Sudah entah berapa kali gue mendesah pelan mencoba mengatur perasaan. Ini kali ya yang namanya karpet yang paling karpet sekarang gue sudah rapi dengan long dress panjang dengan tangan kanan menggandeng si Embul yang terlihat lucu dengan gaun berwarna pink.
Kami sekarang sedang berjalan menuju tenda berwarna biru bercampur putih dan pink di depan sana. Perasaan gue semakin bercampur aduk saat gue lihat dari kejauhan sepasang insan yang sedang tersenyum bahagia kepada setiap orang yang datang menyalami mereka sembari mengucapkan kata 'Selamat'.
Beberapakali gue atur napas sebelum menuju ke gapura berbentuk bunga dengan tulisan 'Selamat datang' di mana beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu sudah berdiri sembari tersenyum menyambut para tamu yang datang.
Gue tarik bibir membentuk senyum, sebisa mungkin terlihat natural. Gue salami satu persatu barisan penyambut tamu tersebut kemudian menuju stand penerima tamu, menuliskan nama dengan huruf kapital serta menyerahkan kado ala kadarnya, mengambil piring, nasi dan beberapa lauk kemudian mencari tempat duduk yang kosong masih dengan partner kecil di gandengan gue.
Sungguh rasanya tak selera makan, walau makanannya terlihat sangat lezat. Mata gue terfokus lurus ke depan ke dua sejoli yang terlihat sangat bahagia, berbeda dengan gue yang rasanya hati ini remuk redam melihat mereka tersenyum.
Gue sudah mempersiapkan diri sejak hari pertama undangan itu sampai ke rumah. Mempersiapkan hati dan fisik untuk menyaksikan seseorang yang entah sejak kapan berada di hati ini kini duduk bersanding dengan orang lain. Gue bahkan membeli pakaian baru, berdandan dan memakai sepatu berhak tinggi agar terlihat lebih percaya diri.
Setelah berkomat-kamit dalam hati serta berzikir, gue langkahkan kaki menuju dua insan yang sedang berbahagia itu berharap terlihat tangguh dan baik-baik saja.
Rasanya badan gue mendadak membantu, rasa dingin menyelimuti. Senyum yang sejak pagi gue latih di depan cermin nyatanya tidak berhasil keluar dengan natural, rasanya bibir ini terasa kaku. Gue paksakan bibir ini tertarik untuk tersenyum, rasanya baru kemarin kami berbagi dan menjalin hubungan yang kiranya terasa aneh, sejak awal hubungan kami hanya didasari rasa takut sendiri hingga suatu hari seperti saat ini salah satu dari kami mendapatkan separuh jiwanya dan tinggallah gue yang hanya meratap, merenungi mengapa di saat seperti ini justru gue yang tak sanggup melepaskannya.
Tatapan kami bertemu saat tubuh gue dan Embul sampai di depan sang raja dan ratu di pesta ini, gue ulurkan tangan menyalami Bang Sul yang terlihat tampan dengan balutan pakaian adat jawa begitupun dengan istrinya, yah mereka pasangan yang sangat serasi, memang beginilah seharusnya pasangan untuk seorang Sulaiman Malik, wanita yang terlihat ayu, cantik dan kalem, jiwa keibuannya sungguh terpancar dari wajahnya gue bahkan merasa minder.
Dan yang paling gue sesali saat ini gue datang tanpa pendamping, maksud gue tanpa seseorang yang bisa gue kenalkan sebagai calon pada mereka.
"Selamat ya." Gue ulurkan tangan kanan sembari tersenyum getir, air mata sudah menupuk di sudut mata, suara gue bahkan terdengar bergetar.
Gue bisa dengar desahan napas berat dari bang Sul ah mungkin sekarang gue harus memanggilnya bang Malik.
"Makasih ya sudah datang," katanya kemudian menjabat tangan gue cukup lama, membuat d**a gue semakin sesak.
"Semoga Kamu dapat jodoh terbaik," katanya lagi membuat air mata gue benar-benar tumpah tak tahan dengan keadaan ini.
Gue mengangguk air mata sudah mengalir di pipi, pertahan gue jebol hanya dengan satu kalimat sakti darinya.
Gue maju sedikit menyalami sang mempelai wanita, sungguh gue iri, mereka sangat serasi.
"Makasih ya selama ini sudah jagain Mas Malik," katanya. Sumpah ini kalau gak lagi galau udah gue sambit mulutnya enak aja dia bilang makasih emang gue tempat penitipan jodoh.
"Bahagia selalu ya kalian. Makasih ya Bang buat waktu dan perhatiannya selama ini." Bang Sul ah Bang Malik menggukkan kepalanya, nafas gue terasa sesak saat gue mulai berjalan menjauh menuju tangga turun dari pelaminan bersama dengan Embul yang sejak tadi menatap kami heran sampai saat mata gue terasa kabur, Selamat tinggal Bang Sul.
***
Gue terlonjak kaget saat merasa tubuh gue sedikit terhempas, pernahkan ya lo pada ngerasa tubuh lo kayak lagi jatuh dari tempat tinggi atau tersandung saat tidur? Susah deh dijelasin intinya tubuh gue jadi terlonjak dan langsung terduduk.
Gue lihat kiri kanan, ini kamar gue. Gue lihat benda kotak berwarna biru yang sedang memasang wajah tersenyum di pelukan gue dan reflek gue lempar boneka Tayo tersebut sampai terpental ke dinding. Karpet gue mimpi.
Gue terdiam berpikir keras, eh itu mimpi apa beneran? Gue ulurkan tangan mengambil hp made in china gue di atas meja samping tempat tidur, menekan tombol on-off untuk menyalakan layarnya, terpampang angka 02.14 di sana, dini hari.
Gue terdiam sesaat menatap layar ponsel saat gue menatap kalender, itu tadi mimpi atau nyata ya? Gue garuk kepala gue yang mendadak terasa gatal, sumpah gue gak punya kutu loh tapi kenapa mendadak ini kepala rasanya kayak lagi nernak kutu? Gatal ey.
Dengan ragu gue scroll kontak hp mencari nomor bertuliskan 'bang Sul'. Telpon tidak ya? Kalau misal gue telpon ternyata dia lagi malam pertama sama istrinya gimana? Tambah sakit hati denai ya lord entar gue dikata apa dah kalau gangguin orang lagi ' iya-iya' tapi kalau ternyata itu cuma mimpi, dia pasti keganggu sama telpon gue secara sekarang jam dua dini hari, tapi tadi itu mimpi apa beneran sih? galau.
Gue taro hp di atas tempat tidur menimbang-nimbang keputusan apa yang harus gue ambil? Eh kemarin pas gue nonton sama Bang Sul itu tanggal berapa ya? Hari minggu juga sekarang hari senin, eh tapi acara resepsi itu juga hari minggu, aaarrrgggh mesti ya gue sholat istikharoh dulu?
Entah berapa lama gue berkutat dengan pikiran absurd sampai akhirnya keputusan gue adalah nekat nelpon di jam, what 02.47 gila berapa lama gue melamun unfaedah tadi?
Walau ragu gue tekan kontak dengan nama Bang Sul, menunggu beberapakali hingga suara tut tut itu akhirnya berhenti, fix gak diangkat, apa beneran ya mereka lagi malam pertama? Gue ganggu dong? Tapi bukan Tiah namanya kalau nyerah begitu aja, gue masih nekat menghubungi nomor bang Sul walau sudah tiga kali panggilan gue tidak diangkat.
Oke semisalnya ternyata mereka sedang melakukan sesuatu ya gue tinggal tebelin muka, pura-pura tidur sambil ngelantur, ah bodo amat yang penting gue gak penasaran. Lagian kalau itu bukan mimpi gue gak ada niatan buat ketemu mereka lagi.
Sampai panggilan ke enam baru gue mendengar panggilan gue dijawab dengan suara serak.
"Apa Dek nelpon tengah malam begini? Abang ngantuk gak bisa besok aja?" Gue terdiam bingung sembari menatap layar hp gue
"Abang tidur?" tanya gue dengan bodohnya.
Bisa gue dengar dumelannya di seberang sana.
"Ya tidur lah Dek masa lagi gali sumur? Ngantuk ni besok Abang kerja, butuh istirahat lebih ni, kan akhir bulan, banyak yang harus dikerjain." Gue mangguk-mangguk mengiyakan, bener juga tapi eh kok?
"Loh Abang besok kerja? Gak ambil cuti emang?"
"Hmmm?" Gumam bang Sul.
"Ya kerjalah Dek. Emang Abang mau cuti apa? Melahirkan?"
"Ya cuti setelah menikahlah Bang, emang sekarang gak dikelonin?" ucap gue sembarangan sumpah ini otak gue lagi susah diajak mikir.
"Cuti nikah? Kelonan? Kita aja belum nikah Dek gimana Abang mau ngajuin cuti? Apalagi mau kelonan? Kamu abis mimpi ya?" ucapnya panjang lebar dan binggo dia menjawab semua pertanyaan absurd di dalam otak cantik gue yang kayaknya mendadak lemot bak tanpa kerutan ni otak.
"Jadi itu tadi mimpi?" tanya gue berasa benar-benar bego. Bisa gue dengar cekikikannya di ujung sana, karpet gue diketawain.
"Mangkanya Dek kalau tidur itu doa dulu." Gue mendengus mendengar ucapannya, beneran deh gue tadi udah doa dulu gak ngeloyor tidur bahkan saking semangatnya gue meluk si Tayo sepanjang malam.
"Udah ya Dek mimpinya jangan dipikirin banget. Abang mau lanjut tidur, besok Kita obrolin lagi. Paipai, jangan begadang, jangan lupa tidur baca doa dulu ya. Love you," katanya panjang lebar tanpa menunggu jawaban gue panggilannya terputus meninggalkan gue yang masih melongo menatap layar telpon.
Gue kembalikan hp item gue ke atas meja dengan tatapan horor gue pungut si yang gue anggap pelaku yang membuat gue mimpi buruk siapa lagi kalau bukan si Bus Tayo. Gue pukul-pukul kesal sekuat tenaga, ini bang Sul niat ngasih gak sih kenapa gue jadi mimpi buruk begini!