengan warna matanya. Dengan kaus ketat merah muda dan rok mini denim, tampilan perempuan itu tampak tanpa cela.
“Hai, Bella,” sapa Thania.
Bella bergeming. Namun, hal itu sudah biasa bagi Thania. Bella datang dari kalangan sosial yang tinggi. Bagi Bella, tidak ada untungnya menanggapi sapaan perempuan yang datang dari kalangan rakyat jelata seperti Thania. Pandangan Bella hanya terarah pada Sean.
Ia memberikan sebuah undangan berbentuk DVD pada Sean. “Kau harus datang bersamaku. Mereka mengundang kita. Hanya berdua,” tutur Bella dengan nada bicaranya yang khas dan arogan.
Tanpa membuka undangan itu, Sean mengembalikannya lagi kepada Bella. “Aku tidak akan datang.”
“Kecuali bersama perempuan kampunganmu itu?” Bella melirik tajam kepada Thania.
“Tentu saja.”
“Apa yang membuat dia begitu istimewa di matamu, Sean? Perempuan seperti dia bahkan tidak pantas berdampingan denganmu di pesta Pak Wijaya.”.
“Kautahu apa yang membuat Thania istimewa di mataku? Karena dia tidak sepertimu!”
=====
Alice Gio