“Hun!”
“Kyah!” Shita terjingkat, terkejut saat kekasihnya menepuk bahunya dari belakang.
“Apa yang kau lakukan di sini, Hun? Kau bilang ke toilet,” gerutu pria tersebut. Ia marah karena sudah terlalu lama menunggu Shita. Ia pun berniat menyusul, mencari Shita ke toilet khawatir terjadi sesuatu tapi justru menemukannya berkeliaran.
“Babe, kau membuatku kaget.”
“Ada apa sebenarnya denganmu? Jika ada yang ingin kau lakukan di belakangku, lebih baik aku pulang.”
Kekasih Shita segera membalikkan badan berniat pergi. Namun, Shita segera mencegah, menarik tangannya dan merangkulnya manja.
“Maafkan aku, Babe. Baiklah, kita lanjut belanja. Kau mau beli apa? Aku akan membelikan apapun untukmu.”
Tak ingin kekasihnya marah, Shita membujuknya dan melupakan tugasnya mengawasi Aria.
“Maafkan aku, Ris. Aku tak bisa membiarkan Very marah,” batin Shita. Ia pun mengabaikan panggilan Marisa dan memilih melanjutkan acara kencannya dengan sang pacar setelah pacarnya itu memberinya kesempatan.
Di sisi lain, Marisa berdecak kesal. Ia mengumpat saat Shita tak menjawab panggilan darinya setelah panggilan terputus begitu saja.
“Sialan, apa yang dia lakukan?” umpatnya. Merasa tak bisa lagi mengandalkan Shita, ia memutuskan mencari sendiri keberadaan Aria.
Sementara itu, beberapa saat setelahnya Aria dan Arsa telah berada di lobi mal tak lama setelah Marisa naik ke lantai 2. Meski Arsa memberi kesempatan Aria membeli sesuatu sesuai keinginannya, tapi Aria memilih pulang. Sepertinya itu keputusan yang tepat, jika ia lebih lama di sana mungkin Marisa akan menemukannya.
“Aku tidak memaksamu pulang sekarang, jika ada yang kau inginkan,” ucap Arsa seakan kembali memberi kesempatan Aria.
“Ti- tidak. Aku … tidak ingin membeli apapun. Sekali lagi, terima kasih,” sahut Aria yang sengaja menghentikan langkahnya sejenak. Ia kemudian mengembalikan black card milik Arsa tapi suaminya itu menolak, menyuruhnya tetap membawanya.
“Simpan untukmu. Kau bisa menggunakannya untuk apapun,” ujar Arsa.
“Ta- tapi ini terlalu–”
“Apakah aku harus kembali mengingatkanmu? Meski aku buta, aku bisa menafkahimu. Itu adalah kewajibanku sebagai suamimu.”
Untuk kesekian kalinya Aria hanya bisa diam. Ia pasrah.
Tiba-tiba Aria tersentak kaget saat tangan Arsa terangkat, merambat ke atas menyusuri tangannya hingga sampai di wajahnya. Pria itu menangkup wajahnya, merabanya, dan berakhir dengan ibu jarinya yang mengusap lembut bibirnya yang kering.
“Kau tidak senang?” tanya Arsa seakan dapat membaca raut wajah Aria hanya dengan merasakannya dengan rabaan tangan.
“A- aku … tidak tahu, apakah aku harus senang atau tidak. Ini … seperti mimpi,” jawab Aria jujur dengan suara pelan.
Arsa hanya diam kemudian tangannya perlahan turun dari wajah Aria.
“Kurasa kau butuh pelembab bibir,” ucap Arsa tiba-tiba yang membuat Aria menyentuh bibirnya. Seketika wajahnya pun tampak memerah. Mungkin sebaiknya ia membeli pelembab bibir dulu sekarang.
Di tempat lain, Marisa masih berkeliling mencari keberadaan Aria. Ia telah mengelilingi lantai 2 dan 3 dan masih belum menemukannya. Sampai tanpa sengaja ia bertemu dengan Shita yang sedari tadi terus mengabaikan panggilan darinya.
“Dasar jalang sialan,” geram Marisa kemudian berlari dan menjambak rambut Shita dari belakang.
Jeritan Shita pun terdengar disertai ringisan mengaduh sakit.
“Aw! Aduduh! Lepaskan!”
“Hei! Apa yang kau lakukan?!” teriak kekasih Shita yang berusaha melepas cengkraman Marisa pada rambut kekasihnya. Ia pun berhasil, Marisa melepas jambakannya tapi tak berhenti menatap Shita dengan ekspresi kemarahan.
“Dasar jalang! Apa saja yang kau lakukan?! Kau membuatku ke sini seperti orang gila dan sekarang kehilangan jejak mereka! Kau sengaja membuatku marah?!” bentak Marisa.
“Apa katamu?!” Kekasih Shita maju ke depan, menjadi tameng bagi Shita yang mendapat lontaran kalimat kasar. Namun, Shita berusaha menenangkannya, mengatakan bahwa Marisa adalah temannya.
“Babe, sudah. Dia temanku,” kata Shita yang kini berdiri di antara kekasihnya dan Marisa. “Sorry, Ris. Aku sedang kencan jadi tidak bisa terus mengawasi adikmu. Kau yakin itu benar adikmu? Bukannya kau bilang tidak membebaskannya ke manapun? Pulang kuliah terlambat saja kau menyiksanya, kan?”
“Diam!” potong Marisa. “Kau memang teman tak berguna. Sekarang cepat temukan dia!” bentaknya. Ia seolah tak peduli Shita tengah kencan dan semacamnya. Shita yang memberitahunya hingga ia penasaran dan pergi ke sana, jadi Shita harus bertanggung jawab membuatnya bertemu Aria.
“A- apa, tapi, Ris. Aku sedang kencan,” tolak Shita.
“Kalau begitu bayar hutangmu sekarang!”
Shita segera mendorong Marisa dan menutup mulutnya tak ingin kekasihnya mendengar perihal hutang yang dimilikinya.
“Ssst, Ris. Jangan bicarakan itu. Oke-oke, aku akan membantumu menemukan adikmu,” ucap Shita dengan gugup.
“Makanya jangan macam-macam denganku. Cepat temukan mereka, jika tidak utangmu berbunga dua kali lipat.”
Setelah mengatakan itu, Marisa melenggang pergi. Ia merasa muak melihat Shita dengan kekasihnya. Ia juga tidak ingin kehilangan jejak Aria.
Shita menghentakkan kaki kesal. “Hihsh, tahu begini aku tak usah memberitahunya,” gerutunya pada diri sendiri. Ia menyesal sudah memberitahu Marisa. Harusnya ia diam saja.
“Siapa dia sebenarnya, Hun? Kenapa kau tak membiarkanku memberinya pelajaran? Dia sudah berani menyakitimu.”
“Maaf, Babe. Dia temanku, dia sedikit gila karena adiknya kabur dari rumah. Jadi dia memintaku membantu mencari adiknya,” ujar Shita sebagai alasan.
“Gila? Lalu, kenapa masih berteman dengannya?”
Di sisi lain, Marisa sudah mulai lelah. Ia memutuskan berhenti kembali mencari sampai tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu. Ia pun bergegas menuju pusat pengaduan. Sesampainya di sana, ia berbohong mengatakan kehilangan adiknya dan meminta petugas menunjukkan rekaman cctv guna mencari keberadaan sang adik. Petugas pun percaya, termakan sandiwara Marisa yang sempurna.
Seketika mata Marisa melebar saat layar menunjukkan rekaman di lobi. Ia melihat dengan jelas Aria berdiri bersama suami butanya di mana mereka membawa beberapa paperbag.
Dengan gugup Marisa berlari pergi dari tempat pengaduan, membuat petugas yang membantunya terkejut dan bertanya-tanya. Salah satu petugas keamanan pun berlari mengikuti di belakangnya.
Nafas Marisa terengah. Ia berlari seperti mengejar pencuri. Namun, sesampainya di lobi ia tak menemukan Aria dan Arsa. Tak pantang arang, ia berlari menuju tempat parkir berpikir mereka masih di sana tapi, hasilnya nihil.
“Agh! Sialan!” Marisa berteriak hingga suaranya serak. Padahal tinggal sedikit lagi. Tak kehabisan akal dan merasa tak mungkin lagi menemukan Aria, Marisa menghubungi Shita.
“Di mana pertama kau melihat mereka?” tanya Marisa bernada kasar setelah Shita mengangkat panggilan.
“Di toko pakaian pria di lantai tiga. Ada apa? Sudah menemukan me–”
Marisa mematikan sambungan telepon sepihak dan bergegas menuju toko sesuai yang Shita katakan. Sesampainya di sana, ia bertanya pada penjaga toko mengenai pembeli dengan ciri-ciri seperti Aria dan Arsa.
“Ah, iya, benar. Tadi tuan dan nyonya itu belanja di sini,” ujar penjaga toko.
“Apa yang mereka beli? Dengan apa mereka membayar?” tanya Marisa tak sabaran.
Penjaga toko itu pun kembali menjawab, “Mereka membeli satu set pakaian pria untuk acara formal senilai delapan puluh juta.”
Deg!
Jantung Marisa seolah berhenti berdetak, matanya melebar sempurna.
“A- apa? De- delapan … puluh ….” Marisa tak dapat melanjutkan ucapan. Ia masih terkejut dan shock atas apa yang ia dengar. Satu set pakaian seharga 80 juta? Apa ia tak salah dengar? Atau penjaga toko di hadapannya itu sedang bercanda?
Penjaga toko itu mengangguk dan tersenyum hingga matanya menyipit. “Nyonya tadi juga membayar menggunakan black card,” ujarnya kembali.
“B- black card?”
Nyawa Marisa seakan mau menghilang. Ini seperti sebuah lelucon. Lelucon besar yang membuatnya nyaris jantungan.