Whenever I Close My Eyes, I See You

1398 Kata
Icha’s Current POV Icha ketiban s**l. Kena buntung. Lagi apes. Atau apapun yang sejenis dengan istilah itu, cocok untuk menggambarkan keadaannya sekarang. Setelah seminggu dilewati dengan lumayan terjal, seperti bertemu Azra tiap hari contohnya, lalu harus melihat sosoknya saat presentasi, dan kadang harus duduk semeja selama makan siang, minggu ini dia akan satu kelompok bersama Azra untuk brainstorming. Satu kelompok! Selama satu minggu! Senin sampai jumat, Icha berkali-kali menyebut dalam hati. Teman-temannya berdiskusi heboh bersama Azra, Kelompok kecilnya yang berisi delapan orang itu sibuk membahas materi yang tadi menjadi bahan diskusi, sementara dia sibuk mencatat poin pentingnya. Lumayan, dia jadi nggap perlu mengeluarkan suara, yang berarti nggak jadi pusat perhatian. "Here, we need something to Wow-ing our customers," Marika dari Philippines menutup diskusi mereka dengan pencarian ide. "Hmm, I like it! But How?" Icha terbata menggumam, lebih pada dirinya sendiri daripada untuk kelompoknya , "Paying attention to details like their favorite music, wine, books, or special occasion like birthday? Or simply leave a welcome or goodbye message and petit souvenir." Semua terdiam memandang Icha yang mengatakannya setengah melamun. Dia tergagap, lalu tertunduk malu saat semua mata sudah tertuju padanya dan suasana di meja bundar itu mendadak hening. "Ah.. Em.. S.." "That's it, right?" Azra berseru, diikuti oleh teman-teman setimnya. "We'll do like that, ya. Next, who's gonna volunteer to explain to the crowds in front?" Ryujin dari Jepang menawarkan diri dengan berani, disambut tepuk tangan meriah mereka berdelapan yang berkerumun di meja pojok ruangan. Ruang meeting dadakan untuk kelompok kecil mereka sebelum dikumpulkan kembali untuk presentasi antar kelompok. Selama presentasi Ryujin, Icha sama sekali tidak menyimak, pikirannya lagi-lagi berkelana kembali pada kejadian 10 tahun lalu, kejadian yang dia tidak yakin yang mana, yang menjauhkan Jaja secara tiba-tiba darinya. Akhir-akhir ini otaknya sering sekali memutar kejadian flashback dari sepuluh tahun yang lalu. Mengingat ada hal penting apa yang dilewatkannya hingga harus dibayarnya sampai selama ini. *** 10 Tahun yang lalu Semuanya sudah berkumpul di depan rumah Jaja, siap untuk berangkat ke hutan pinus seperti kata Jaja pada Icha kemarin. Tapi yang terlihat sumringah dan bersemangat hanya Icha. Ida dan Hafid terlihat kebingungan dan tidak yakin harus bagaimana saat Icha dengan menggebu-gebu membeberkan rencananya nanti di hutan pinus. Nisya juga malah terang-terangan meminta penjelasan Jaja 'kenapa kita ikut juga? '. Dan Jaja yang paling tidak bersemangat seperti ban kemps hanya mengangkat kedua bahunya lesu. Maunya dia juga nggak kayak gini awalnya. Mereka berlima ke hutan pinusnya diantar oleh Pak Abu, supir Kakek Jaja. Rencana awalnya sih mau naik motor, tapi karena jumlahnya ganjil, kasihan kalau harus ada yang naik motor sendirian, akhirnya diputuskan untuk naik mobil saja. Untuk Kakek baik, minjemin Pak Abu buat anter mereka jalan-jalan. Icha belum sempat menangkap adanya keganjilan apapun, karena mood teman-temannya sudah kembali seperti semula saat tiba di hutan pinus. "Pak Abu, minta tolong fotoin kita berlima yaaa." Kata Jaja memberikan kamera digital yang dibawanya, dan kemudian mengambil tempat di sebelah Icha. Pak Abu memotret beberapa kali dengan pose yang berbeda-beda sesuai permintaan mereka. Memang dasar anak-anak kurang ajar, ngerjain orang tua. Di foto terakhir, Jaja mendadak bergeser ke belakang Icha dan mencubit kedua pipinya, mempuat si empunya pipi memekik nggak terima. Mereka akhirnya terlibat kejar-kejaran di antara pepohonan  pinus ala film india. "Sakit tauk!" Icha berteriak marah saat akhirnya Jaja berhenti masih sambil ngakak. Tak tega rasanya melihat muka Icha yang merah karena marah dan berlari. Bocah satu ini memang paling benci jenis olahraga yang satu itu. Alasannya simple, larinya lambat, dia sering banget ketinggalan. "Tahanin lah, bentar lagi aku nggak bisa nyubitin pipimu." Jaja menjawab cool. "Tapi kenapa harus dicubit sih??!" Korbannya masih tidak terima. "Emang mau dicium aja?" Hah?! Icha melotot kaget. Tapi Jaja nya santai tuh, masih sambil ketawa-ketawa. Bercanda kali ya maksudnya? "Boleh.” Sahutnya enteng mengimbangi Jaja yang dikiranya sedang guyon itu. “Tapi ciumnya gak boleh sekarang, dong! Kan belom nikah! Week!" Icha membalas meleletkan lidahnya "Berarti nanti kalo udah nikah boleh ya?" Wah, Jaja bercandanya nggak berhenti-berhenti. "Apaan, sih Jaja. Kayak iya aja bakal nikahnya sama Icha." "Ck! Iyain aja dulu, daripada kucubit lagi?" Jaja mengancam, membuat Icha menangkup pipi bakpaonya agar terhindar dari jari-jari jahat Jaja. Membuat wajahnya jadi semakin lucu menggemaskan. "Iya, deh, iya! Semaunya Jaja aja!" Jaja tertawa gemas, mengusap puncak kepala Icha. Membuat rona merah di wajah Icha yang belum sempat menghilang sepenuhnya karena berlari tadi muncul lagi. Mereka lanjut bermain lagi hingga sore menjelang. Tak ada yang aneh bagi Icha. Semuanya menyenangkan dan mereka bersenang-senang. Selama liburan sekolah, mereka masih baik-baik saja. Beberapa kali Icha sempat membantu Jaja beberes untuk pindahan. Nisya dan Ida juga datang, bukan untuk membantu, tapi buat jadi tim hore. Daripada sepi kan, rumahnya. Tapi semua berubah seketika, di hari pertama semester genap. Tanpa tanda-tanda tanpa peringatan. *** Icha’s Current POV Dia merasa tak enak badan. Sejak tadi kepalanya pusing dan berat, serta perutnya bergejolak tak tenang. Sepertinya asam lambungnya naik. Efek dari kacaunya pola makannya beberapa hari ke belakang. Icha mencoba memfokuskan pandangannya yang mulai kabur-kabur ke depan, walaupun badannya banjir keringat dingin. Suara presentator di depannya perlahan semakin menjauh dan menjauh dan menjadi dengungan statis sebelum akhirnya dia hilang kesadaran. Icha tidak tahu, dia nggak sadar bahwa beberapa kursi di sebelahnya ada sepasang mata yang mengawasinya dengan tatapan setajam elang, dan dengan sigap menangkapnya saat kesadarannya raib dan tubuhnya oleng. Sosok tersebut langsung melesat menggendongnya ke ruangan sebelah yang berfungsi sebagai posko event dan secretariat, tanpa menghiraukan pekikan dan teriakan panic di aula. Icha tidak tahu berapa lama dia pingsan, saat dia terbangun, hari sudah sore dan dia berada di kamarnya sendiri. Kekagetannya tidak berhenti disitu, di samping ranjangnya sudah ada baki makanan yang masih tertutup, dengan memo di atasnya. Get well soon! Don't stress too much, and eat your meal properly. You're allowed to skip the class until you're fully recovered. Tulisan yang sama seperti yang dia temukan di memo room service tempo hari. Siapa? Tya? Masa sih, dia seromantis ini? Icha mengingatkan dirinya sendiri untuk berterimakasih pada Tya nanti, dan meminta maaf pada teman-teman setimnya yang pasti terganggu oleh insiden pingsannya tadi. Duh, malu-maluin. Dipaksanya untuk bangun dan menyantap makan sorenya, obatnya sudah terjejer rapi di sebelah bakinya. Mulutnya masih terasa pahit dan tidak bisa merasakan apa-apa, tapi Icha tidak bodoh untuk menuruti selera makannya yang sedang dalam mood terburuknya. Dia tidak ingin menambah parah keadaannya dan membuat kejadian memalukan ini terulang lagi. Dia masih harus bertahan disini lima minggu, dan ini baru minggu kedua. Seharusnya dia juga mengingat hal ini sebelum bandel mengacaukan jadwal makannya seminggu belakangan. Dia jauh dari kampong halaman. Dia harus bisa menjaga dirinya sendiri. Jangan sampai sakit-sakit. Apalagi, setelah sesi Training dan Meeting tahunan ini selesai, dia akan punya kesempatan untuk bekerja di Head Office Bangkok selama sekitar 1 minggu, tergantung lama tidaknya yearly meeting yang mengharuskannya ikut. Dan kompensasi seminggu full untuk menjajal paket wisata yang ada di Bangkok. Jalan-jalan gratis ini tidak boleh dibiarkan mubazir hanya karena dia tidak bisa menjaga kondisi tubuhnya. Di tengah perjuangannya mengunyah baguette dingin yang rasanya sudah mirip kardus di lidahnya itu, hape di meja sampingnya berbunyi. Nisya Calling... "Iya Nis, " sapanya pelan. "Aduh, kamu beneran sakit disana, Cha? Sekarang kondisinya gimana? Kok bisa ambruk gitu gimana ceritanya deh? Terus itu dari tadi si Ida coba telpon kenapa gak diangkat?" Icha menjauhkan hapenya dari telinga sambil meringis. Anak ini, pertanyaannya kaya petasan cina. Berentet. "Cha? Kok diem aja sih, Cha! Jawab, dong! Kamu nggak pingsan lagi, kan?! Aku kuatir kamu ken... " "Nis," suara di seberang langsung berhenti. "aku gakpapa, ini lagi makan, mau minum obat." Hembusan nafas Nisya yang seakan baru bebas dari sembelit seminggu terdengar. Eh bentar. Ada yang aneh nggak sih? Apa ya tapi? Mmm... Ah! Iya. "Kok kamu bisa tau aku sakit?" Seingatnya, Tya tidak memiliki kontak sahabat-sahabatnya. Tya adalah teman kerjanya dan mereka adalah sahabat-sahabatnya, mereka berada di circle yang berbeda. Bahkan bisa dipastikan mereka nggak saling mengenal. Lalu bagaimana Nisya tau? "Hafid tadi kasi tau di group." "Hafid?" Loh makin aneh. Kok bisa Hafid? Apa hubungannya? Kok jadi nggak nyambung sih? "Iya, tadi Jaja telpon dia katanya kamu pingsan pas sesi brainstorming." "Jaja?" Duh, Icha! Bahkan kakak tua aja kosakatanya lebih bervariasi dan tidak melulu mengulang satu kata doang tanpa makna. "Iya, tadi dia menelpon Hafid pas lagi di mobil nganter kamu pulang ke hotel." Eh? Apa? Jaja? Nganter pulang ke hotel? Bukan Tya??
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN