"Sering-sering begini, ya, Buk…" Terdengar suara manja menyebalkan ketika aku hendak naik mobil. Ya, suara siapa lagi kalau bukan suara Arsyi.
"Begini gimana maksudnya?" Arsyad secara ketus langsung menyambar.
"Ya itu, si culun kacamata, sering-sering aja dia didandanin kek begitu. Jadinya kan, nggak bikin malu. Apalagi ini acara penting," komentarnya lagi seakan aku tidak mendengar ucapannya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tidak tersulut emosi karena ocehan kakakku yang memang kalau bicara tidak pernah dipikir dulu. .
"Hei! Bodoh!" tegur Arsyad. Kali ini dia benar-benar meledak. Hingga satu k********r terucap dari mulutnya.
Aku duduk di bangku belakang, mengeluarkan headset dari dalam tas dan memasang headset di kedua telinga. Beberapa saat kemudian, terdengar pintu tertutup lalu mobil mulai berjalan. Lagu Bob Dylan mengalun di telingaku. Aku memasang volume terbesar. Di saat gugup seperti sekarang ini, aku lebih suka mendengarkan lagu dengan volume keras. Dengan begitu aku tidak bisa mendengar apa pun dari luar kecuali suara lagu dan suara batinku sendiri.
Kalau diberi pilihan, aku lebih baik kembali ke Malang—meski sendirian di rumah dan diberi setumpuk soal Sejarah daripada harus berdiri di atas karper merah sambil nyengir hingga gigi kering atau pipi pegal karena kebanyakan senyum. Mana mungkin seseorang akan memasang wajah kesal saat berjalan di atas karper merah. Memang tak ada imperatif etis yang mengharuskan orang untuk memperlihatkan keanggunan dan keceriaan saat berjalan di atas karpet merah, tapi ini sudah menjadi nuansa yang telah diturunkan secara budaya sejak lama.
Tapi, tunggu… Sepertinya, setelah aku pikir-pikir. Ada bagusnya ketika aku memasang wajah masam saat berjalan di atas karpet merah. Pasti nanti ada media yang menjadikan aku sebagai sorotan utama. Boleh juga dicoba.
Oke, aku sebaiknya berhenti memikirkan hal aneh seperti itu. Aku tahu kalau ini pengalihan isu dari rasa gugupku.
Aku melihat bangunan-bangunan klasik bernuansa keraton di pinggir jalan. Dan tak sedikit di sana ada banyak gedung-gedung tinggi yang menjulang-- Yudhistira Apartment, Malioboro City Core Condotel, dan masih banyak lagi. Degup jantungku berdetak lebih cepat setiap mobil terasa melambat. Padahal, bukan karena akan berhenti, melainkan karena ada kemacetan atau ada lampu merah.
Dan lima belas menit kemudian, mobil benar-benar berhenti. Aku membeku di tempat ketika aku melihat betapa banyaknya orang di luar sana. Di sekitar mobil kami sudah banyak reporter dengan mic dan kamera. Tanpa sadar, aku mematikan iPodku. Suara-suara langsung menyusup masuk ke telingaku. Ternyata sangat berisik. Ini masih di dalam mobil, apalagi kalau sudah keluar.
"Arsyad! Tunggu!!! Aku masih benerin rambut ini. Kau nggak sabaran banget, sih," omel Arsyi sambil sibuk membenarkan rambutnya yang masih acak-acakan.
"Siapa yang mau buka pintunya sih, makanya buruan. Kasian tuh udah pada nunggu di luar," kata Arsyad sambil diam diam melirik cermin. Aku mengulum senyum melihat tingkah Arsyad yang kadang seolah olah terbengkalai pada urusan penampilan, namun faktanya dia sangat rishi perihal penampilan ketika menjadi urusan yang tak pernah dipersoalkan.
"Sempurna!" pekik Arsyi sambil menyambar tas kecilnya, "rasanya udah lama banget kita nggak menginjak karpet merah…"
"Kau itu kadang kelihatan high class, tapi semua itu patah akibat ucapanmu barusan yang norak," ejek Arsyad, dia memang paling pintar kalau merancang sindiran-sindiran keras. "Eh, Arum, sini jalan bareng. Aku khawatir kau pingsan kalau jalan sendirian di belakang. Nanti aku yang repot."
Aku segera mendekat ke Arsyad dan berjalan bersamanya. Sementara Arsyi sudah lebih dulu berjalan di depan. Setiap kamera menyorot. Kilauan lampu blitz membuatku memejamkan mata. Silau. Kemudian terdengar pekikan beberapa reporter yang menyebut nama Arsyad. Dan ada di antaranya yang menyelipkan sebuah pertanyaan awam. Siapakah gadis yang tengah bersamanya?
"Apa gadis ini yang disebut-sebut waktu itu, Arsyad?" tanya perempuan itu.
"Apa gadis ini pacarmu?"
"Apa kau sengaja menunggu momentum ini untuk membawa pacarmu?"
Pertanyaan-pertanyaan itu terlalu berlebihan. Aku baru menyadari kalau suatu urusan yang sebetulnya dianggap privasi oleh seseorang, terasa hal biasa dan remeh bagi awak media. Bisa tidak kalau mereka hanya menunggu pamerannya mulai saja? Ini terlalu berlebihan dan melanggar privasi orang.
Arsyad mengenggam tanganku yang mulai berkeringat. Hebatnya dia, dia tak memberikan satu komentar pun, hanya berjalan dan tersenyum—mungkin ini sudah menjadi kebiasaan buat dia. Melihat seorang Arsyad mulai memasuki karpet merah, para penggemar perempuan langsung menjerit histeris sambil meneriakkan namanya. Setelah berpose ria selama beberapa saat, Arsyad melepaskan genggamannya padaku dan mengajakku untuk berhenti sebentar. Dia berjalan mendekati sisi kanan karpet merah tempat banyak perempuan yang sudah histeris.
Para perempuan itu mendesak, dan langsung menghadang jalan kami. Ada yang langsung menyodorkan beberapa benda untuk diminta tanda tangan oleh Arsyad. "Kau bisa menandatangani bajuku?"
"Tentu," kata Arsyad.
Sambil menandatangani baju penggemarnya itu, dia bertanya, "Apa kau bolos sekolah?"
Sejenak, wajah perempuan itu langsung kelihatan panik. Aku tahu kalau dia ada di antara dua keputusan penting. Berbohong untuk menjaga citranya di depan idolanya, atau memilih jujur dengan mengakui kalau dia bolos sekolah, tapi dia siap tidak siap mendapat kesan negatif dari Arsyad.
"Enggak. Udah pulang, soalnya gurunya rapat," kata perempuan itu.
Nah, kan. Selamat dia hari itu.
"Terima kasih," pekik perempuan itu usai Arsyad memberikan tanda tangannya. Tanpa sadar aku tertawa melihat antusias para perempuan itu. Lucu sekali. Melihat wajah mereka yang merekah, kegirangan mereka, menurutku, hidup Arsyad pasti berwarna sekali.
"Kamu kenapa tertawa begitu?"
Aku menoleh ke sumber suara itu. Seorang perempuan, ekspresinya datar, sangat tidak bersahabat. Dia menergurku secara tidak sopan. Untuk kota setenang dan seindah Yogya, dia termasuk Aseton kecil yang berlindung pada reputasi kesantunan masyarakat Yogya. Atau mungkin dia seorang perantau, aku tidak tahu. Yang jelas, dari caranya menegur dan mengekspresikan pertanyaannya itu sangat tidak sopan.
Sementara aku cuma bisa melongo.
"Dan kau siapa sehingga bisa datang sama Arsyad?" lanjutnya sambil menunjuk Arsyad.
Gila, sikap overprotektifnya itu membuat aku sampai mengira kalau perempuan itu pacar Arsyad.
"Aku?" tunjukku pada diriku sendiri."Ya, jelas aku datang sama dia."
"Memangnya kau siapa Arsyad?" Nada perempuan itu semakin sengak.
"Aku…" Baru saja aku mau memberitahu perempuan itu kalau aku adalah adik Arsyad, tapi Arsyad tiba-tiba datang dan menyergah percakapan kami. "Dara?" katanya.
Dara? Oh, jadi Arsyad kenal sama perempuan nggak sopan ini? Batinku.
"Arum… Kenalin, ini Dara, adiknya Kevin."
"Kevin yang waktu itu?"
Arsyad mengangguk.
"Dara, kenalin, ini Arum, adikku." Arsyad mengenalkanku pada perempuan yang jelas-jelas aku tidak butuh mengenalnya.
Gemericik suara kamera, dan kilauan lampu blitz yang semakin membuatku tidak nyaman. Sementara Arsyad dan Arsyi di sebelahku berpose meladeni awak media dengan luwes. Sedang diriku tersorot dengan ekspresi wajah yang memalukan.
"Oh, jadi ini toh, anak bungsu keluarga Prima..," kata seorang reporter usai mengambil beberapa potret gambar kami.
"Ya," jawab bapak sambil tersenyum.
"Ada alasan mengapa dia baru muncul sekarang?" tanya reporter lain.