5. Ternyata Konglomerat

1015 Kata
Mata Aria melebar, terkejut dengan jawaban Arsa. “Ru- rumahmu?” gumam Aria terbata. “Ta- tapi kau bilang kau ….” “Tuan.” Seorang pria berjalan memasuki kamar menghampiri Arsa dan Aria yang duduk di ranjang. Perhatian Aria pun seketika tertuju ke arahnya. “Makan siang sudah siap,” lapor pria tersebut yang merupakan ajudan setia Arsa. Aria tampak kebingungan, ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Arsa mengatakan dirinya hanya pria sebatang kara yang semua harta tak seberapanya telah habis digunakan untuk mengurus masalahnya dengan Maria, tapi apa yang Aria lihat sekarang? Bibir Aria bergetar, ia menatap Arsa dengan pandangan sulit diartikan. “Aku akan menjelaskannya nanti. Ikut aku,” titah Arsa kemudian bangkit berdiri. Ajudan setia Arsa dengan tanggap meraih tangan sang tuan dan membantunya berjalan keluar ruangan, menjadi mata kedua untuk Arsa. Aria masih berdiam di atas ranjang. Semua yang terjadi membuat kepalanya pening. “Apa yang kau tunggu?” Aria tersentak mendengar suara Arsa. Pria itu tahu bahwa Aria tak segera mengikutinya karena bisikan sang ajudan setia. Aria bergegas turun dari ranjang. Dengan ragu ia pun mengikuti Arsa berjalan di belakangnya dengan sesekali mengamati setiap sudut rumah Arsa yang besar. Kepalanya masih dipenuhi pertanyaan-pertanyaan mengenai siapa Arsa sebenarnya, mengalihkan sejenak pikirannya tentang kejahatan Marisa dan Hengki yang telah mengusirnya. Tak lama kemudian, Aria memasuki sebuah ruangan yang merupakan ruang makan. Di atas meja makan berukuran cukup besar itu telah tersaji banyak hidangan yang tampak lezat. “Silakan.” Aria tersentak kaget saat ajudan setia Arsa menarik kursi untuknya mempersilakannya duduk setelah sebelumnya membantu Arsa duduk di kursinya. “Te- terima kasih,” ucap Aria kemudian segera duduk. Denting suara sendok dan piring terdengar saat Robi, ajudan setia Arsa mempersiapkan makan siang untuknya. “Aku ingin istriku yang melakukannya,” kata Arsa saat Robi berniat membantunya menikmati makan siang. Robi mengangguk mengerti kemudian meminta Aria yang menyuapi sang majikan seperti perintah. Aria bangun dari duduknya kemudian menghampiri Arsa yang duduk berseberangan dengannya. Ia pun mulai menyuapi Arsa dengan telaten seperti yang dilakukannya tadi malam. Mulut Aria terbuka dan kembali tertutup saat ia mengurungkan niat. Ia sangat tak sabar ingin mendengar penjelasan dari Arsa tapi, ia berusaha menahan diri. Tak lama setelahnya, Aria dan Arsa telah kembali berada di kamar sebelumnya setelah keduanya menikmati makan siang. Aria menikmati makan siangnya setelah menyuapi Arsa. Arsa duduk di kursi raja dekat jendela besar kamarnya sementara Aria berdiri di depannya. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Arsa seakan sengaja memberi Aria kesempatan bertanya sebelum memberinya penjelasan. Ia yakin ada banyak hal yang ingin Aria tanyakan. Aria tersentak dari lamunannya. Lamunan memikirkan semuanya. Diusirnya dirinya dari rumah dan tiba-tiba berada di sebuah rumah besar yang Arsa akui sebagai rumahnya. “Siapa … kau sebenarnya,” ucap Aria. Harusnya satu pertanyaan singkat itu sudah mewakili berbagai pertanyaan di kepala mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Arsa terdiam sesaat kemudian suara tegasnya terdengar. “Aku Arsa Leon, pemilik Leon Group.” Leon Group merupakan perusahaan besar yang menaungi beberapa anak perusahan besar di bidang consumer goods dan perbankan. Dan Arsa adalah pewaris tunggal. Semua aset Leon Group telah dipindahtangankan menjadi miliknya setelah kedua orang tuanya tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat. Selama ini identitasnya sengaja dirahasiakan karena satu alasan. Aria terbungkam, terkejut dengan pengakuan Arsa. “Ti- tidak mungkin …. Jadi … kau telah berbohong padaku?” tanya Aria dengan bibir bergetar. “Ya,” jawab Arsa tanpa rasa bersalah. Semua yang dikatakannya tentang dirinya hanyalah kepalsuan. Satu-satunya kebenaran yang ia tunjukkan pada Aria adalah kebutaannya serta namanya. Wajah Aria menjadi pucat. Namun, ada sedikit keraguan dalam benak. Jika benar Arsa orang kaya, kenapa tak menempuh jalur hukum untuk memenjarakan Marisa? Kenapa Arsa harus membuat drama pernikahan sebagai tanggung jawab? “Kenapa? Jika benar kau memiliki kuasa, kenapa tidak langsung memenjarakan kakakku saja? Kenapa harus membuat drama pernikahan hingga kakak menjadikan aku korban?” tanya Aria lirih. Tangannya terkepal kuat di depan dadanya seakan menggenggam hatinya yang kecewa. Jika saja Arsa langsung memenjarakan Marisa, ia tidak perlu menikah dengannya dan mungkin, saat ini ia masih tinggal di rumahnya. Arsa terdiam selama beberapa saat kemudian menjawab, “Karena aku ingin melihatnya tersiksa lebih dulu. Setidaknya, agar dia menyadari kesalahannya.” Itu Arsa lakukan melihat Marisa sama sekali tak merasa bersalah. Sekedar mengucap sepatah kata maaf pun tidak. “Lalu kenapa kau mau menikahiku jika kak Marisa yang kau tuju? Apa yang terjadi padamu karena dirinya, bukan aku.” Lagi-lagi Arsa tak segera menjawab. Ia tetap diam dan tenang. Suaranya baru terdengar beberapa saat setelahnya. “Untuk itu, aku tak akan menjawabnya,” ucap Arsa. Aria tenggelam dalam pikiran. Ia merasa tak bisa memercayai Arsa. Ia pun mengira mungkin kebutaan Arsa juga adalah kebohongan. Tiba-tiba perhatian Aria tertuju pada ujung gunting di atas meja dekat tempat tidur yang tampak berkilau terkena silau cahaya matahari dari luar. Ia berjalan pelan mengambil benda tajam itu kemudian kembali ke tempatnya berdiri sebelumnya. Kedua tangannya menggenggam gunting itu kuat-kuat dengan gemetaran. Diarahkannya ujung gunting itu pada Arsa seraya mengambil langkah maju. Ia ingin memastikan apakah Arsa benar-benar tak bisa melihat ataukah hanya pura-pura, hanya membohonginya. Aria menarik tangannya yang terulur sampai sikunya menyentuh perut. Ia tengah bersiap mengarahkan ujung gunting yang begitu tajam itu pada mata kanan Arsa. Dan saat hitungan ketiga dalam hatinya, ujung gunting itu melesat mengarah mata Arsa yang terbuka. Hap! Ujung gunting itu berhenti tepat di depan mata kanan Arsa, berjarak hanya beberapa mili dari netranya yang gelap. Seketika tubuh Aria menjadi lemas, tangan yang menggenggam kuat gunting itu pun perlahan terkulai lemas menjatuhkan benda tajam tersebut. Arsa sama sekali tak terkejut bahkan berkedip. Ia juga sama sekali tak menunjukkan ketakutan atau kecemasan sedikitpun. Itu artinya … Arsa benar-benar tak bisa melihat. “Kau berniat membunuhku?” ucap Arsa mendengar suara benda jatuh yang dipikirnya gunting yang memang sengaja diletakkan di atas meja. Ia sengaja melakukannya memancing Aria melakukan sesuatu. Tubuh Aria perlahan merosot hingga duduk bersimpuh dengan tubuh lesu. Arsa benar-benar buta, mematahkan anggapannya bahwa pria itu hanya pura-pura. “Aku punya penawaran. Aku akan membantumu balas dendam pada ayah dan kakak tirimu. Tapi, sebagai gantinya, jadilah mataku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN