"Jadi, maksudmu aku harus menerima pernikahan sirimu, menerima wanita simpananmu juga di rumah ini demi belas kasihan terhadap anak laki-lakimu? Begitu maksudmu, Mas?"
Bunda memekik keras, untuk pertama kalinya aku melihat Bunda kehilangan ketenangannya, beliau menatap Ayah tidak percaya sementara si pelakor tersenyum penuh kemenangan. Sebelumnya Ayah pasrah dimaki-maki Bunda seolah itu adalah penebusan rasa bersalahnya tapi sekarang Ayah justru memasang tembok tidak tahu malunya.
Ayah mengangguk dengan mantap, "Ya, kamu harus menerimanya setidaknya sampai aku bisa mengontrakkan tempat tinggal untuknya. Kamu boleh membanggakan semua hartamu, kamu boleh menghinaku mokondo, benar ini rumah yang kamu beli tanpa uang dariku, tapi ingat Harti, rezeki seorang istri itu dari ridhonya suami. Tanpa izinku, usahamu tidak akan sebesar sekarang. Silahkan kamu mendebatku, memakiku tapi aku tidak akan berubah pikiran. Kamu harus menerima keputusanku tentang Putri dan Dio untuk tinggal di rumah ini sementara wajtu. Tenang saja, mereka hanya tinggal, tidak akan merebut rumah yang kamu beli ini."
Dengan isyarat mata Ayah melirik selingkuhannya yang tersenyum sumringah dibalik wajahnya yang sudah aku hancurkan. Si s****l ini bahagia sekali Ayahku menggunakan jurus tidak tahu malu seperti yang dia lakukan. Omong kosong tentang penyesalan yang diperlihatkan Ayah beberapa lalu saat dia mengiba kepada Bunda, nyatanya semua itu hanya bualan semata.
"Nggak, dia tidak boleh tinggal disini. Silahkan kamu pergi dari rumah ini, tinggalkan semua barang-barang milikku, dan pergilah dengannya. Aku tidak akan mencegahmu. Akan aku gugat kamu, Mas. Biar hancur kamu sekalian."
Seharusnya disaat ini Ayah jika punya otak dan punya harga diri, dia seharusnya pergi membawa selingkuhannya, tapi tidak, Ayah justru berdecih sinis ke arah Bunda menanggapi ancaman Bunda, diraihnya anak laki-lakinya dari gendongan si pelakor, dan kalian tahu apa yang tua bangka itu lakukan, dia menggandeng selingkuhannya tepat di hadapan Bunda.
"Terserah apa katamu, Harti. Aku tidak peduli, mau kamu gugat ya gugat saja, aku tidak akan pernah mengabulkan gugatanmu. Aku tidak akan pernah menceraikanmu, maaf sudah menduakan cintamu, mengkhianati pengorbananmu, tapi bagaimana lagi, semuanya sudah terlanjur terjadi. Aku sudah menikahi putri dan memiliki anak, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Bagiku kamu dan Putri pentingnya, jadi aku mohon bersabarlah sampai aku bisa mencarikan tempat tinggal untuk Putri dan Dio, Har."
Dan bagian paling epic adalah Ayah berlalu begitu saja usai berbicara, dia membimbing selingkuhannya tersebut berlalu meninggalkan aku dan Bunda yang terduduk. Saat seorang dengan harga diri tinggi, seorang yang sangat menjunjung tinggi kehormatannya berhadapan dengan orang-orang tidak tahu malu seperti Ayah dan si pelakor. Setelah dihantam fakta kanan kiri hingga gumoh, seharusnya Ayah sadar betapa salah dirinya, tapi kenyataannya Ayahku tidak tahu malu dan tidak punya harga diri lagi. Tidak peduli dia dihina, dimaki dan dicemooh, mereka tetap tinggal. Semiskin dan sehina itu mereka.
"Kenapa semuanya seperti ini, Batari?" Suara Bunda begitu lirih. Kepercayaan dan ketenangan Bunda kini sepenuhnya hilang dan rasa sakit itu tergambar jelas di suaranya. Bunda menunduk, dan saat beliau mendongak, aku tidak bisa menahan tangisku saat melihat tatapan kosong Bunda. "Kenapa Ayahmu berubah? Dia bukan lagi suami Bunda yang akan sadar atas kesalahannya saat Bunda menegurnya."
Tidak ada kalimat penghiburan yang bisa aku berikan kepada Bunda atas hancurnya dunianya. Semuanya baik-baik saja pagi ini dan menjelang siang semuanya berubah. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menenangkan Bunda selaik memeluk beliau, dan benar saja pada akhirnya tangis Bunda pecah saat aku memeluknya. Sungguh, selama menjalani Coass aku sudah sering kali mendengar tangis kesakitan keluarga pasien saat mereka kehilangan anggota keluarganya, dan kali ini aku mendengar tangis serupa dari Bunda atas hilangnya cinta yang beliau miliki selama ini.
Cinta, kepercayaan, dan pengorbanan yang beliau lakukan pada akhirnya dibalas dengan tuba. Dalam pelukanku Bunda menangis hebat, aku hancur Bunda lebih hancur.
"Seharusnya Bunda jambak dan pukul saja Ayah, Bun. Orang kalo udah tercemar kuman pasti otaknya ikutan somplak." Tidak tahan aku mengeluarkan gumamanku. Aku kagum dengan ketenangan beliau, tapi ada kalanya kekerasan memang diperlukan untuk orang yang sudah tidak punya otak. "Bun, berhentilah menangis, Ayah nggak pantas Bunda tangisi. Mereka nggak pantas sama sekali."
Aku hancur, tapi untuk menguatkan Bunda aku harus tetap kuat. Tidak akan aku izinkan dua pengkhianat itu tahu Bunda hancur karena mereka. Kulepaskan pelukan Bunda, dan aku usap air mata beliau.
"Ri, kenapa semuanya seperti ini?" Kalimat yang sama diulang oleh Bunda penuh dengan kesakitan. Kecewa yang dirasakan beliau menghancurkan hati dan kepercayaan dirinya. Ketenangan yang beberapa saat lalu diperlihatkan Bunda adalah bentuk pertahanan diri beliau yang terakhir, pada akhirnya Bunda sama seperti wanita kebanyakan yang hancur saat cintanya terkhianati tidak peduli betapa tidak berharganya Ayahku."
"Bunda nggak salah, sikap Bunda menghadapi Ayah juga sudah benar. Ayah saja yang sudah gila, Bun. Tenangkan diri Bunda, jangan menangis." Membimbing Bunda aku membawa Bunda ke kamar beliau ke lantai atas, dilantai atas rumah hanya ada kamarku dan kamar orangtuaku, beserta ruang kerja Ayah, tidak mungkin Ayah membawa sundalnya ke atas. Aku ingin menenangkan Bunda, tapi aku juga dikejar waktu untuk menghentikan Ayah. "Ada Riri, Bun. Bunda tenang saja, kita akan balas semua perbuatan mereka." Ucapku penuh dengan tekad.
Persetan dengan kenyataan jika Agung Gunamarwan adalah Ayahku, aku akan mencekiknya hingga dia mati.