Satu bulan kemudian, kehamilan tujuh bulan.
“Tris?”
“Apa?”
“Road trip dong, Tris?”
Tristan berdecak.
“Apaan? Jangan kayak nenek-nenek lo misuh-misuh aja! Ngomong!”
“Mau gue hina tapi bumil! Susah banget hidup gue sejak ketemu lo, Mit!”
Tak hanya aku yang tergelak, namun juga Iram dan Storm. Kata Mama, adik-adik Tristan itu tidak terlalu sering meninggalkan rumah sejak aku menjadi tetangga rusuh. Entah apakah itu berarti baik atau justru sebaliknya.
“Ya, Tris? Road trip dong,” pintaku seraya mencubit pipinya. “Sebelum gue lahiran. Siapa tau jadi happy moment terakhir gue.”
Tristan mengulurkan tangannya, meraup wajahku. Otomatis aku melepas cubitanku dari pipinya, menepuk-nepuk lengannya.
“Banyak-banyak istighfar lo! Asal bunyi aja kalau ngomong!” omelnya, baru setelahnya mengusaikan keusilannya.
Aku berdecak, lalu menolehkan wajah kembali, menikmati pemandangan kota Auckland di balik kaca jendela.
“Mau lo, Ram, Storm?” tanyanya seraya melirik ke kaca spion tengah.
“Sepertinya tidak bisa. Jadwal terbangku penuh sampai Januari,” jawab Iram. “Tidak ada hari libur yang cukup panjang untuk road trip.”
“Kau, Storm?” tanya Tristan ke si bontot Weren.
Aku menoleh ke belakang, mendapatinya menggeleng.
“Sampai Februari, aku juga tidak punya waktu sebanyak itu, Bang,” ujar Storm.
“Memangnya kau punya agenda apa?” tanyaku.
“Mencari pacar, in case kau tidak memilihku.”
Aku terkekeh, begitu pun Iram, sementara Tristan justru berdecak.
“Pergi saja dengan Abang. Lagipula, energinya pasti habis untuk mengawasimu. Jika mengajakku dan Iram bisa-bisa ia depresi!”
“Kenapa?”
“Kau kan galak dan susah diurus, ma’am.” Iram yang menjawab tanpa dosa.
Aku mendengus. Menyebalkan sekali memang mulut pria-pria bermarga Weren ini! Saat akan berbalik hadap, pandanganku tak sengaja melihat Tristan yang tengah menahan senyuman. Ih, kenapa coba ini orang?
Tristan punya campervan. Hadiah dari Dad. Kata beliau, imbalan untuk ngga lagi merantau jauh-jauh. Begitulah orangtua ya, maunya dekat anaknya terus. Kalau jauh, meski tidak diunjukkan, rasa rindu di hati tak ada habisnya.
Yang aku bingung adalah Dad itu jarang sekali meninggalkan rumah. Memang sih ada ruang kerja di kediaman mereka dan setiap hari pasti ada saja yang datang berkunjung. Tempat tinggal itu sungguh tak pernah sepi. Kontras dengan villaku yang hanya diisi aku seorang.
Kembali ke campervan … jadi, untuk test drive, kami berempat berputar-putar mencari jajanan lebih dulu sebelum bermuara di Ambury Park Campground. Jarak aslinya cuma sekitar 15 sampai 20 menit berkendara dari rumah kami di Mangere. Hanya saja, karena tadi kami banyak mampirnya, baru satu setengah jam kemudian kami melewati gerbang bumi perkempingan di tepi barat daya Auckland ini.
Kami disambut luasnya padang rumput nan hijau dengan langit biru yang terbentang tanpa batas di atasnya. Pepohonan besar memberikan naungan yang meneduhkan di beberapa area. Tenangnya perairan Teluk Manukau bak permadani di kejauhan. Hembusan angin membawa aroma laut yang khas, menggoda rerumputan saat menyentuh daratan, menciptakan perpaduan kesejukan dan wangi alam terbuka yang begitu menyegarkan.
Tiba di kavling yang kami booking, Tristan dan Iram menghubungkan campervan ke daya listrik lalu mengatur area camping dari mulai pasang tenda, menata meja dan kursi, serta peralatan lainnya. Setelah listrik mengalir di dalam van, aku beranjak ke dapur, bersama Storm hendak menyiapkan makan siang kami.
Storm membuka jendela dapur, sementara aku mengenakan apron, merapikannya. Di seberang sana, terpisah beberapa langkah, Iram sibuk dengan kamera, mengatur sudut pengambilan gambar yang sempurna. Tristan, sepertinya tidur. Ia berbaring di atas lounger, matanya tertutup kacamata hitam.
“Coba tebak?” ujar Storm tiba-tiba, menghentikan gerakanku yang hendak meraih pisau dan cutting board.
“Apa?” tanyaku, penasaran.
“Menurutmu, Abang tidur atau menatapmu?”
Aku sontak tergelak. Ada-ada saja Storm ini.
“Kenapa kau tertawa?” Storm menatapku dengan alis terangkat, sedikit tersenyum.
“Karena pertanyaanmu konyol.”
“Tidak. Memangnya apa yang konyol dari menatapmu? Tidak ada yang salah denganmu. Semua normal.” Ia mengatakannya dengan serius, membuatku menghela napas panjang. “Apa?” tanya Storm lagi.
“Mana yang mau dimasak?” balasku, malas menanggapi pertanyaannya.
“Kau turun saja sana!” Storm mendorongku pelan ke arah pintu van.
“Kenapa?”
“Tidurlah bersama Abang.”
“Kau gila?” Aku auto ngegas.
“Tidak. Lihatlah, Iram sudah pergi,” tanggapnya tenang sambil melirik ke arah lounger yang kini kosong.
Aku bahkan tidak sadar sejak kapan Iram meninggalkan lounger-nya.
“Pikiranmu yang gila, bumil,” sambung Storm lagi sembari terkekeh.
Aku bersikap tak acuh, menutup rasa malu. “Bahasa Indonesia mu bagus. Kenapa jarang digunakan?” tanyaku kemudian, mengalihkan pembahasan.
“Menurutmu begitu?” Ia menaikturunkan bahu, ekspresi tengilnya nampak nyata.
Aku mengangguk-angguk, mengisyaratkan persetujuan.
“Aku dan Iram tidak se-fluent Abang,” jawab Storm seraya memutar sendok kayu di tangannya.
“Kenapa kau memanggil Tristan – Abang, tapi pada Iram kamu menggilnya tanpa embel-embel?”
“Karena Iram tidak suka dipanggil Abang.”
“Hanya itu?”
“Lebih tepatnya; aku akan membunuhmu jika memanggilku Abang!” ujar Storm, meniru cara bicara Iram dengan sempurna. Aku tergelak menanggapi. “Sana pergi! Dapur ini sempit, maksimal dua orang.” Maksud Storm, aku dan janinku kan dihitung dua, sama dia ya jadinya bertiga.
“Kau mau masak apa?”
“Mita ….”
“Oke! Aku keluar.”
Aku berbalik, Storm mengantarku hingga ke pintu, memastikan aku turun dari van dengan aman.
“Kau mau masak apa?” tanyaku lagi, belum menyerah.
“Cheesy asparagus one pot orzo dan sate ayam. Sana, nikmati waktumu, bumil.”
“Terima kasih.”
Langkah ini kubawa menjauh, beranjak ke lounger di mana Tristan berada. Sampai berdiri di sampingnya, aku masih penasaran apakah ia tidur atau menatapku seperti yang Storm katakan. Usil, aku mengintip ke balik kacamata hitamnyanya.
Fiuh! Ngga mungkinlah Tristan ngelihatin gue. Dia kan masih waras. Hanya pria gila yang mau menatap janda hamil!
Aku bersandar miring ke kepala lounger, mencoba menemukan posisi yang nyaman. Aku bergerak-gerak gelisah. Sepertinya aku harus mengambil bantal di van. Namun, saat aku menegakkan punggung, Tristan memindahkan bantal yang digunakannya ke balik punggungku.
“Lo udah bangun?” tanyaku heran.
“Hmm. Ada bumil rusuh gimana gue ngga bangun?”
“Pinjam Tris.”
“Pake aja.”
“Bukan bantal aja.”
“Apa lagi?” Tristan membuka sedikit kacamatanya, menatapku dengan mata yang segar.
Kok aneh ya? Bukannya orang bangun tidur matanya sayu? “Kacamata,” jawabku.
“Kok lo jadi celamitan sih, Mit?”
“Pelit banget najis!” omelku.
“Si Oneng! Lagi hamil kerjaan lo mengumpat mulu! Tercemar pendengaran anak gue!” omelnya. Tangan kanannya terulur, mengusap perutku. Sementara aku, melepaskan kacamata dari wajahnya dan memindahkan ke wajahku. “Jangan tiru kelakukan mamamu ya, champ?” ujar Tristan lagi.
“Anak gue cewek deh. Kenapa lo panggil jagoan sih?”
“Emang cewek ngga boleh jadi jagoan?”
“Boleh emang ya?”
“Boleh dong. Buat ngehajar bapaknya.”
Aku tersenyum, menoleh ke Tristan. Dengan tampang tengilnya, ia mengedipkan sebelah mata.
Sumpah beg0 banget mantannya si Tristan. Cowok kayak gini disia-siain!
“Si Saga masih suka nyariin lo, Mit?” tanyanya kemudian dengan nada bicara yang berubah serius.
“Ngga tau, Tris. Gue ngga sekepo itu untuk mencari tau,” jawabku sambil memalingkan wajah, menatap langit yang cerah.
“Lo ngga mau nemuin dia? Duduk bareng, ngomongin baik-baik.”
“Nanti.”
“Nanti?”
Aku mengangguk. “Semisal pun harus bicara, ngga sekarang. Tunggu bayi gue lahir dulu.”
“Karena?”
“Gue takut goyah.”
“Lo masih cinta sama dia?”
Aku mengeleng sebagai jawaban. “Tapi kan, Tris … ini karena gue ngga lihat dia. Ya gue ngga tau kalau ketemu sekarang, apakah gue tetap bisa tegas atau justru luluh bahkan berharap dia ngajak rujuk? Secara emosional aja kan gue ngga stabil. Hamil pula. Bayi gue punya komplikasi. Mental gue pasti berharap ayahnya champ mau bertanggung jawab kan?”
Tristan menghela napas. Ia mengubah posisinya, kini berbaring menghadapku.
“Terus, saat champ lahir dengan ketidaksempurnaan, gue ragu Saga dan keluarganya bisa menerima,” lanjutku, suaraku mulai bergetar. Sendu.
“Champ sama gue aja kalau Saga ngga mau terima,” tanggap Tristan.
“Gue balikan gitu sama Saga? Sementara lo ngasuh champ? Yang bener aja lo!” jawabku, ketus.
“Ya jangan balikan sama Saga kalau gitu!” tegasnya kemudian.
“Sanggup ngga ya gue Tris?”
“Apa?”
“Ngerawat champ tanpa Saga?”
“Ada gue, Iram, Storm, Dad, Mama. Semua tau kok kondisi lo dan champ. Tinggal lo tanya diri lo sendiri, Mit. Lo bisa ngga bertekad kuat ngerawat champ tanpa Saga? Sometimes, the hardest battles are the ones we fight within ourselves. Gue yakin lo sanggup, tapi … lo mau ngga?”
Tristan menatapku seraya merapihkan suraiku yang berantakan karena tertiup angin, membuatku terdiam sejenak, merenungkan kata-katanya.
“Lo sendiri penentu kebahagiaan lo, Mit. Bukan Saga!”