Keduanya tertawa lagi.
Entah karena apa. Yang jelas mereka kini dalam posisi berbaring menyamping, saling berhadapan, dan salah satu tangan saling menggenggam.
Bahagia, puas, diberkahi. Hanya tiga kata itu yang hadir di pikiran Deni.
“Kak Deni ngga ngantuk?”
“Jadi ngantuk, Li.”
Lalu kembali mereka tergelak.
Afterglow – kerap dimaknai sebagai perasaan bahagia, puas, atau euforia yang muncul setelah kejadian atau pengalaman positif. Salah satunya, perasaan yang hadir setelah berhubungan intim dengan pasangan, terlebih kali pertama.
“Masih sakit ngga, Li?”
Bukannya menjawab, Lia justru menutup wajahnya dengan kedua tangan, malu sendiri karena pakai acara menangis saat Deni mengambil mahkotanya.
Deni tergelak renyah, lalu merapatkan diri, membawa Lia dalam pelukannya. Satu tangannya menggenggam kedua tangan Lia, menyingkirkan dari paras cantik sang istri. Tak berkata apa pun, ia kembali melabuhkan ciumannya di seluruh wajah Lia.
“I love you.”
Lia tersenyum, menolehkan wajah, menyambangi bibir sang suami yang tengah mengecup pipinya. “I love you too.”
“I love you.”
Gelak riang Lia kembali terdengar, ia tau jika Deni tengah mencandainya. Jika diladeni, bisa hingga pagi mereka akan berbalas kalimat indah itu.
“Kok ketawa? Bales dong,” ujar Deni lagi.
“Habis dibalas nanti kamu bilang gitu lagi, terus aja sampai ayam kukuruyuk kita balas-balasan.”
Kali ini Deni yang tergelak.
“Kak?”
“Hmm?”
“Kak Deni udah sering kissing ya?”
“Mmm … lumayan sih.”
Lia sontak memberengut.
“Tadi kita kissing terus kan sepanjang bercinta. Kalau dihitung jumlahnya, termasuk sering ngga?”
“Kok bisa sih Kak Deni jadi dokter?” cibir Lia. Deni malah tergelak. “Lia serius sih Kak.”
“Mau kissing sama siapa emangnya kalau bukan sama kamu?”
“Mantan Kak Deni yang lain?”
“Mereka pas lihat aku pakai prostesis, misalnya saat aku lepas sebelum shalat, besoknya kalau ngga minta putus ya menghindar, Li.”
“Kok gitu?”
Deni menaikturunkan bahunya. “You stole my first kiss.”
“Sama dong,” ujar Lia, bangga, mencengir lebar.
“Terima kasih.”
“Sama-sama, Kak.”
“Lia?”
“Hmm?”
“Kamu mau pesta pernikahan yang kayak apa?”
“Emangnya kita mau bikin party?”
“Bukannya harus begitu?”
“Ngga tau sih Kak. Lia udah ngga bersemangat soal itu.”
“Li?”
“Mmm … gimana kalau kita nabung aja Kak? Siapa tau bisa beli dan renovasi mercusuar, di mana kek, jadi rumah.”
“Lighthouse home?”
“Iya.”
“Nanti … kalau kita sudah tua, anak-anak sudah mandiri, kita tinggal di sana. Kak Deni kerja di klinik atau rumah sakit dekat-dekat situ aja.”
Sungguh, senyum Deni merekah maksimal. Membayangkan apa yang barusan Lia tuturkan rasanya teramat indah.
“Lia jangan dikatain sinting, Kak.”
Deni tergelak kembali, “nggalah!”
“Abisnya Kak Deni malah senyam-senyum.”
“Aku bayangin apa yang kamu bilang.”
“Mau ngga punya masa depan kayak begitu? Kita bisa lihat sunrise dan sunset tiap hari. Nanti kita bikin deck yang menjorok ke laut atau danau gitu Kak. Kak Deni bisa sambil main gitar. Lia … foto-foto atau ngegambar.”
Deni bisa menangkap binar di kedua mata sang istri saat Lia menuturkan impiannya. Mungkin, lighthouse home itu sudah lama tertanam di pikirannya.
“Tapi lighthouse home gitu pasti mahal ya Kak?”
“Ngga, Li. Mahal bukan diksi yang tepat untuk impian seindah itu. Priceless.”
“Iya kan Kak?”
“Hmm. Nanti di rumah kita lihat-lihat gambar lighthouse home. Kita tanya Bang Dirga kira-kira estimasi bikin rumah atau renovasi berapa.
“Kak Deni kenal semua orang yang tadi datang ya?”
“Iya. Tapi belum lama juga kenalnya. Orang pertama yang aku kenal di circle itu Bang Irgi. Beliau dokter yang menyelamatkan aku waktu kecelakaan itu, Li.”
Ada banyak hal yang belum Deni ceritakan pada Lia. Terutama tentang masa-masa sulitnya setelah kecelakaan besar itu terjadi. Tentang memori sebelum hingga kejadian berlangsung, mengapa Sherry – kakak Deni – meninggal, mengapa ibu dan ayahnya bercerai, mengapa Atifa – ibu Deni – akhirnya turut pergi, bagaimana ia menjalani masa pendidikannya, dan mungkin banyak hal lain di masa lalu yang terlalu getir jika Deni kisahkan.
Sejak mereka bertemu kembali, Deni hanya menceritakan hidup yang tengah ia jalani. Tentang kesibukannya di trauma team, tentang sahabat-sahabat sejawatnya yang tak henti membuatnya kagum, tentang betapa ia kerasan bekerja di RSPI, tentang menu sarapan hingga makan malamnya, dan tentang betapa ia mencintai Lia. Seolah … masa lalunya benar-benar Deni tinggal di belakang, enggan untuk ia lihat kembali.
Lia pun tak berani bertanya. Melihat Deni yang sekarang saja ia sudah sungguh bersyukur. Masa-masa sulit itu, sungguh tak terbayangkan oleh Lia.
“Deni ngga ada yang mau diceritain lagi ke Lia?”
Deni paham, adalah bagian hidupnya sebelum mereka kembali bertemu yang Lia tanyakan.
“Ngga.”
Dan Lia paham, Deni tak ingin goresan lukanya dikorek kembali.
“Kapan pun Deni butuh teman cerita, ingat Lia ya? Cerita apa pun boleh. Lia pasti dengarkan. Kalau Lia lagi sibuk, nanti Lia berhenti sejenak, dengarin Deni dulu. Atau semisal ngga bisaaa banget kerjaan Lia di-pending, nanti kita ketemuan ya? Khusus buat cerita-cerita.”
Deni tak menuturan lisan, hanya menatap teduh sang kekasih, lalu mengangguk.
“Ketemu lagi di RSPI Kak?”
“Iya. Lebih tepatnya, tahun terakhir di Singapura aku mulai nyari-nyari keberadaan beliau. Bang Irgi salah satu orang yang berjasa di hidupku. Ngga cuma menyelamatkan aku, tapi juga ngasih aku semangat dan motivasi untuk ngga terperangkap di status disabilitas yang aku sandang. Saat itu beliau ngga tau siapa aku secara pribadi, tapi beliau tetap dengan tulusnya nyemangatin aku, Li. Begitu aku tau beliau adalah Direktur Utama RSPI, aku langsung pulang, ngurus SIP di sini. SIP keluar, aku masukin lamaran ke RSPI yang kebetulan juga mereka lagi open recruitment nakes untuk di trauma team, termasuk Spesialis Bedah Umum.”
Lia fokus menyimak. Senyum simpulnya masih terpatri, memandang kagum pada sang suami.
“Ngga disangka, aku lolos seleksi berkas. Kamu tau ngga kenapa aku bisa lolos?”
Lia menggeleng.
“Aku ngirim video salah satu operasi yang aku lakukan. Terus aku bilang, kalau adu lari mungkin aku kalah, dan aku percaya kalau para perawat dan dokter di team trauma banyak yang bisa berlari kencang. Tapi, kalau di ruang tindakan, aku pastikan tanganku bergerak cepat dan akurat.”
“HR langsung percaya dong karena video itu Kak?” Arah pembicaraan mereka pasti ke sana kan?
“Iya, Li. Alhamdulillah.”
“Tapi ngga apa-apa ya Kak bikin video gitu?”
“Ngga apa-apa. Kan ngga ada logo rumah sakit, ngga ada wajah yang terlihat juga kecuali aku. Waktu bikin itu pun aku udah ijin sama Rumah Sakit dan konsulenku. Tujuannya juga bukan untuk komersil atau flexing. Murni untuk portfolio. Videonya juga aku combine sama video aku pas lagi latihan bedah gitu, Li.”
“Kereeen! Lia mau ah lihat videonya. Ada di rumah ya Kak?”
“Iya. Ada.”
“Terus, waktu ketemu sama Bang Irgi di RSPI, beliau masih ngenalin Kakak?”
Senyum Deni mengembang sempurna. Ia lalu mengangguk tegas. Nampak kedua mata Deni berkaca-kaca. Ah, pasti moment itu begitu haru baginya.
“Ngga mudah menjadi orang dengan disabilitas, Li. Terlebih profesiku adalah dokter.”
“Iya, Kak. Lia aja ngga bisa ngebayangin gimana beratnya jadi Kak Deni.”
“Kalau ngga dicuekin, dianggap ngga ada, ya dipandang sebelah mata. Sehebat apa pun aku. Residen lain begitu tahun terakhir pendidikan sudah tau mau ke mana. Cuma aku yang belum. Itu ngga termasuk cibiran-cibiran yang mereka omongin di belakangku dan langsung diam pas aku muncul. Tapi, di RSPI aku ngga alamin itu, Li.
“Kalau aku masuk ruang dokter, pasti mereka nanya; ngga tugas Dok? Ngga ada tindakan Dok? Habis operasi Dok? Sudah makan Dok? Yang ujung-ujungnya, begitu mereka tau aku lagi istirahat, pasti bilang; buka aja Dok prostesisnya. Dan bakalan ada salah satu yang bawain kompres buat ngilangin rasa ngga nyaman di kakiku. Itu dari pertama aku di sana, Li. Dan belum pernah aku dengar orang bicara di belakangku. Kalau ada yang mau mereka sampaikan ya mereka pasti ngomong langsung. Ngga ngerti sih gimana caranya habit itu bisa berkembang. Kalau dulu aku selalu takut ditolak, di RSPI aku justru takut ninggalin mereka.”
“Keren iiih. Rezeki ya Kak?”
“Iya, Li. Rezeki aku.”
Keduanya sama-sama mengeratkan rengkuhan, berciuman singkat sekali lagi sebelum akhirnya tenggelam dalam lelap.
***
Esok harinya.
Tadinya, penikahan Lia dan Burhan akan diadakan pukul sembilan pagi. Namun, pukul 8:30 wib tadi Lia dan Deni baru meninggalkan apartemen yang mereka tempati semalam. Bontelah pengendara sedan yang membawa keduanya. Sementara itu, satu unit SUV berisi lima orang anak buah Bonte mengikuti tepat di belakang. Mereka berangkat setelah Andra mengabarkan jika orang-orang suruhannya juga sudah berjaga di sekitar kediaman Lia. Ya, hanya berjaga, karena tak ada yang tau senekat apa Kakek Tua mata keranjang yang ngotot harus menikahi Lia.
Sekitar satu jam kemudian, Bonte selesai memarkir sedannya. Pun SUV para tukang pukul mengambil posisi di belakangnya. Lia tampil sungguh cantik pagi itu, dengan sebuah gaun brukat tanpa lengan, sepanjang tepat di lutut, berwarna nude. Deni pun nampak teramat gagah di balik setelan resminya yang berwarna senada dengan gaun Lia. Dariel dan Aluna bilang, pernyataan terlantang harus dikemukakan dengan penampilan yang sempurna. Ya, Deni dan Lia sudah bertekad, dunia harus tau jika keduanya saling memiliki.
“KAK LIA PULANG! KAK LIA PULANG!” pekik seorang bocah, lalu beberapa saat kemudian diikuti kawan-kawannya.
Tak seberapa lama, Haya nampak melongok dari pintu utama rumah itu. Ia kemudian melangkah tergopoh tanpa alas kaki, melewati teras yang luasnya tak seberapa sebelum akhirnya muncul di depan pagar. Penampilannya sudah paripurna, mungkin ia seyakin itu jika sang putri pasti menuruti maunya.
“Ayo, Lia. Kamu sudah terlambat, Nak!” ujar Haya seraya meraih tangan Lia. Ia tak menghiraukan keberadaan Deni. Sosok Deni bagaikan tak tertangkap titik pandangnya.
“Lia tidak akan pernah menikah dengan b******n tua itu, Ibu!” ujar Lia. Ia tak memekik, namun karena ketegasan di warna suaranya, tentu saja kalimat penolakan itu menyapa pendengaran mereka yang berada di dalam rumah.
“JAGA OMONGANMU LIA!” pekik Haya. Muntab. Sudahlah dibuat khawatir, masih pula disiram penolakan.
Lia diam saja. Pun Deni tak bersuara, ia justru memindahkan genggaman tangan mereka, sementara tangan yang tadi bertautan dengan jemari Lia, kini merangkul pinggang sang istri.
“LEPASKAN ANAK SAYA! DASAR TIDAK TAU DIRI! LAKI-LAKI CACAT SEPERTIMU TIDAK PANTAS UNTUK ANAKKU! b******k! PERGI!” berang Haya lagi.
“Berhenti, Bu!” tangis Lia. “Berhenti! Lia mohon,” pintanya.
“Ibu tidak akan pernah merestuimu dengan dia!”
“Kenapa Bu?”
“DIA CACAT!”
“IBU!”
“BERANI KAMU MEMBENTAK IBU?”
Entah dari mana datangnya, satu tangan mencengkeram pergelangan tangan Lia yang sebelumnya digenggam Haya. Burhan menarik Lia dengan cepat dan kasar hingga genggaman Lia dengan Deni terlepas.
“HEY!” pekik Deni.
Haya pasang badan, mendorong Deni dengan sekuat tenaganya. “PERGI KAMU b******k!”
“Ibu …” lirih Deni.
Belum sempat Deni menuturkan penjelasan, pekikan Lia terdengar lantang. “LEPAS! JANGAN SENTUH SAYA!”
Burhan tak peduli.
Terpicu amarah, Lia memutar lengannya, memaksa Burhan otomatis berdiri menghadapnya. Dengan geram yang sudah memuncak, lutut Lia pun terangkat tinggi. ‘Bugh!’tempurung itu berlabuh di kelamin Burhan.
Kedua netra Burhan sontak membelalak, mulutnya menganga, pun kedua tangannya kini memegangi peralatan tempurnya, takut tercecer mungkin.
“LIA!” pekik Haya. Sang ibu melangkah cepat. Hanya tersisa satu langkah, ‘PLAK!’ tamparan mendarat. Namun, bukan di pipi Lia, melainkan di rahang Deni yang syukurnya sempat menarik sang istri dan mengantikan posisi. “BRENGSEEEK!”
Napas Haya tersenggal-senggal, mukanya semerah lava, tatapannya sesadis pembunuh.
Bonte dan anak buahnya merapat, juga para suruhan Andra yang menyisip di antara tamu-tamu. Berbaris mengitari Deni, Lia, Haya, dan Burhan.
“Saya tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti istri saya!” tegas Deni.
Haya sontak membelalak. “Apa?”
“Aku yang menikahkan mereka,” jelas Hansa yang memang sudah datang sejak pagi tadi. Ia mengikuti scenario yang sudah disusun saat akad nikah Lia dan Deni kemarin. Agar tak ada kecurigaan dan kehebohan yang berkembang tak terkendali, Hansa harus memenuhi undangan dan bersikap tak mengetahui apa pun.
Ternyata yang Hansa duga benar adanya. Haya khawatir mengatakan pada Burhan jika Lia menghilang. Jadi, ia hanya berupaya semampunya mencari Lia dan berharap sang putri pulang sebelum akad nikah dilangsungkan. Betul memang, Lia pulang, namun bukan untuk menikah dengan Burhan.
“Pengkhianat!” geram Haya pada Hansa.
“Kamu yang pengkhianat! Di mana otakmu? Menikahi putriku dengan laki-laki yang lebih pantas jadi ayahnya? Kenapa bukan kamu saja yang menikah dengan laki-laki tak beradab itu?”
“DIAM! DIAM KAMU!”
“Berhenti berteriak, Bu,” lirih Lia.
“Keterlaluan kamu Lia! Kamu akan menyesal!”
“Penyesalan apa yang bisa Lia dapatkan selain Ibu Lia menjual Lia pada laki-laki tidak tau diri?”
“LIA!”
“Ibu yang keterlaluan! Lia kecewa sama Ibu. Kalau memang ada masalah berat yang Ibu hadapi, kenapa Ibu ngga cerita pada Lia? Kenapa justri Ibu menjerumuskan Lia pada pernikahan yang tidak Lia inginkan? Ibu bilang Lia satu-satunya orang di dunia ini yang bisa Ibu andalkan, tapi Ibu menjual Lia! Ibu bohong! Apa Ibu tidak pernah memikirkan perasaan Lia? Apa Ibu pernah bertanya kenapa Lia sendiri selama ini? Apa Ibu peduli? Apa Lia benar anak Ibu? Bukan Lia yang akan menyesal, tapi Ibu. Dan jangan lagi Ibu menghina suami Lia! Lia mencintainya, ia imam Lia, dan Deni pilihan Lia, sedari dulu!”