Ini sudah hari ke 3 Aditya mengantar dan menjemput Ranis kerja. Meski Ranis hanya mendiamkannya saja selama mereka berada dalam satu mobil, tapi Aditya seolah tidak merasa keberatan sedikit pun. Ranis sendiri sebenarnya tidak suka dengan suasana hening dan awkward seperti ini. Ketika untuk pertama kali jalan saja, mereka tidak secanggung ini suasananya.
"Nanti nggak usah jemput. Aku mau ke toko buku dulu," ucap Ranis tanpa melepas pandangan dari luar kaca depan.
"Aku antar."
"Adit, aku bisa naik taksi kok. "Don't treat me like a child!"
Terdengar suara decitan ban mobil yang bersentuhan dengan aspal jalan raya. Membuat mobil angkutan di belakang mobil Aditya ikut berhenti dan saat mendahului mobilnya sopir angkot terus memakinya. Tapi sepertinya Aditya tidak peduli. Aditya melepas seat belt nya lalu membalikkan tubuh menghadap pada Ranis.
"You are crazy!!! Aku nggak mau mati muda ya!" hardik Ranis jengkel.
"Setelah 7 tahun akhirnya aku bisa denger kamu nyebut namaku lagi."
"This is not funny!"
Ranis lalu diam mendengar jawaban Aditya setelah memberi laki-laki itu sarapan makian darinya pagi ini. Wajah tampan Aditya justru tersenyum lega. Ya Ranis harus mengakui Aditya itu memang tampan. Hanya perempuan buta yang tidak bisa melihat ketampanannya.
Dan Aditya yang sekarang jauh lebih tampan dari 14 tahun lalu saat Ranis pertama kali mengenalnya. Lebih matang dari 13 tahun yang lalu saat Ranis menerima pernyataan cintanya. Dan terlihat lebih dewasa dari 7 tahun yang lalu saat Ranis memutuskan untuk tidak ingin melihat wajahnya lagi, bahkan menyebut namanya pun enggan. Tapi tak bisa dipungkiri jika jantung Ranis tetap berdenyut setiap kali ada yang menyebutkan nama laki-laki itu di hadapannya, masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, meski Ranis memutuskan untuk tidak mengingatnya lagi. Perasaan apa ini? Ranis benci terkungkung oleh perasaan seperti ini. Dia seolah ikut menanggung dosa yang bukan perbuatannya.
"Ayo jalan, aku sudah telat."
Ranis membuang muka untuk tidak melihat Aditya. Dia biarkan pandangannya melihat pemandangan dari kaca jendela samping. Aditya memakai kembali seat belt-nya dan melajukan mobil perlahan menekuni macetnya kota metropolitan pagi ini.
Seperti biasa Aditya akan membantu Ranis turun dari mobil dan memapah tubuh sintalnya menapaki beberapa anak tangga hingga sampai di depan pintu kantor.
"Udah di sini aja."
"Kenapa sih, Ra? Aku cuma mau mastiin kamu baek-baek aja, nyampek ruangan kamu dengan selamat."
"Aku bisa sendiri."
"Bisa sendiri gimana? Berdiri tegak aja kamu nggak bisa, jalan masih sempoyongan gitu."
"Ach udah," mata Ranis berputar melihat sekitar lobi kantor mencari siapa yang kira-kira bisa membantunya.
"Ris, Risma!"
Ranis memanggil salah satu junior reporter majalah Famous untuk mendekat. Kebetulan dia berada tidak jauh dari posisinya berdiri saat ini.
"Ya Bu?"
"Bantu saya jalan dong sampe lift."
"Ya bu, mari!"
Ranis melepas paksa pegangan Aditya di lengannya, lalu memegangi lengan Risma yang tubuhnya sedikit lebih kecil dari tubuh Ranis.
Jangan terkejut jika Risma memanggil Ranis dengan sebutan Ibu. Siapa saja yang berada di deretan posisi penting di Famous akan dipanggil Bapak dan Ibu oleh orang sekantor. Tidak peduli dia masih muda, ya harus rela dipanggil Bapak atau Ibu selama masih jam kantor. Di luar jam kantor ya terserah mau panggil apa saja. Cukup nama pun tidak masalah.
"Nanti aku jemput ya," ucap Aditya saat Ranis telah berjalan beberapa langkah darinya.
"Nggak usah!"
Tidak ada sahutan lagi dari Aditya. Lebih baik semuanya berjalan seperti ini. Terlalu sulit rasanya bagi Rengganis untuk berdamai dengan masa lalunya. Aditya juga tidak tahu mesti berbuat apa saat ini untuk meluluhkan hati Ranis.
---
Jam digital dari pergelangan tangan gadis itu sudah menunjukkan pukul 18:00. Seharusnya dia bisa pulang sejak satu setengah jam yang lalu. Tapi hari ini terlalu padat, karena para redaktur, wartawan dan reporter menyerahkan hasil tulisan dan liputannya di hari Kamis atau Jumat. Agar bisa naik cetak di hari Minggunya.
Ranis menatap layar laptop di hadapannya, lalu memilih simbol shutdown. Tak lama intercom di sebelahnya berbunyi nyaring di ruangannya yang sepi.
"Ya, Ranis di sini."
"Bu, ada mas Aditya di bawah."
"Lah terus?"
"Ya nggak terus bu. Soalnya nanyain Ibu sudah pulang apa belum. Saya jawab belum ada keliatan tur-"
"Ayo Ra pulang, katanya mau mampir ke toko buku."
Astaga, itu benar-benar suara Aditya. Ranis menggeram dan mematikan intercom dengan kasar. Sungguh laki-laki itu pantang menyerah meski telah diacuhkan bahkan kena maki Ranis beberapa kali.
Apa lagi sih maunya? Tanya batin Ranis.
Ranis pun mengangkat pantatnya dari kursi kerja pelan-pelan. Melihat sebentar suasana di luar ruangannya. Ternyata bilik-bilik kubikel di luar ruangannya sudah pada sepi, itu artinya tidak ada satu orang pun yang bisa ia mintai tolong untuk memapah tubuhnya hingga ke lift.
Sebelum melangkah sendirian, Ranis menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan tenaga agar kuat menggerakkan kakinya yang cukup menyakitkan itu. Perlahan tapi pasti, Ranis meraih hand bag di atas meja. Kemudian berjalan perlahan dengan tertatih. Kakinya masih terasa sangat nyeri ketika digerakkan, bengkaknya juga masih kentara. Fyi saja, selama 3 hari ini Ranis harus ke kantor dengan sandal rumah alias sandal jepit.
Ketika sudah tiba di pintu ruangannya, Ranis melepaskan napas yang tertahan sejak tadi. Setelah mengunci pintu ruangan dia menarik napas kembali dan mencoba melangkah sambil berpegangan pada triplek pembatas kubikel-kubikel di luar ruangannya. Saat akan menggapai dinding di samping lift tubuhnya kehilangan keseimbangan. Tepat pada saat pintu lift terbuka Aditya berhasil menangkapnya, sehingga Ranis tidak jadi jatuh tersuruk ke lantai.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Menurut lo?"
Aditya membantu Ranis bangun dan memapah masuk ke dalam lift sambil membawakan hand bag milik Ranis. Entah kenapa itu hand bag Channel kelihatan tetap menarik di tangan Aditya, tidak sedikitpun mengurangi sisi maskulinnya. Ranis mengulum senyum dan memalingkan wajah menatap dinding lift di sampingnya.
"Kenapa senyum-senyum?" tanya Aditya karena merasa Ranis sedang memerhatikannya.
"Enggak."
"Lagi mikirin aku ya?"
"Ngarep!"
"Iya juga nggak apa-apa kok, Ra."
Ranis memutar bola matanya jengah, sedangkan Aditya malah terkekeh melihat ekspresi yang menurutnya sangat menggemaskan itu. Hingga tanpa Ranis sadari bahwa saat ini ia tengah berada dalam pelukan Aditya. Tangan kanan Ranis melingkar di leher Aditya, sedangkan tangan kiri Aditya melingkar sepenuhnya di pinggang Ranis. Bahkan ketika laki-laki itu tertawa, Ranis bisa merasakan getaran tubuh Aditya.
Ranis merasa tak berdaya jika sudah begini. Ranis akan melemah jika terus-terusan berada di dekat seorang Kevin Aditya. Rasanya percuma benteng pertahanan yang ia bangun selama 7 tahun ini. Lama-lama akan roboh juga.
"Jadi ke toko buku?"
"Nggak. Aku mau pulang aja."
"Mami nanyain kamu terus."
Bagaimana bisa Ranis lupa bahwa selama Linda di rawat di rumah sakit, ia belum sekali pun menengoknya. Bukannya tidak menghormati, hanya saja kondisi Ranis memang tidak memungkinkan untuk menjenguk.
Biar bagaimanapun Ranis tetap menghormati Linda sampai detik ini, terlebih beliau adalah ibu mertua kakaknya. Namun Ranis membuat tembok pembatas agar tidak terlalu jauh nyemplung ke dalam keluarga Syahid lagi. Ada ketakutan mendalam dalam hatinya.
Seolah mengerti apa yang sedang dilamunkan oleh Ranis, Aditya kembali bersuara. "Tapi aku bilang kalau kamu lagi sakit, jadi-"
"Bisa anter ke rumah sakit sekarang?"
Aditya menatap Ranis ragu, terkejut juga karena tiba-tiba Ranis mau ke rumah sakit tanpa ada perdebatan terlebih dahulu.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Ganti pertanyaan lain kek. Udah berhari-hari ini pertanyaan itu terus yang aku dengar dari kamu."
Aditya terkekeh lalu pandangannya kembali fokus mengemudi.
Kini Ranis sudah berada tepat di depan pintu kamar VIP tempat Linda di rawat. Aditya menekan perlahan handle pintu, lalu mendorong pintu ke arah dalam dengan hati-hati. Ranis dapat melihat dari sela pintu, Linda sedang tertidur.
"Ayo masuk. Pelan-pelan Ra!"
Aditya menuntun Ranis hingga ke samping ranjang Linda. Lalu mengambilkan kursi lipat untuk gadis itu.
"Mi ..."
Aditya mengusap lembut lengan Mami nya. Bola mata Linda bergerak dan perlahan mulai terbuka.
"Apa, Dit?"
"Ada yang nengokin nih."
Linda kemudian membuka kedua matanya lebih lebar dan tersenyum saat melihat Ranis. Seperti biasa Ranis akan mencium punggung tangannya. Sebenci apa pun Ranis pada Aditya, Ranis tetap menghormati anggota keluarganya, terlebih Mami dan Papi Aditya.
"Katanya Ranis lagi sakit?"
"Cuma keseleo kok, Tan. Agak bengkak dikit. Tapi sekarang udah mendingan. Tante gimana keadaannya?"
"Masih pusing, Nis. Kata dokter belum stabil darahnya."
"Kok bisa sampek pingsan? Emang Tante makan apa?"
"Ini gara-gara Adit. Dia yang bikin darah tante naik drastis. Untung tante nggak mati. Keterlaluan emang ini anak."
"Sshh... Tante ngomongnya jangan gitu dong."
Ranis melirik ke arah Aditya yang saat ini sudah berpindah duduk di sisi ranjang satu lagi sambil memijat kaki Maminya.
"Mi, udah dong ngambeknya. Adit kan udah minta maaf. Ini juga Adit udah bawa Maura kemari. Masih ngambek juga ini?"
"Adit, udah deh nggak usah dijawab. Yang ada Mami nanti makin naek darahnya loh!"
Angin apa yang membuat Ranis tiba-tiba menyambar untuk mengomeli Aditya. Aditya hanya mengulum senyum mendengar omelan yang meluncur begitu saja dari mulut Ranis. Entah apa juga yang ada di otak laki-laki satu ini. Sejak pagi tidak berhenti senyum-senyum tidak jelas begitu.
Tiba-tiba Linda meraih tangan Ranis dan menggenggamnya dengan sedikit meremas jemari Ranis. Dapat Ranis rasakan ada kegelisahan dari caranya meremas.
"Mami harap kamu bisa memaafkan Adit. Katakan apa saja yang Ranis mau untuk Adit lakuin, supaya bisa nebus kebodohannya 7 tahun yang lalu. Adit memang sudah dosa besar waktu itu, tapi masa Ranis nggak bisa buka pintu maaf buat Adit dan kasih Adit kesempatan untuk menebus semuanya? Adit udah jelasin semua sama mami. Mami mohon kamu juga mau dengerin penjelasan Adit ya, Nis."
Ranis terpaku mendengar ucapan Linda baru saja. Setelah Ranis mengerjap dan kesadarannya kembali Ranis menyadari Aditya sekarang sudah berada di sampingnya, meremas lembut pundak Ranis seolah memberikan isyarat yang Ranis tidak mengerti maksudnya apa.
"Udah Mami istirahat dulu ya. Aku sama Maura mau makan dulu. Maura belum makan malam soalnya."
"Kita ngomong di luar aja ya, Ra," bisik Adit di telinga Ranis.
Linda mengangguk lemah. Kemudian Aditya memapah Ranis keluar dari kamar dan mengajak gadis itu kembali ke mobilnya.
"Bisa kamu jelasin apa yang diomongin sama Mami kamu tadi?"
Aditya memejamkan matanya perlahan, lalu mengatur napasnya. Setelah tenang dia kembali membuka kedua matanya.
"Aku udah cerita sama mami."
"Semua?"
"Iya semuanya."
"b******k kamu emang. Jadi karena itu darah Tante Linda sampai naik?"
Aditya mengangguk lemah. Ranis memukul bahunya, sekali, dua kali terus dia memukul Aditya hingga rasanya sudah kehabisan tenaga. Aditya meraih kepalan tangan Ranis dan menggenggamnya dengan erat.
"Maafin aku, Ra. Aku nggak nyangka kalau penjelasanku malah bikin mami anfal. Mami desak aku terus kenapa hubungan kita berakhir begitu saja. Aku bilang kita nggak cocok, mami nggak percaya. Aku bilang kita nggak saling cinta, Mami makin curiga. Aku nggak mungkin jelek-jelekin kamu, atau bilang kalau kamu selingkuh. Yang ada malah bikin Mami tambah marah, karena mami tau kamu jauh banget dari sifat itu. Aku bilang aku yang selingkuh mami malah ketawa Ra, mami tau kalau aku nggak mungkin bisa duain kamu.
"Akhirnya aku bilang aja kalau kamu dan aku nggak pernah putus. Kita berpisah begitu saja setelah kejadian malam itu, tanpa kamu memberikan kesempatan padaku untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya sama kamu."
"Aku benci sama kamu!"
"Dengerin penjelasanku dulu, Maura!"
"Nggak ada yang perlu dijelasin lagi. It's over. Udah selesai semuanya. Aku sudah bisa tanpa kamu. Kita sudah punya tujuan hidup kita masing-masing. Sejak malam itu jalan hidup kita udah beda, Dit."
"Tujuan hidup aku itu kamu, Ra. Cuma kamu yang mendominasi di hatiku."
Air mata Ranis sudah tidak tahu sebanyak apa yang tumpah dengan bebas. Ranis pun tidak berniat sedikit pun untuk menghapus jejaknya. Ranis benci menjadi lemah seperti ini terutama di hadapan Aditya. Untuk apa Ranis menangisinya kembali. Apa tidak cukup waktu 7 tahun untuk menangisi laki-laki itu? Ranis sudah bisa menghadapinya sendiri, dia sudah bisa menerima kenyataan terpahit dalam hidupnya. Ada atau tidak ada Aditya tidak akan pernah bisa mengubah keadaan.
"Aku mau pulang. Aku capek!"
Ranis berusaha melepas genggaman tangan Aditya. Tapi Aditya enggan melepasnya, justru menarik Ranis ke dalam dekapannya. Tangis Ranis semakin menjadi hingga membasahi kemeja yang kini tengah Aditya kenakan.
"Pukul aku kalau memang itu yang bisa membuat kamu tenang dan mau membuka pintu maaf untukku."
Ranis kembali memukuli punggung Aditya hingga berulang kali. Dari pukulan sekuat tenaga hingga perlahan melemah. Dan berakhir membalas pelukan Aditya. Laki-laki itu mengusap perlahan rambut berombak milik Ranis.
"Aku kangen kamu, Ra. Sampai saat ini perasaanku ke kamu nggak berubah sedikitpun."
"Aku benci kamu Aditya."
"Nggak apa-apa, yang penting masih ada rasa untuk aku. Meski itu benci sekalipun. Tapi tolong hargai perjuanganku untuk mendapatkan kamu kembali, meskipun itu nggak pernah ada nilainya di mata kamu. Atau minimal dengarkan penjelasanku, Ra. Setelah itu kamu boleh memutuskan untuk terus membenci atau memaafkanku."
Ranis melepas pelukan Aditya. Mata Aditya sedikit sayu karena menahan kesedihannya. Disitulah hebatnya makhluk pria. Meskipun dia sedang menahan perasaan tapi air mata tidak akan mudah tumpah seperti makhluk perempuan.
Ranis tidak sanggup menerima penjelasan apapun dari Aditya. Dia memilih kembali tenggelam pada perasaan bencinya. Masa lalu masih memegang kendali penuh menyetir kehidupan Ranis.
Lama mereka terdiam di dalam mobil ini. Hingga seseorang di luar sana mengetuk kaca jendela di samping Aditya.
"Untung belum pergi. Mami nyariin elo."
"Gue mau ngantar Maura dulu."
"Mami juga nyariin Ranis."
"Mereka udah ketemu kok Lun."
"Ranis turun yuk. Mami nggak mau makan kalau nggak sama kamu. Kak Luna udah ngerayu pakek jurus apapun. Papi juga udah nyerah. Mami nggak berhenti nangis dari tadi. Kak Luna bingung mesti gimana?"
Akhirnya Ranis memilih keluar dari mobil, Aditya secepat kilat sudah berada di samping pintu penumpang untuk membantu Ranis turun. Kemudian memapah Ranis kembali sampai ke kamar rawat Linda.
Sepertinya kali ini Ranis tidak hanya benci pada Aditya, tapi juga membenci dirinya sendiri yang terlalu lemah. Kalau saja dia mau tegas, dia tidak akan selamanya terjebak dalam labirin masa lalu.
---
Tbc...
^vee^