LIMA : Seven Percent For Regret

1821 Kata
Hari ini aku harus meeting di tempat klien. Sebenarnya Mila yang harus pergi, tapi berhubung ia sedang izin di hari pertama datang bulan, jadi aku yang harus menggantikan Mila. Untungnya di perusahaan kami ada kebijakan yang menguntungkan kaum wanita seperti aku dan Mila yang kalau sudah datang bulan pinggang rasanya sakit bukan main seperti mau patah. Oke, untungnya semua bahan meeting sudah disiapkan sehari sebelumnya, jadi aku tidak perlu repot-repot meneriaki Mila yang pasti sedang tidur meringkuk setelah minum obat penghilang nyeri. Pak Budi sudah ada di dalam mobil bersama Bu Widya dan supir. Aku si karyawan yang paling bontot, mengekor sambil membawakan mereka sarapan dan kopi. Mobil melaju, aku mencoba untuk tidak terlihat menonjol dengan diam dan sibuk memandang ponsel sambil menikmati roti dan kopi karena aku tahu omongan-omongan apa saja yang akan keluar dari mulut dua bosku ini. Terutama Pak Budi, malas rasanya membayangkan apa-apa saja yang akan keluar dari mulutnya yang tanpa saringan itu. “Bian, udah lama saya nggak lihat Arya. Lagi sibuk banget ya? Padahal saya kangen ngobrol sama dia.” Pak Budi, yang ku harap mulutnya akan diam ditemani roti dan kopi, pada akhirnya berbicara dan mengangkat topik yang malas sekali aku ladeni. Aku masih lebih memilih jika Pak Budi membahas roti sarapannya atau aku yang salah memesan kopi dari pada Arya.  Sial. “Iya, Pak. Lagi sibuk.” Jawabku sekenanya. “Arya anak Sun Bright sekuritas?” tanya Bu Widya kini ikut menimpali. “Iya, Arya Sun Bright itu pacarnya Bian.” Bu Widya melihatku sedikit terkejut, “wah, iya? Waduh kapan nih undang-undang?” Satu pertanyaan basa-basi lain yang sangat ku hindari kini terlontar. Harusnya di zaman sekarang ini tidak perlu ada pertanyaan retoris yang mungkin akan menyakiti hati si interviewee, Halo! ini sudah tahun 2021. Jika bukan atasan, mungkin aku akan menjawab dengan ketus dan menyakitkan. Tapi sayangnya, ini Ibu Widya yang bertanya. Bisa-bisa, hidupku di kantor bisa sengsara kalau menunjukkan taring pada orang yang salah. “Kalau Ibu sih, nanti pasti diundang.” Ya, benar, undangan makan-makan saat ulang tahunku nanti. Mana ada aku menyebar undangan bersama Arya, kami saja sudah bubar jalan. “Alhamdullilah, jangan disia-siain ya, Bian. Yang model kayak Arya zaman sekarang susah nyarinya. Mapan, ganteng, pinter, udah paket komplet banget itu. Semoga langgeng sampai hari H.” Aku tersenyum saja, ingin mengiyakan atau berterima kasih pun rasanya sekarang percuma. “Oh, iya! Sun Bright kan juga klien-nya Rendi. Siapa tau nanti ketemu.” Aku memandang Bu Widya bingung, “Rendi?” “Iya, klien kita. Kamu lupa namanya, ya?” Oh! Si Edy, Fendi, Rudi itu namanya Rendi. Ya, beda tipis lah, konsonan huruf belakangnya sama. “Ah, Iya, Bu. Tertalu banyak yang dikerjain jadi saya lupa nama-nama orang Ruido Blanco.” Jawabku mengaku. “Wah, baru kali ini saya tau kalo Rendi dicuekin.” Bu Widya tertawa. “Ya, kan, Bian sudah ada Arya, Bu. Kecuali Bian jomblo, baru, deh, yang kayak Rendi pasti diinget terus.” “Padahal Rendi tuh yang suka banyak, loh. Ada yang bilang katanya dulu Cover Boy, coba dia merambah jadi artis, wah pasti sekarang udah sukses dan jadi idola banyak perempuan.” Aku hanya tersenyum, tak terlalu peduli dengan Rendi yang dipuji dua orang atasanku ini. Tapi, aku ingat sekilas memang pesona seorang Rendi bisa membuat mata Mila memerhatikannya lekat lebih dari sedang menilai seseorang. Pembawaannya juga ramah, atau terlalu ramah, entahlah. Yang aku ingat memang ia tipe yang akan dilihat dua kali saat orang berpapasan tak sengaja dengannya. Pandangan kedua yang dulu pernah aku lemparkan pada Arya. Ah, Arya, semoga kita tidak bertemu hari ini.              ***             Mobil berhenti di parkiran, kami bertiga keluar dan menuju lantai dua puluh di mana Kantor Ruido Blanco berada. Pihak Leovid MI sudah datang ketika kami memasuki ruang tunggu dan sedang duduk di sofa panjang ketika kami datang.  “Cha!” Sapa Clara perwakilan dari Leovid MI yang dulu satu kelas boxing denganku. Aku tersenyum dan menghampiri Clara, akhirnya untuk sementara aku bisa lepas dari dua bos yang acap kali membahas mantan pacarku itu, yang mana memang belum diketahui statusnya telah berubah. Clara, teman sesama broker yang penampilannya selalu terlihat mencolok dengan rambut pixie cut berwarna campuran kelabu dan hitam. “Lo bertiga?” tanyaku memerhatikan dua perwakilan lain yang asing mengobrol dengan dua bosku. “Iya. Cha, gue mau nanya nih. Lo jangan tersinggung, ya.” “Huh? Apa?” Clara mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu, ia memperlihatkan layarnya padaku. “Lo udah putus sama Arya, ya?” Aku kaget, rasanya seperti diguyur seember air es di siang bolong. Dilayar ponsel Clara yang ia ulurkan ke mataku, ada foto Arya dan wanita tempo hari sedang memamerkan cicin mereka dengan senyum merekah ke arah kamera. Satu bidikan sempurna yang membuat perasaanku campur aduk. Arya sudah move on. Satu ekspresi Arya yang dulu pernah ku lihat saat Adiknya menikah. Saat ijab kabul terucap lancar dan Mira menangis bahagia. Dan saat itu, aku pikir aku akan ada di posisi Mira dengan Arya yang mengucap ijab kabul dengan lancar, satu tarikan napas yang akan disambut tepuk tangan dari para saudara dan teman terdekat. Sah. Satu kata yang mungkin sekarang bukan lagi jauh, namun tak akan pernah ku dengar terlontar dari sang penguhulu untukku dan Arya. “Gue ke toilet dulu.” Aku langsung pergi begitu aku tahu air mataku akan menetes. Clara tidak sempat menahanku untuk meminta maaf, aku sudah menghambur pergi. Aku masuk ke satu lorong setelah menanyakan di mana toilet berada pada resepsionis. Aku berjalan cepat dan menabrak seseorang. Aku hanya mengatakan maaf dan berjalan masuk ke toilet. Toilet kosong, aku berjalan ke bilik paling pojok dan dengan cepat mengeluarkan tisu untuk ditaruh pas di bawah bulu mata agar aku tak perlu lagi merapikan make up nanti. Untung saja aku memakai maskara waterproof hadiah dari Mila, jadi tak perlu aku takut jika maskaraku akan luntur dan kerepotan untuk kembali touch up. Aku menangis, ternyata sakitnya baru sekarang ketika melihat Arya dan wanita entah siapa itu bertunangan. Di antara sekian banyak jenis perempuan yang bisa ia dekati, kenapa harus jenis perempuan yang seperti Renata? Secepat ini ternyata, ia sudah melangkah terlalu jauh sementara aku belum mengatakan apa-apa ke orang tuaku. Namun rasanya, jika diulur terus-menerus nantinya akan lebih sulit mengatakan semuanya pada keluarga. Aku tau kalau adikku, Gion, sudah menatapku curiga ketika di hari weekend aku tidak keluar seperti biasanya bersama Arya. Aku di rumah, yang kadang bertengkar dengan Gion karena berebut main playstation. Ah, pikiranku sudah ke mana-mana sedangkan ku yakin hidung dan mataku sudah merah karena menangis. Aku keluar dari bilik toilet, sudah puas aku menangisi Arya. Pantulan wajahku di cermin sudah seperti dugaanku, tidak terlalu mencolok, namun terlihat seperti habis menangis. Aku hanya mengelap sudut mata dan menyapukan lose powder ke wajah. Biarlah tampilanku seperti ini, aku bisa mengeles jika alergi debuku kambuh jika ada yang menanyakan kenapa wajahku merah. Orang-orang di ruang tunggu sudah tidak ada, sang resepsionis mengantarkan ku ke ruang meeting dan semua orang sudah ada di sana semberi mengobrol ringan. Untung saja meeting belum di mulai. Aku duduk di sebelah Pak Budi. Semoga saja orang-raong di ruangan ini tidak menyadari wajahku yang kemerahan ini. Namun, Clara menatapku iba ketika aku memasuki ruangan tadi. Pandangan yang sebenarnya tidak ku sukai sama sekali. Pihak Ruido Blanco masuk, ada Rendi yang penampilannya bak staf Chanel dengan jas necis yang licin, perempuan yang tempo hari datang dengan berliannya, seorang pria paruh baya yang ku taksir adalah atasan mereka, serta pria berkacamata yang rambutnya klimis rapi. Mendadak aku merasa minder dengan penampilanku hari ini yang jauh dari standar Ruido Blanco. Rendi duduk di hadapanku, ia menyapa dengan senyum. Meeting di mulai. Lagi-lagi aku tidak fokus. Semua ucapan dari semua orang hanya keluar-masuk di telinga begitu saja, untungnya aku hanya berperan sebagai saksi dan asisten yang bertugas memberikan proposal, membalik halaman, dan tersenyum saja. Selebihnya dijelaskan oleh pihak Leovid MI. Meeting selesai setelah MoU ditandatangani. Kini semua orang tengah mengobrol santai sambil menikmati coffee break. Ku harap kami segera kembali ke kantor karena aku sudah tidak merasa nyaman. Dan lagi, aku ingin bercerita pada Mila tentang pertunangan Arya dan perempuan yang belakangan baru ku ketahui bernama Renata. “Nggak suka kopi, ya?” tanya Rendi yang tanpa ku sadari sudah ada di sebelahku. “Eh? Oh, tadi udah minum kopi sebelum ke sini.” Kataku dengan suara pelan, sekenanya. Aku sedikit mundur, agak merasa terintimidasi dan kaget. “Nggak pa-pa?” tanyanya lagi, yang membuatku bingung. “Nggak pa-pa apanya?” “Tadi pas ke toilet... Maaf aku tadi habis dari pantry dan gak sengaja nabrak kamu. Nggak ada yang sakit, kan?” Ternyata, pria yang ku tabrak tadi Rendi. Oke dari banyaknya pegawai yang bekerja di sini, kenapa harus Rendi yang tak sengaja ku tabrak. Catat, aku yang menabraknya, bukan Rendi. Tapi ia dengan besar hati meminta maaf yang mana bukan salahnya. Sial sekali aku hari ini. Untung saja aku tidak akan bertemu dengan Rendi lagi dalam waktu dekat. “Nggak, harusnya saya yang minta maaf. Tadi buru-buru.” Alasanku. “Nggak usah terlalu formal, kan udah selesai semuanya. Udah teken.” Ia tersenyum. Aku sudah tahu jenis pria macam Rendi ini. Jenis yang biasanya ku hindari. Mungkin benar kata Bu Widya, karena dulu ia mantan Cover Boy, rasa percaya dirinya sungguh tinggi. Meski harus ku akui, wajar saja, penampilan Rendi mendukung untuk bisa melempar flirt yang kalau Mila bilang, a cute gesture, yang mana menurutku tak ada cute-nya sama sekali. “Nggak etis dong, kan kita masih terikat kontrak kerja klien-konsumen.” Kataku agak menantang. “Oke, kalau begitu di luar jam kantor boleh ya nggak pakai saya.” Tawarnya dengan senyum yang proporsional.  Aku menimbang, memerhatikan wajah Rendi yang sama sekali tidak terlihat angkuh seperti beberapa menit yang lalu. Raut wajahnya melembut, dan terlihat ramah tanpa ada maksud terselubung. Jangan salah, aku pernah belajar membaca body language sewaktu kantor menyewa seorang ahli di bidang intercultural communication sebagai modal pelatihan seorang broker. Selain harus handal public speaking, seorang broker saham juga harus bisa membaca body language seseorang sebagai modal penting dalam transaksi investasi. “Oke, kayaknya udah pada selesai coffee break. Saya juga harus undur diri kalau begitu.” Kataku pada akhirnya. "Oke, hati-hati di jalan." Katanya. Aku mengernyit, jelas sekali apa yang disampaikannya barusan adalah satu gestur yang biasa dilakukan banyak pria di luar sana untuk menarik perhatian lawan jenis. 'Hati-hati di jalan' untuk dua orang klien yang baru  bertemu beberapa kali secara formal agaknya memang aneh didengar. Aku undur diri menuju kerumunan, orang-orang sudah siap untuk pulang dengan tentengan berisi penganan coffee break. Clara masih menatapku tak enak, aku hanya membalas dengan senyuman saja. Dan saat itulah terlintas ide gila di otakku. Kalau Renata masih berstatus tunangan, aku yang sudah empat tahun lebih berarti masih bisa kembali pada Arya, kan?  Oke, sepertinya kali ini aku harus agak seperti Rendi yang percaya diri sekali dengan lambaian tangannya kepadaku yang ku tanggapi hanya dengan senyum seadanya. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN