Empat

1086 Kata
Sesuai yang kita perjanjinkan sebelumnya. Aku berdiri di dekat loker Gea. Tapi aku belum menemukan batang hidungnya hingga kini. Aku memeriksa ponsel, memberikan dia pesan melalui SMS, tapi tidak kunjung ada balasan. Aku memutuskan untuk tetap menunggu, bersandar di loker dan membiarkan mataku ini melihat para murid lain berjalan lalu lalang. Dan aku merasa ada yang aneh saat kerumunan murid itu. Mereka terlihat seperti sedang membicarakan diriku. Ini bukan berarti aku kepedean atau apa, aku tidak pernah merasa seperti itu. Namun memang aku merasa ada yang aneh. Sebab, selain Arsyi dan gengnya, tak ada murid lain yang memiliki hobi membicarakan diriku. Seharusnya sosok Arum Chandara Prima tidak terlihat di mata mereka. Tak ada selain orang yang aku sebutkan di atas. Dan ya, agak berbeda dengan suasana di sekolah hari ini sebab Arga sudah mengetahui tentang namaku. Mengingat kejadian semalam, rasanya aku ingin sekali untuk menjadi benar-benar tidak terlihat. Mata Arga seolah tidak pernah tidak pergi dari ingatanku, kecuali saat ibu atau Arsyi mengajaknya berbicara. Yang agak asyik ya justru sikap Arsyad. Dia lebih memilih bergurau denganku daripada antusias dengan laki-laki itu. Mungkin salah satu alasan dari sikap Arsyad itu karena Arga yang sering sekali menginjak-injak nama OSIS dengan membuat keonaran di sekolah. Hal ini yang membuat Arsyad sama sekali tidak respek terhadap Arga yang menurutnya menyebalkan itu. Tapi yang membuat diriku 'agak' merasa tenang yaitu saat di kelas, dia tidak membahas soal kejadian semalam sama sekali. Dia melihat ke arahku beberapa kali, aku juga sempat membalas tatapannya sekilas. Ini benar-benar membuat diriku merasa tidak nyaman. Sebab ini berbahaya. Tidak ada satu pun orang yang mengetahu bahwa aku satu rumah dengan seorang Arsyi Darmawangsa Prima, apalagi mengetahu bahwa aku ini adalah adik kandungnya. Ketakutanku ditambah dengan mengetahu bahwa mulut Arga itu sangat mudah bicara yang tidak-tidak, dan ini sangat potensial jika dia menyebarkan siapa aku dan Arsyi. Meskipun ini bisa dianggap sebagai hipotesa awalku saja, tapi tingkat akurasinya bisa lebih dari lima puluh persen. Kembali ke topik aku sedang di loker. Ya, tidak hanya di loker dan kelas saja aku merasakan keanehan, tapi di kantin juga. Apalagi saat aku berjalan ke kantin bersama Darsam, setiap murid yang ada di kantin memandangku dari bawah sampai atas. Tatapan mereka sulit untuk aku maknai. Menyimpulkan tatapan mereka kosong, tapi seperti penuh isi. Begitu aku menafsirkan isinya apa, aku hanya menemukan kekosongan. Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki. Aku langsung menoleh ke arah kanan dan melihat pemandangan yang cukup mengejutkan. Gea muncul di ujung lorong dengan tubuh berbalit cairan putih, tidak terlihat jelas, tapi aku yakin kalau ada air mata yang membanjiri pipinya. Lalu spontan aku langsung menghampirinya. Tapi aku mendadak berhenti mematung saat Gea mengangat tangannya padaku, seolah memintaku untuk tidak mendekat. "Kenapa?" tanyaku. "Arsyi…" Nada bicaranya langsung terdengar tidak enak. Aku mengerti apa maksud Gea. "Lagi?" "Ya, dan ternyata nggak cuma dia saja. Para penggemar Arsyad juga mulai ikut-ikutan. Aku sama sekali nggak ngerti, padahal aku sama sekali nggak kenal sama Arsyad." "Penggemar Arsyad?" tanyaku kaget. "Aku sempat dengar mereka bilang 'tinggal berdua'. Aku nggak tahu pasti apa, aku nggak begitu dengar. Tapi, aku cuma mau bilang agar kau lebih berhati-hati setelah ini. Bisa jadi target berikutnya adalah kau." Ini agak aneh. Kata-kata 'tinggal berdua' itu seolah menuju ke arah tinggal dua orang target setelah peristiwa Gea ini. Sebab kalau dimaknai 'tinggal berdua' itu Arsyi dan Arsyad adalah satu saudara yang tinggal satu rumah, tidak mungkin juga. "Em… Em… Em…" Terdengar gumaman perempuan. Aku menoleh sedikit dan mendapati Vita. Salah seorang regu pemandu sorak, yang digadang-gadang akan menjadi pengganti kapten regu. Menurut isu yang kudengar, dia sangat menyukai Arsyad. Dan aku sering menerima telepon rumah darinya, yang selalu aku jawab dengan ketus. Aku sama sekali tidak setuju apabila Arsyad bisa punya pacar sepertinya. Jangankan pacar, untuk menjadi teman dekatnya saja aku tidak rela. Kayak tak ada yang lain saja. "Kau yang namanya Arum, kan?" tanyanya agak sinis. Aku cuma berupaya untuk menatapnya saja, tapi akhirnya tetap mengangguk juga. "Heran, kenapa juga Arsyad mau dekat sama orang seperti dia…" Terdengar gumaman perempuan yang ada di belakangnya. Aku nggak ngerti mereka sedang membahasa apa dan ke mana arahnya. Kenapa juga menghubungkan diriku dengan Arsyad. "Aku nggak paham maksud kalian apa…" "Jangan berlaga bodoh gitu deh. Semua orang udah tahu hubunganmu sama Arsyad." Ah, aku baru mengerti. Di setiap koridor, kantin, mereka-mereka sedang membahas soal aku dan Arsyad. Dan kenapa justru Arsyi yang bertindak? Aku bisa menebak alasannya. Sebab dia ingin memberi peringatan padaku kalau jangan sampai hubunganku dengan Arsyad tersebar luas. Dan sialnya, Gea yang sebetulnya tidak tahu apa-apa justru terkena imbasnya. Aku sudah nggak bisa berekspektasi apa-apa saat Vita bilang, "Kau pacaran dengan Arsyad bukan? Sudahlah, tak perlu lagi menutup-nutupi itu semua." Apaan? Ini sesuatu yang aku hindari. Aku berusaha untuk membuat semua keadaan agar tidak semakin runyam. Tapi yang aku temui selalu sesuatu yang menyudutkanku. Tapi mendengar tuduhan itu, justru aku nggak merasa kesal, malah tertawa. Dan itu sangat berhasil membuat Vita dan kawan-kawannya terlihat kesal. "Kenapa ketawa segala… Ah, aku tahu maksud kenapa Arsyi mencoba mengusikmu, karena dia pun juga nggak rela orang sepertimu bisa dekat dengan Arsyad." Sial. Tawaku berhenti. Sebenarnya tidak masalah kalau dia merendahkanku sedemikian rupa. Tapi karena secara tidak langsung dia juga menjelekkan Arsyad dengan menganggap selera Arsyad rendah. "Memangnya kenapa kalau aku ada hubungan sama Arsyad? Lagian, kok bisa sih kalian beranggapan seperti itu, dapat info dari mana pula?" "Arga…" Tercetuslah omongan Vita dan kalimat setelahnya sudah tidak aku dengarkan lagi. Senyum sinis langsung terukir di sudut bibirku. Aku tidak menyangka bahwa informasi yang tersebar justru seperti ini. Aku mengira, toh kalau tersebar mungkin informasi mengenai aku adalah adik Arsyad. Namun Arga… b*****h itu. Malah bilang kalau aku pacar Arsyad. Benar-benar gila. Bagaimana bisa Arsyad pacaran dengan adik kandungnya sendiri. Yang benar saja. "Aku tidak mengira otak kalian sedangkal itu hingga mudah percaya ucapan orang. Memangnya sudah berapa lama kalian berguru denga Arga sampai segampang itu percaya dengan ucapannya? Ya bukan apa-apa. Aku cuma mau bilang kalau informasi itu tidak benar. Aku sama Arsyad tidak ada apa-apa." Suasana tiba-tiba menjadi hening sejenak. "Bohong!" Sebuah suara muncul membongkar keheningan. "Kalian juga jangan bodoh dengan begitu mudahnya apa kata Arum. Aku sama dia memang ada apa-apa. Dan apa yang ada di rumor itu memang benar kalau kita tinggal satu rumah." Benar-benar ketidakterdugaan yang tidak aku harapkan. Arsyad tiba-tiba muncul dan membuat kami saling ternganga satu sama lain. s****n si Arsyad ini, dia seolah-olah menganggap posisiku ini enteng saja. Meskipun aku tidak menyalahkan ungkapannya itu—karena aku mengapresiasi sikap blak-blakannya yang mengakui aku sebagai adik kandungnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN