Pergi

1684 Kata
Setelah mendapat informasi bahwa pemotretan diundur jadi Minggu depan membuat akhir pekan gue terasa seperti surga. Akhirnya gue bisa hidup tenang selama dua hari tanpa bertemu Sherly. Si manager cerewet yang suka ngatur-ngatur. Santi masih mendengkur di samping gue. Dia sepertinya kelelahan, tapi memang dasarnya Santi itu pemalas. Gue segera membasuh wajah lalu turun ke lantai bawah. Di meja makan sudah tersedia sarapan dua porsi. Mungkin papa dan mamanya Santi pergi lagi, mereka sangat sibuk mengurus bisnis keluarga. Bahkan Santi pernah bilang waktu dengan orang tuanya tidaklah banyak apalagi jadwal kerja Santi juga padat sehingga sulit untuk menyempatkan waktu bersama keluarga. “Kak Santi.” Gue langsung menoleh pada Sinta yang menuruni anak tangga. Gadis itu membawa tas punggung yang cukup besar. “Kamu mau ke mana?” Deru mesin mobil terdengar di luar sana. Sepertinya Sinta akan pergi bersama temannya. Penampilan Sinta sedikit berubah. Rambut panjangnya sudah dipotong yang membuat wajahnya terlihat lebih muda. Gue gak tahu sejak kapan Sinta mengubah gaya rambutnya. “Aku dan Dodit mau kemah ke Bandung. Aku sudah bilang ke papa dan mama melalui telepon dan mereka mengizinkan.” Baru saja membahas si Dodit pria itu sudah berada di depan pintu yang terbuka. Dodit pria yang kalem dan terlihat sopan, tapi kalau mereka pergi berdua gue jadi tidak nyaman. Walau pun Sinta bukan adik kandung gue dan si Dodit adalah sepupunya tetap saja gue kurang nyaman. “Kalian pergi berdua?” “Eee… ada teman lagi, Kak,” sahut Sinta cepat. Sinta tersenyum membuat gue lega. “Kamu sudah ada bekal?” Sinta membulatkan matanya lalu mengerjap berkali-kali. Dia terdiam lalu mengangguk kaku. “Sudah, tenang saja kalau kurang tinggal minta ke Dodit,” ucap Sinta membuat Dodit memalingkan wajahnya. “Hati-hati di jalan. Jaga diri baik-baik, jangan macam-macam. Ingat kalian sepupu.” Sinta menggaruk kepalanya. “Kakak pikir kita mau ngapain?” “Hehe, kakak hanya khawatir sama kamu.” Refleks gue memeluk Sinta. Biasanya Kak Stefan melalukan hal ini kalau gue mau pergi jauh. Mungkin ini yang dirasakan Kak Stefan sama gue, rasa khawatir yang berlebih. Walau gue bukan kakaknya Sinta tapi dia sudah gue anggap keluarga. Sinta melepas pelukan gue. Ia menunduk sambil menyeka air matanya. Gue tidak tahu kenapa Sinta bisa menangis karena sebuah pelukan. “Aku pergi dulu.” Sinta berlari keluar rumah lalu Dodit menyusul. Kaki ini melangkah ke pintu melihat Dodit mengejar Sinta. “Dit, jagain Sinta. Kalau ada apa-apa gue sunat lo sampai habis!” Dodit berhenti sejenak lalu berlari masuk ke taksi menyusul Sinta kemudian pergi. Tinggal gue sendiri di rumah ini. “Kok sepi sih, lo lihat Sinta gak?” Santi menuruni anak tangga dengan penampilan yang acak-acakan. Ia duduk di kursi menghadap meja makan lalu menyantap sarapan. “Dia baru saja pergi sama Dodit. Katanya mau kemah ke Bandung.” Gue langsung duduk di samping Santi dan mulai sarapan. “Lo gak khawatir sama Sinta?” Santi meminum jusnya. “Ngapain khawatir? Mereka memang sering keluar bareng. Kadang gue mikir siapa kakaknya. Sinta dekat banget sama si Dodit. Makanya gue gak suka sama si kunyuk.” Gue rasa Sinta dan Santi saling sayang hanya saja cara penyampaian mereka terlalu unik. Sampai-sampai orang lain kira mereka musuhan. Kita menghabiskan sarapan dalam diam sampai akhirnya Santi membahas tentang nenek tua misterius itu. “Lo gak ada kerjaan, kan?” Gue menggeleng membuat Santi mengacungi jempolnya. “Seharian ini kita harus mencari si nenek. Gue pengen kembali normal.” “Mau cari di mana?” “Ya, sekitar jalan waktu itu.” “Oke, gue mandi dulu.” Setelah membawa piring kotor ke dapur gue bergegas membersihkan diri. Santi bisa marah kalau gue tidak merawat tubuhnya dengan baik. Bisa-bisa gue diseret ke spa saat ini juga. Perjalanan diawali mencari di tempat terakhir kali bertemu si nenek. Kami bertanya-tanya pada penduduk sekitar tentang sosok si nenek yang kami temui tempo hari. Tidak ada orang yang kenal dan itu membuat kami hampir menyerah. Setengah hari mencari namun belum menemukan hasil. Bahkan kami nekat masuk ke perkampungan untuk melihat apakah nenek itu ada di tempat itu atau tidak. “Kenapa susah banget nyari nenek itu,” keluh Santi. Saat ini kita berdua ada di warung makan. Rasa lapar sudah tidak bisa ditahan. Perih di lambung membuat kami harus menghentikan pencarian sementara waktu. “Gue pikir si nenek itu memang tidak ada. Mungkin saja itu hanya hayalan kita berdua.” Santi menghabiskan es jeruknya. Dia terlihat sangat haus dan juga lapar. “Jangan nyerah, gue yakin nenek itu ada dan kita akan kembali seperti semula. Gue optimis bisa menemukannya.” Santi masih menggebu-gebu sepertinya dia tidak menikmati hidupnya sebagai Kanaya. Bahkan Santi sekali pun tidak bisa menikmati hidup sepertiku. Hari ini kami cukupkan pencarian si nenek. Santi kembali menginap di rumah mengingat gue hanya sendiri. Malam ini kembali hujan, angin bertiup kencang. Gue cepat-cepat tutup jendela yang tadi sempat terbuka. Gorden putih sedikit basah karena cipratan air hujan yang masuk ke kamar. Santi sedang tiduran di kasur sambil. “Sini.” Santi menepuk sisi di sebelahnya yang kosong. Gue langsung duduk di tempat yang ia suruh. Santi langsung duduk lalu berjalan ke meja mengambil sebuah mangkuk dan kuas kecil. “Tiduran. Lo harus maskeran biar wajah gue tetap kencang,” kata Santi. Gue hanya pasrah. Juga ini tubuh punya Santi jadi wajar saja kalau ia merawatnya. “Semua wanita itu ditakdirkan untuk cantik jadi harus percaya diri. Jangan takut bersolek, gak salah asal jangan berlebihan. Ibaratkan kemasan makanan yang menarik mata untuk meliriknya.” Santi terus mengoceh sampai mata gue terpejam. Rasa lelah seharian ini mencari si nenek membuat sekujur tubuh gue kaku. Entah sudah berapa jam gue tidur kemudian terasa tubuh ini terguncang. Santi yang wajahnya sudah bersih mengguncang kuat tubuh gue dan mengganggu tidur. “Cuci muka dulu baru tidur,” kata Santi membuat gue malas beranjak dari tempat tidur. Santi mendorong tubuh gue masuk ke kamar mandi. Karena lelah cepat-cepat gue basuh wajah dengan air mengalir. Sejenak gue terdiam menatap pantulan diri pada cermin. Wajah cantik mulus tanpa noda adalah dambaan para wanita. Santi benar setiap wanita punya aura cantiknya sendiri dan gue meras orang yang gue tatap di cermin saat ini adalah diri gue sendiri. Kanaya yang wajahnya ada biji kacang. Gue segera keluar dari kamar mandi lalu ikut berbaring di samping Santi. Semua kejadian yang pernah gue lalui selama berada di tubuh Santi berputar di kepala gue seperti film. Banyak hal yang tidak pernah gue lakuin selama ini. Dunia terlalu luas dan gue hanya menjalani bagian kecilnya saja. *** Pagi menjelang dan gue sudah sibuk di dapur. Mengandalkan Santi membuat sarapan adalah sesuatu yang mustahil. Santi tidak pernah memegang wajan apalagi menyalakan kompor. Setelah selesai membuat sarapan kini gue harus membersihkan rumah. Hari Minggu yang melelahkan tapi gue lebih suka membersihkan rumah dari pada bekerja sebagai model. Santi berteriak dari lantai atas tepat saat gue mengambil sapu. Ia langsung menarik tangan gue ke kamar. “Nat, cepat mandi sekarang ada pemotretan,” ujar Santi panik. “Bukannya diundur?” “Gak jadi, tiba-tiba patner lo gak bisa Minggu depan. Sudah cepat mandi.” Gue segera mandi. Hancur sudah hari Minggu gue. Kenapa mereka tidak mengabari kemarin malam sih. Santi memilihkan baju sekaligus mendandani gue. Saat sudah siap untuk berangkat tiba-tiba ponsel Santi berdering dan dia menatap gue sebelum mengangkatnya. “Kak Stefan,” kata Santi. “Loudspeaker.” Santi menekan tombol pengeras suara sehingga suara Kak Stefan bisa gue dengar. “Nyet bisa ke rumah sakit? Silvi sakit dan gue harus pulang ke rumahnya buat ngambil keperluan dia. Lo bisa ke rumah sakit sekarang jagain Silvi?” Gue mengangguk membuat Santi cemberut. “Iya, gue ke sana sekarang,” jawab Santi. “Thanks, Nyet.” Sambungan terputus membuat Santi menghentak kesal. “Gue kangen studio. Gue pengen ikut pemotretan,” ujar Santi. “San, tolong jagain Kak Silvi, dia calon kakak ipar gue. Dia lagi butuh gue di sana. Lo gak perlu khawatir masalah pemotretannya. Gue akan melakukan yang terbaik.” Gue berusaha menenangkan Santi. Setelah berbincang sebentar akhirnya diputuskan Santi akan ke rumah sakit menggunakan mobil sementara gue akan naik taksi. “Radit!” panggil gue saat kita sudah berada di halaman. Radit yang sedang memotong rumput pun menoleh. “Ada apa?” “Boleh pinjam motor gak? Gue buru-buru.” Radit tidak langsung menjawab. “Gak. Entar motor gue masuk ke kali. Lo, ‘kan gak bisa naik motor, San,” ucapnya. “Bagaimana kalau lo saja yang anterin dia ke studio?” usul Santi membuat gue mendelik. Bisa-bisanya dia memiliki ide seperti itu. “Oke, tunggu sebentar aku ambil kunci dan jaket dulu,” kata Radit membuat gue semakin bingung. Baik banget si Radit, biasanya dia akan minta imbalan sebelum membantu. Gue segera menemui Radit sementara Santi melesat pergi ke rumah sakit. Radit memberikan helm dan jaketnya. Tanpa banyak bicara gue segera memakainya dan motor pun melaju membelah kepadatan lalu lintas ibu kota. Gue lega akhirnya bisa sampai di lokasi tepat waktu. “Dit, terima kasih, ya.” Radit menarik tangan gue saat akan masuk ke dalam studio. “Ada apa?” Radit melepas cekalannya lalu menggantung helm pada gantungan motor. “Gak apa-apa. Aku pergi dulu, selamat bekerja.” Gue segera masuk ke dalam studio setelah Radit menjalankan motornya. Sherly kembali mengomel. Ia bahkan memarahiku karena susah dihubungi. Selalu saja gue yang disalahkan padahal tidak ada satu pun pesan yang ia kirim semalam. Max sudah berada di ruang make-up saat aku masuk. Pria itu melambaikan tangannya saat pandangan kami bertemu. Dia tersenyum dan itu membuat hati ini berdebar.Sherly mengintrupsi agar gue segera make-up. Tanpa banyak bicara gue duduk di depan cermin besar dan dua orang make-up artist mulai mendandani wajah gue. “Santi aku senang kamu bisa datang, mungkin hari ini akan jadi project terakhir kita,” kata Max membuat gue tertegun. “Kenapa?” “Karena aku akan pergi,” sahut Max membuat perasaan gue sakit. Jadi Max bersungguh-sungguh ingin menetap di luar. Kenapa secepat ini? Aku pikir dia akan pergi beberapa tahu ke depan. Max akan pergi, itu artinya gue tidak bisa bertemu dengannya dalam wujud Kanaya. Max hanya mengenalku sebagai Santi. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN