Flash back
Renata duduk di antara kedua orang tuanya, ditepi tempat tidurnya. Kepalanya menunduk saat mendengar apa yang disampaikan ayahnya.
"Maafkan Ayah, Ta. Ayah tidak tahu lagi harus bagaimana. Ayah tahu, ini seperti menjualmu pada mereka, tapi.... "
"Tidak apa-apa, Ayah. Aku ikhlas menikah, dan tidak melanjutkan pendidikanku. Asal adik-adik bisa tetap sekolah." Renata mengangkat wajah, air mata berlinang di pipi, cepat ia hapus air matanya.
"Pak Reno itu usianya tiga puluh lima tahun, jauh di atasmu. Dia pernah menikah selama lima tahun, tapi tidak memiliki keturunan. Dia baru bercerai dari istrinya, dan orang tuanya yang ingin segera menimang cucu, yang ingin kalian menikah."
"Maafkan ibu, Ta. Ibu tahu, ini seperti merampas masa depanmu.... " ibu Renata terisak pelan.
"Tidak apa, Bu. Aku percaya, masa depanku, masih bisa menjadi milikku. Apapun yang terjadi padaku hari ini."
"Ta.... " pecah tangis ibu Renata, dipeluk erat putrinya. Ayahnya juga tak mampu menahan dua bulir yang menggantung di pelupuk matanya.
Bisnis kayunya hancur, beliau tertipu, modal yang dipinjam dari ayah Reno tak bisa ia kembalikan.
Karena itulah, ia tak bisa menolak, saat ibu Reno mengusulkan perjodohan antara Reno, dan Renata.
"Sudah Bu, jangan menangis. Ini berat untuk kita, tapi kita tidak punya pilihankan. Adik-adik masih perlu biaya untuk melanjutkan sekolah mereka. Setidaknya, dengan aku menerima perjodohan ini, aku bisa mengurangi beban kalian, agar tidak perlu memikirkan cara untuk melunasi hutang. Aku ikhlas Bu, sungguh." Renata menghapus air mata di pipi Nita, ibunya.
Winata, ayahnya merasa teriris hatinya, karena semua ini adalah akibat dari kecerobohannya.
"Ayah menyesal, Ta.... "
"Sudahlah Ayah, dari pada terus memikirkan kegagalan ini, lebih baik Ayah fokus lagi untuk memulai usaha baru, dengan uang yang masih tersisa. Usaha kecil saja dulu Ayah, yang penting cukup untuk kebutuhan sehari-hari."
"Ta.... " Winata tak bisa lagi membendung air mata. Pria empat puluh dua tahun itu cepat menghapus air matanya.
Renata meraih jemari ayah, dan ibunya. Dibawa kebibirnya, dikecup jemari kedua orang tuanya.
"Semoga ikhlasku, bisa membawa kebahagiaan untuk keluarga kita, aamiin."
"Aamiin."
Renata meraih bahu kedua orang tuanya, untuk ia peluk.
Dari balik horden pintu kamar Renata, kedua adiknya, Riko yang usianya 15 tahun, dan Rika yang usianya 12 tahun, ikut meneteskan air mata melihat pengorbanan kakak mereka.
Demi kelangsungan pendidikan mereka, sang kakak bersedia mengorbankan masa depannya.
****
Setelah acara lamaran yang tanpa dihadiri Reno. Akhirnya Renata di boyong ke Jakarta, karena keluarga besar Reno tinggal di sana. Sedang di Kalimantan, Reno hanya bekerja, mengelola sebuah perkebunan kelapa sawit.
Ayahnya, dan ayah Reno memang sudah berteman sejak lama. Ayah Reno sebenarnya memiliki perusahaan juga di Jakarta, yang dulu dikelola Reno dengan ayah, dan kakaknya. Tapi Reno akhirnya memilih menerima tantangan Mr. Lee sahabat ayah Reno, untuk mengelola perkebunan kelapa sawit milik Mr. Lee, seorang pengusaha WNI berdarah Korea, yang memiliki berbagai usaha. Begitulah yang diceritakan Winata pada Renata.
Tiba di Jakarta, Renata beserta keluarganya, ditempatkan di sebuah rumah besar milik keluarga Reno. Mereka akan tinggal di sana selama beberapa waktu.
Akad nikah akan diadakan hari Jumat, dan resepsi dilakukan malam harinya, disebuah hotel berbintang lima.
Renata merasa gugup juga. Apa lagi ia hanya melihat Reno baru dari fotonya saja. Reno memang tampak seperti om-om baginya. Tubuhnya sangat besar menurut penilaian Renata. Lebih besar dari tubuh ayahnya.
Hari pernikahan mereka tiba, Renata tak bisa menutupi rasa gugupnya. Keluarganya memuji kecantikannya, saat ia selesai di rias, dan siap untuk menghadapi perubahan status dalam hidupnya. Dari seorang gadis, menjadi seorang istri.
Renata bisa mendengar, Reno mengucap ijab kabul dengan lancar. Setelah itu ia dituntun ke luar, untuk duduk bersanding dengan Reno. Dugaan Renata ternyata benar, tubuh Reno menjulang di hadapannya. Ia harus mendongak agar bisa menatap wajah suaminya.
Tidak ada senyuman, wajah itu terlihat sangat datar, bahkan terkesan dingin. Renata tak mampu menatap lebih lama, ia menundukan kepala, dan fokus pada jari mereka, yang tengah memasang cincin di jari satu, dan lainnya.
Renata merasakan, menjalani pernikahan ini tidak akan mudah baginya, jika melihat sikap Reno yang sangat dingin padanya. Tapi, ia bertekad, untuk bertahan, apapun yang akan terjadi nanti. Demi, kedua orang tua, dan demi masa depan kedua adiknya.
'Ya Allah, aku pasrahkan padaMu, senyum, dan tangisku, susah, dan senangku. Suka, dan dukaku. Aku meyakini, dan sangat percaya, hanya Kau yang tahu apa yang terbaik untukku. Pernikahan ini adalah takdirMu. Jika tak berbuah bahagia bagiku, maka aku mohon, tolong tabahkan hatiku, kuatkan ikhlasku, besarkan sabarku. Hanya itu yang aku mohon padaMu, aamiin'
Doa itu yang teruntai di dalam hati Renata, setelah menyadari kalau sikap Reno sangat jelas menunjukan, kalau pria yang kini menjadi suaminya itu tidak menyukainya.
Akad nikah di pagi hari, berlanjut dengan resepsi mewah di malam hari. Tentu sebuah pernikahan, dan perkawinan impian setiap wanita. Tapi, sayangnya tidak begitu yang terjadi bagi Renata.
Renata merasa sendirian di tengah banyaknya undangan. Tak banyak yang ia kenal dari para tamu yang datang. Sesi foto yang diatur oleh fotografer kawakan, membuat ia dan Reno harus bersentuhan, dan bertukar senyuman. Renata berusaha menutupi kegugupan, dan kecanggungannya. Menutupi rasa cemasnya, akan apa yang terjadi nanti, setelah pesta berakhir, dan hanya ada dirinya, dan Reno saja berdua.
Rasa cemas itu membuatnya merasa gelisah. Ia mulai merasa gerah, dan lelah. Harus menyalami sekian banyak tamu. Namun, Renata mencoba untuk bertahan. Mencoba untuk tetap berdiri, dan tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, ataupun pada setiap sesi foto bersama.
Renata merasa lega, saat pesta sudah usai, dan ia bisa segera beristirahat di dalam kamarnya. Namun, saat tiba di dalam kamar yang diperuntukan untuknya, dan Reno. Renata tertegun sejenak, matanya menatap ke arah ranjang yang dipenuhi kelopak bunga mawar yang dibentuk simbol hati.
Renata tersentak dari lamunannya, ia memutar tubuhnya, saat pintu kamar terbuka, dan Reno muncul di sana. Tatapan mereka bertemu, mata Renata mengerjap beberapa kali, rasa gugup, dan cemas kembali muncul di dalam hatinya. Reno maju selangkah demi selangkah mendekatinya. Mereka berdiri berhadapan, dengan jarak yang cukup dekat. Renata bergidik, karena merasakan dinginnya wajah, dan tatapan Reno kepadanya.
Renata mundur dua langkah, Reno maju satu langkah. Tubuh Renata gemetar, kecemasan itu semakin merajalela, membuat tubuhnya bergetar, matanya terasa mengabur, tatapannya berputar. Dan....
BERSAMBUNG