• DELAPAN •

1051 Kata
Sebelas hari setelah kematian Karen. Rumah Juna, Jakarta. Stella mengamati kedua gelang yang kini ia letakkan di atas meja. Gelang tersebut terbuat dari alumunium ringan dan dibeli oleh Stella ketika ia berlibur ke Yogyakarta beberapa bulan yang lalu. Stella tidak perlu repot-repot mencari tahu apakah gelang tersebut milik sahabatnya atau bukan karena dia dan Clara juga memiliki gelang yang sama dengan masing-masing nama mereka sebagai hadiah persahabatan dari Stella untuk mereka berdua.  Cewek berzodiak capricorn itu lantas menekuk dahinya dalam-dalam dan mengembuskan napasnya beberapa kali sampai membuat Juna yang duduk di sebelahnya keheranan. "Lo ngapain, sih?" tanya Juna ingin tahu. Pasalnya, sejak Stella menerima kotak biru dari Juna dan menemukan gelang milik Karen di dalamnya, cewek bertubuh langsing itu terus sibuk mengamati kedua gelang tersebut sampai melupakan Juna. Stella menoleh tajam kepada Juna. "Kenapa gelang Karen bisa ada di lo? Gue selalu ingat banget kalau dia nggak pernah lepasin gelang ini dulu," tutur cewek itu percaya diri. "Pasti terjadi sesuatu di antara kalian berdua, 'kan?" Juna memicing matanya curiga. "Sesuatu apa nih maksudnya?" "Ya, apa aja," kata Stella singkat. "Sekarang lo jelasin sama gue deh, kenapa gelang ini bisa ada di tangan lo?" Cowok berhidung mancung itu menyilang kedua tangannya di d**a dan mendecih kesal. "Lo nggak lagi nuduh gue yang ngebunuh Karen atau semacamnya, 'kan, Stell?" Namun cewek itu hanya mengedikkan bahunya dan santai berkata, "Who knows?" hingga membuat Juna kesal. Ia kemudian menarik gelang milik Karen yang sejak tadi dipegang oleh Stella. "Kok diambil?" "Karena Karen kasih gelang itu buat gue, bukan buat lo," tandas Juna ketus. Stella terdiam untuk beberapa saat. Mungkin sekitar tiga puluh detik keduanya hanya diselimuti oleh keheningan yang canggung. Sampai akhirnya cewek itu mengerjapkan kedua matanya dua kali dan tersadar. Ia kemudian membenarkan posisi duduknya sembari memasang kembali gelang miliknya yang sempat ia lepas tadi ke tangan kirinya sebelum beralih pada Juna yang tampak menyimpan gelang milik Karen kembali ke dalam kotak berwarna biru tadi. "Karen kasih gelang itu buat lo?" Juna mengangguk. "Kok bisa?" Cowok kelahiran Jakarta itu kemudian mendengus pendek dan menutup kotak biru miliknya. Menyimpannya di atas meja sehingga Stella dapat melihatnya dengan jelas. "Bukan cuma gelang. Karen juga sempat ngasih gue kaos, n****+ dan lipbalm." Stella refleks menganga tak percaya ketika mendengar barang yang terakhir disebutkan oleh Juna. "What the ... lipbalm? Really?" Juna hanya bisa mengangguk mengiyakan meski Stella memandangnya dengan tatapan jijik sekarang. "But, why? Maksud gue, dari sekian banyak hadiah cowok yang dia bisa kasih. Kenapa harus, oh my, gue aja sampai malu ngomongnya." Cowok bertubuh tinggi itu beranjak dari sofa dan menunjuk wajah Stella dengan telunjuknya. "Gue ambil dulu barang-barangnya biar lo bisa percaya. Lo tunggu aja di sini," titah Juna pada sahabatnya itu. Dan setelah menunggu beberapa menit, Juna akhirnya kembali dengan sebuah kotak biru yang lain, yang lebih besar. Cowok itu kemudian meletakkannya di atas meja dan mulai mengeluarkan satu persatu benda yang ia sebutkan tadi. Baju, beberapa n****+ bahkan pelembab bibir. "See? Gue walaupun berandalan, tapi ucapan gue selalu bisa dipercaya, Stell." Stella menelan ludahnya sendiri karena bingung harus bereaksi seperti apa. Yang jelas dia sangat syok dan benar-benar tidak habis pikir dengan tujuan Karen memberikan barang-barang tersebut kepada Juna. Juna kemudian menyodorkan salah satu n****+ bergenre misteri di antara sekian banyak n****+ lain dari Karen kepada Stella. "Karen bilang lo paling suka n****+ yang ini," terangnya. Cewek itu melihat Juna lalu ke novelnya bergantian. Ia membaca judul yang tertulis di bagian depan n****+ dan mengangguk mengiyakan. "Iya, sih. Tapi, tunggu dulu, deh." Stella akhirnya menyadari sesuatu. Seketika saat itu juga, Stella mengobrak-abrik barang di atas meja di hadapan mereka. Membuka lebar-lebar kaus dan memeriksa semua n****+ yang diberikan Karen untuk Juna. "Stell, lo ngapain? Kenapa diacak - acak begitu?" Juna menggerutu. "Nanti lo beresin lagi pokoknya, gue nggak mau tahu. Awas aja kalau lo langsung balik tanpa beresin semua barang-barang itu." Namun Stella justru menghentikan gerakan dengan tiba-tiba. Ia menatap seluruh barang-barang yang ada di atas meja dan mulai menangis. Membuat Juna merasa tidak enak dan menyesal. Mungkin Stella tidak biasa membereskan barang-barang di rumah, sampai menangis begitu saat Juna menyuruhnya membereskan semuanya. "Eh, Stell. Nggak usah nangis," kata Juna berusaha mencegah sahabatnya mengeluarkan lebih banyak air mata. "Kalau lo nggak biasa beres-beres, nanti biar gue aja. Santai aja, lo santai aja di sini." Sayangnya, Stella tetap menangis. Ia bahkan memeluk salah satu kaus berwarna putih bergambar hati kecil di bagian d**a kirinya dan mendekapnya dengan erat. "Stell, jangan nangis, dong," pinta Juna lagi. "Lo sebenarnya kenapa nangis? Gue nggak jadi nyuruh lo beres-beres, kok. Sori udah bikin lo jadi sedih gitu. Aduh, gimana ini." Perlahan, cewek itu akhirnya menoleh ke arah Juna. Menatapnya dengan mata yang sudah merah dan pipinya yang basah. Karena Stella memiliki kulit putih yang pucat, hanya dengan menangis sebentar saja, beberapa bagian di wajahnya sudah memerah. Ujung hidung salah satunya. Ujung hidung Stella memerah seperti habis dicubit atau berada di tempat yang sangat dingin karena menangis barusan dan hal tersebut justru semakin membuat Juna bingung. "Jun, kenapa Karen kasih barang-barang ini ke lo? Kenapa dia nggak bilang aja kalau dia nggak suka dan balikin semua barang ini ke gue?" Juna tertegun. Ia mencoba memahami situasinya meski tangis Stella tak kunjung reda. "Apa ini semua barang-barang lo, Stell?" tanya Juna dengan hati-hati. "Barang yang lo sengaja kasih buat Karen." "Iya, Jun." Stella menyeka kedua pipinya yang basah dan tangisnya mulai mereda. Ia tidak merasa lebih baik, tapi menangis juga tidak akan menjadi solusi apa-apa untuk mereka. "Apa lo tahu, apa alasan dia ngasih semua barang-barang ini ke lo?" "Sebenarnya ...," Juna menggantung ucapannya di udara. Tak kuasa melanjutkan kalimatnya karena Stella memandanginya dengan mata yang sedih sekarang. "Itu, sebenarnya...," "Sebenarnya apa?" desak Stella penasaran. "Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian berdua, Jun? Gue nggak peduli sekarang barang-barang ini ada di lo ataupun di Karen, tapi gue butuh tahu alasan dia ngelakuin ini sama gue. Gue harus tahu kenapa harus lo? Dari sekian banyak orang atau sahabat kita, kenapa Karen kasih barang-barang ini ke lo, Jun?" Juna menatap Stella lurus-lurus. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Karena Karen suka sama gue, Stell." Dahi Stella berkerut seketika. "Apa?" "Dia jatuh cinta sama gue. Tapi gue nolak dia karena sayangnya, gue justru jatuh cinta sama lo sejak pertemuan pertama kita. Dari awal, perasaan itu nggak pernah berubah dan Karen kayaknya membenci kita karena nggak bisa menerima perasaan gue yang sebenarnya." []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN