Rena ingin menyalami Reno setelah mereka selesai sholat subuh. Tapi, Reno mengabaikan uluran tangan Rena. Rena hanya bisa menghela napas, dan akhirnya melepas mukenanya.
Reno meletakan sajadahnya di sofa, lalu melepas sarung, dan baju kokonya. Diganti dengan kemeja, dan celana jeans yang diambil dari dalam lemari.
Rena yang semula menatap Reno, mengalihkan pandangannya, karena Reno berganti pakaian di depannya. Hanya celana dalam yang menggantung di pinggang Reno.
Rena ingin merapikan tempat tidur, matanya tertumbuk pada noda darah di atas sprei. Ia terdiam sesaat, ada kaca di bola matanya. Kaca yang pecah, dan jatuh membasahi pipinya. Sungguh yang dialaminya saat ini, bukanlah pernikahan, dan bukan juga malam pertama impian, bagi semua gadis.
'Ikhlas Rena, jangan nodai keikhlasanmu dengan penyesalan. Kau yang menyanggupi menerima ini semua.... '
"Kau melamun!" Rena terbangun dari lamunannya, dihapus air matanya.
"Hey, kau tidak mendengar apa yang aku katakan?"
Rena memutar tubuhnya, ditatap wajah Reno yang tampak kesal padanya.
"Maaf Om, Om bicara apa?"
"Jadi kau benar-benar melamun?"
"Maaf.... " Rena menundukan kepala, ia tidak berani menatang tatapan Reno padanya.
"Hhhhhh, bersiaplah, kita sarapan ke luar!"
"Bersiap, bersiap bagaimana? Aku sudah si.... "
"Berdandan Renata, kalau wajahmu sepolos itu, nanti orang pikir kau anakku, paham!?"
"Aku sudah pakai bedak, Om."
Reno menghembuskan napasnya kesal.
"Kau bisa pakai lipstik tidak?"
"Bisa," kepala Rena mengangguk.
"Kalau begitu cepat pakai lipstikmu!"
"Iya Om"
"Jangan lama-lama, jangan sampai orang tua, dan keluargaku yang menunggu kita, paham!"
"Paham Om."
Rena duduk di depan meja rias. Memang ia sendiri yang mengeluarkan alat make up itu dari dalam koper. Tapi, ia cuma tahu cara memakai bedak, dan lipstik. Jadi hanya itu yang ia pakai.
"Rena!"
"Iya Om, sudah selesai," Rena cepat bangkit dari duduknya, lalu menyusul Reno yang sudah ke luar dari pintu kamar hotel.
Reno menatap wajah Rena, meski sudah memakai lipstik, tetap saja Rena di matanya seperti bocah SD. Ditatap apa yang dipakai Rena dari ujung kaki sampai ujung rambutnya.
"Kenapa pakai sendal hotel, Rena!"
"Maaf Om, lupa," Rena kembali ke dalam kamar.
"Pakai yang high hels, biar kamu kelihatan lebih tinggi sedikit!"
"Iya, Om." Rena tak berani membantah, meski kakinya masih terasa sakit bekas resepsi semalam. Dan, miliknya masih terasa aneh saat ia berjalan.
Setelah Reno mengunci pintu kamar hotel, Rena membuntuti langkah Reno, untuk menuju lift. Tanpa sadar, ia memegangi lengan kemeja Reno, Reno menunduk untuk menatap lengannya yang seperti ditarik.
"Apa yang kau lakukan!"
"Maaf Om, maaf.... " Rena melepaskan pegangannya. Ia takut tercecer di belakang Reno, karena satu langkah Reno hampir sama dengan dua langkah kakinya. Apa lagi Reno berjalan dengan cepat.
Reno berhenti di depan lift, ia menolehkan kepala mencari Rena. Keningnya berkerut, Rena tidak ada di sampingnya. Diputar tubuhnya, tampak Rena tergopoh berjalan ke arahnya, sepatunya bukan berada pada kakinya, tapi dalam jinjingan tangannya.
"Apa yang kau lakukan, Rena!"
"Kakiku sakit, Om."
"Dari kamar ke sini itu tidak jauh, jangan mengada-ada, Rena!"
"Om tidak percaya, lihat kakiku merah-merah, aku tidak tahu kenapa kakiku, dan pahaku banyak merah-merah begini." Rena mengangkat sedikit ujung dress yang ia pakai.
Reno mengusap kepala, dihembuskan kuat napasnya. Tampaknya Rena baru menyadari bercak merah di kaki, dan pahanya. Padahal bercak itu sudah ada sejak tadi malam. Buah karya dari bibir Reno yang lupa daratan. Reno mengedarkan pandangan, untungnya tidak ada orang lain selain mereka. Mungkin karena masih terlalu pagi, bagi penghuni hotel lainnya.
"Sudahlah, ayo masuk."
Reno, dan Rena masuk ke dalam lift. Mereka berdiri berjauhan, seperti orang yang tidak saking mengenal.
"Pasang lagi sepatumu!" perintah Reno. Rena tidak berani membantah, dipasang lagi sepatunya.
Mereka tiba di lantai bawah, dan segera menuju restoran tempat Reno, dan keluarganya janji berkumpul untuk sarapan. Ternyata belum ada keluarga Reno yang datang.
Mereka duduk berdua, Reno mengambil ponselnya, sedang Rena melemparkan pandang ke luar jendela. Ia lupa membawa ponselnya, karena tergesa menuruti perintah Reno yang memintanya cepat.
Rena menopang dagu dengan satu tangannya, ia masih asik menatap ke luar jendela, sedang Reno asik dengan ponselnya.
"Kalian sudah datang!"
Suara itu membuat Reno, dan Rena bangkit dari duduk mereka.
"Ibu, Ayah.... " Reno meraih, dan mencium punggung tangan kedua orang tuanya, ia juga melalukan hal yang sama pada kedua orang tua Rena. Rena juga mencium punggung kedua orang tua, dan mertuanya.
Rena cukup terhibur melihat sikap sopan Reno pada kedua orang tuanya. Usia Reno hanya selisih dua tahun dari ibu Rena. Reno 35 tahun, ibu Rena 37 tahun. Namun, Reno tetap bersikap hormat pada ibu mertuanya. Dan, terlihat hormat juga pada ayahnya, itu sangat melegakan bagi Rena.
Kedua adik Rena mencium punggung tangan Rena, dan Reno. Tidak berapa lama, datang keluarga lainnya yang menginap di hotel itu. Mereka berkumpul untuk sarapan bersama, sebelum semua pulang, dan kembali pada aktifitas mereka.
"Nanti siang, kami semua akan pulang. Sedang kalian masih tiga hari lagi di sini. Gunakan waktu sebaik-baiknya, agar Rena bisa cepat 'isi'." Ibu Reno menatap Reno, dan Rena bergantian. Ia tersenyum saat melihat semburat merah di wajah Rena, dan bercak merah di leher menantunya.
Beliau yakin, Reno sudah memulai untuk mewujudkan keinginannya. Keinginannya untuk memiliki cucu dari Reno.
BERSAMBUNG