PART. 9

894 Kata
PART. 9 Setelah sholat subuh, Renata berdiri di depan pintu kamar Reno, dengan tiga test pack di tangannya. Diketuk pintu kamar Reno, dengan perasaan bimbang. Pintu kamar terbuka, tampak Reno sudah memakai kemeja kerjanya. "Ada apa?" "Aku hamil, Om." Renata langsung memperlihatkan ketiga test pack di tangannya. Ia sudah mempersiapkan diri, apapun tanggapan Reno terhadap kehamilannya. Reno terdiam sesaat, kepalanya menunduk, untuk menatap tiga test pack yang di perlihatkan Renata padanya. "Baguslah, artinya tujuan pernikahan ini sudah tercapai. Jaga kandunganmu dengan baik, agar kita tidak perlu bersusah payah lagi membuatnya, paham!?" "Ya Om," Renata menjawab dengan suara tercekat di tenggorokan, air mata menggantung di pelupuk matanya, saat Reno menutup pintu di depan hidungnya, seakan kehamilannya bukanlah sesuatu yang penting bagi Reno. "Sabar, Non. Ayo kembali ke kamar saja, setelah Den Reno berangkat ke kantor, kita ke Puskesmas ya. Kita periksa kesehatan Non, juga keadaan calon bayinya. Sikap, dan ucapan Den Reno, tidak usah dimasukan ke dalam hati." Bik Tami membimbing lengan Renata menuju kamar tidur. Tampaknya bik Tami, mendengar, dan melihat yang baru saja terjadi tadi. Renata duduk di tepi ranjang. Bik Tami duduk di sebelahnya. "Kalau dia tidak perduli padaku, aku tidak apa-apa, Bik. Tapi, inikan anaknya, bukan anakku saja. Kenapa dia tidak ada perhatian sama sekali. Aku sakit hati.... " Renata menangis dengan suara cukup nyaring, ia berharap Reno mendengarkan tangisannya. "Bibik tidak tahu harus berkata apa, Non. Bibik cuma bisa meminta Non untuk sabar. Biarkan saja Den Reno dengan pikiran, dan sikapnya. Suatu saat,  yakinlah kalau dia akan menyesali apa yang dia lakukan hari ini. Non jangan berkecil hati, masih ada orang tua Non, juga orang tua Den Reno yang akan menyambut gembira kehamilan Non. Telpon mereka, sampaikan berita gembira ini. Jangan menangis lagi ya, Bibik ingin melanjutkan pekerjaan di belakang dulu." Bik Tami mengusap air mata di pipi Renata. "Terima kasih, Bik." Renata memeluk Bik Tami. Bik Tami balas memeluk Renata, diusap lembut kepala Renata. Benar seperti yang dikatakan Bik Tami, kedua orang tua Renata, dan kedua orang tua Reno, menyambut dengan suka cita kehamilannya. Berulang kali ucapan syukur terlontar dari mulut ibunya, dan juga ibu Reno. Itu sungguh sangat berarti bagi Renata. Setidaknya ada yang memperhatikan dirinya, dan juga calon bayinya. Namun, disaat Renata sendirian di dalam kamar, rasa sakit hati pada Reno kembali membuatnya meneteskan air mata. Dengan darah dagingnya sendiri saja Reno tidak perduli, apa lagi padanya, yang dinikahi, hanya untuk mengandung, dan melahirkan anaknya. Renata merasa Reno sudah mengibarkan bendera perang dengan sikap masa bodohnya, maka Renata juga berusaha masa bodoh dengan sikap Reno, meski sejujurnya, di dalam lubuk hatinya, ada luka dari rasa kecewa karena Reno tak perduli pada calon bayi mereka. Renata berusaha menghindari pertemuan dengan Reno. Agar kemarahannya tidak meledak di depan Reno. Otomatis, mereka kembali tidak bertemu, selama beberapa waktu. Renata berusaha tetap gembira, dengan kegiatannya berkebun sayuran bersama Bik Tami. Siang ini, Renata, dan Bik Tami baru pulang dari PUSKESMAS. Ini untuk kali kedua Renata memeriksakan kehamilannya. Dokter meminta ia untuk rutin periksa satu bulan sekali, sampai nanti usia kandungan memasuki tujuh bulan, ditingkatkan menjadi dua minggu sekali. Setelah jalan sembilan bulan, menjadi satu minggu sekali. Baru saja mereka memasuki rumah, saat ponsel Bik Tami berbunyi. Bik Tami tampak hanya mengatakan ya, dan baik Den, saja. Renata yakin, kalau Reno yang sedang menelpon Bik Tami. "Tuan besar, dan nyonya besar mau datang. Den Reno meminta bibik memindahkan semua barang Non ke kamar Den Reno. Karena Tuan, dan nyonya akan menginap di sini." "Masih ada satu kamar kosongkan, Bik?" "Betul, tapi bukan tentang kamarnya, Non. Den Reno tidak mau orang tuanya tahu, kalau kalian tidur pisah kamar," ujar bik Tami menjelaskan. "Ooh.... " "Non duduk saja, sebentar lagi Mang Dul pulang untuk membantu Bibik memindahkan barang Non." "Aku ingin ke dapur, Bik, haus." "Ya sudah, tidak usah mengerjakan apa-apa di dapur ya Non. Non harus istirahat." "Iya, Bik." Renata duduk di kursi dapur dengan segelas air putih di tangannya. Ia yakin, pasti akan ada kekikukan nantinya di antara dirinya, dan Reno. Setiap mengingat Reno, saat itu juga hatinya terasa sakit. Sangat sakit. Bukan karena ketidak perdulian Reno padanya, tapi karena Reno tidak perduli pada calon bayi yang merupakan darah daging Reno sendiri. Mengingat hal itu, jatuh air mata di pipi Renata. Ia terisak pelan, bahunya terguncang. "Ada apa!?" Renata terlonjak bangun dari duduknya, dihapus air mata yang membasahi pipi. Reno sudah berdiri di dekatnya. Ada buku dengan cover bergambar sebuah keluarga berwarna pink di tangannya. Itu buku KIA milik Renata yang tadinya di simpan bik Tami di dalam tas bik Tami. "Semuanya baik saja bukan, tidak ada yang perlu dicemaskan." "Iya, Om," kepala Renata mengangguk. "Jadi, apa yang membuatmu menangis?" Renata mendongakan wajahnya, ditatap wajah datar Reno yang juga tengah menatapnya. "Tidak ada," Renata menggelengkan kepala. Ia ingin sekali membenci Reno, ingin sekali memukuli Reno, ingin sekali mengumpat Reno, tapi ia tak bisa melakukannya. "Aku tidak perlu mengajarimu, apa yang harus kamu lakukan selagi orang tuaku di sini, bukan. Atau aku harus mengatakan satu persatu apa yang harus kamu lakukan?" "Tidak perlu, aku bukan anak kecil lagi yang harus diajari caranya bersandiwara!" Sahut Renata ketus, lalu ditinggalkannya Reno sendirian di dapur. Reno menatap punggung Renata, ia cukup terkejut dengan sikap ketus yang ditunjukan Renata padanya. Renata masuk ke dalam kamar tidurnya yang tengah dibereskan bik Tami, dan mang Adul. Ia menarik napas lega, karena pada akhirnya, ia bisa sedikit menumpahkan kekesalan hatinya pada Reno. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN