Abimanyu seakan sibuk dengan dunianya sendiri. Sepulang kerja, ia bersantap bersama Tara, akan tetapi hanya raganya yang ada di sana, sedangkan jiwa lelaki itu tak tinggal bersamanya. Lelaki itu tak pernah melepas ponselnya. Ia kerap tertawa menatap layar ponsel, tersenyum lembut, dan sesekali raut wajah seriusnya terlihat.
Seperti saat ini. Tara yang duduk di depan Abimanyu semakin tersiksa ketika melihat senyum lembut yang tak pernah lagi lelaki itu tunjukkan padanya. Mereka tengah menyantap spagethi yang dibuat Tara secara dadakan begitu pulang kerja. Lelaki itu tak lagi menghargainya dan berbicara adalah hal yang paling lelaki itu benci saat bersamanya.
Tara tahu benar, siapa yang membuat lelaki itu tak bisa lepas dari ponselnya, Dania. Tara mengetahuinya ketika sebulan yang lalu Abimanyu tergesa-gesa pergi meninggalkan rumah setelah mendapatkan buku nikah mereka. Lelaki itu tak sadar jika ponselnya tertinggal dan Tara tak mampu menekan rasa penasarannya. Beruntung ponsel lelaki itu belum terkunci, hingga dirinya bebas melihat semua yang ada di sana.
Hati Tara seakan teriris begitu melihat pesan antara suaminya dan juga Dania, wanita munafik yang kerap bersikap baik saat mereka bertemu. Wanita itu dan Abimanyu sama-sama pintar berakting, Tara adalah penonton yang terbuai oleh peran keduanya, hingga tak sadar dirinya yang bodoh telah menjadi korban atas kemampuan akting mereka.
Hati Tara pun semakin pedih begitu menemukan pesan berbunyi; “Mas sudah dapatkan buku nikahnya? Cepat urus perceraian kalian agar aku nggak perlu merasa nggak enak hati saat kami bertemu di kantor setiap hari. Aku ingin Mas menjadi milikku seorang.”
Tara tertawa membaca pesan menyakitkan itu, namun tangis mengiringi gelaknya yang terdengar memilukan. Wanita itu merasa tak enak hati? Bukankah harusnya rekan kerjanya itu tak bermain api bersama suaminya jika memang hatinya masih mampu merasakan perasaan seperti itu. Mengapa wanita itu tega menghancurkan apa yang selama ini dirinya bangundengan susah payah. Apa semudah itu baginya merampas kebahagiaan orang lain dan bersikap polos, seakan dirinya lah yang tersiksa? Konyol bukan main.
“Sekarang, kamu nggak pernah lepas dari hape, Mas?” sindir Tara.
Abimanyu mengangkat wajah dari benda pipih itu dan memandang wanita di hadapannya. “Lagi banyak kerjaan, Ra. Kami sedang mengaudit beberapa cabang.”
Tara tersenyum, walau hatinya ingin menangis. Ia berdiri. “Nikmati pekerjaanmu,” ucapnya seraya meninggalkan meja makan yang terasa dingin itu.
Setelah kembalinya Tara ke rumah. Abimanyu tak lagi gencar mengejarnya untuk membicarakan hal serius yang sempat membuat Tara selalu berusaha lari. Mungkin, lelaki itu ingin menggunakan gaya mengejutkan untuk membunuh jantungnya. Seperti, mengurus perceraian mereka, lalu menyerahkan dokumen yang harus ia tanda tangani dan memberitahukan pada Tara jika hatinya tak lagi merasakan perasaan indah seperti dulu lagi.
Tara semakin pintar membaca gelagat Abimanyu. Mereka sudah lama saling mengenal, hidup bersama, dan melewati banyak hal. Hingga, lelaki itu tak perlu mengeluarkan banyak kata, Tara sudah bisa membaca apa rencana lelaki itu dan apa keinginannya. Tara tahu benar, jika memang pernikahan mereka tak lagi bisa diselamatkan. Tara memang tak sepenuhnya menyerah, ia melakukan saran Eve untuk berpura-pura tegar demi membuat Abimanyu kembali padanya, akan tetapi cara itu seakan gagal karna kini mereka semakin menjauh.
“Bisa cuci piringmu sendiri nanti?” tanya Tara setelah selesai mencuci piring bekas makanya. Mereka terlalu lama bersama, terbiasa, dan Tara tak mampu membayangkan bagaimana dirinya bisa melepaskan semua ikatan yang sudah lama terjalin itu. Dirinya tak bisa seperti Abimanyu yang mudah pergi dari banyaknya cerita yang telah mereka tulis bersama.
“Aku akan mencucinya, Ra,” ucap Abimanyu tanpa menoleh ke arahnya.
Tara segera kembali ke kamar. Inilah kegiatan rutinnya. Saat lelah dengan segala kepura-puraan, dirinya akan menyembunyikan diri di kamar, merutuki kebodohannya dan memaki dirinya sendiri yang belum bisa juga bersikap kuat di hadapan lelaki yang terus-terusan meremukkan hatinya. Kamar adalah tempat teramannya di rumah itu. Abimanyu lebih memilik tidur di kamar tamu dengan alasan, dirinya terlalu lelah menaiki anak tangga menuju kamar.
Tara pun bersikap bagai orang bodoh. Dirinya tahu, Abimanyu tak sebodoh itu. Lelaki itu pasti telah menaruh curiga jika Tara telah mengetahui semua yang terjadi di belakangnya. Oleh karna itu, lelaki itu gencar ingin berbicara serius padanya. Yang Tara lakukan selama ini adalah berlari, hingga dirinya merasa lelah sendiri dan menyerah. Ia tak mau lagi berlari, ia telah menyiapkan hati dan menanti dengan was-was kata-kata menyakitkan yang akan menusuk jantungnya. Tampaknya, Eve tak sepenuhnya salah karna menyuruhkan berpura-pura.
Dengan berpura-pura seperti sekarang, Tara mulai terbiasa dengan jarak yang terbentang di antara mereka. Dirinya pun perlahan membuat Abimanyu untuk mulai terbiasa untuk tak bergantung padanya dalam urusan rumah. Ia tak lagi membantu lelaki itu mencari apa yang tak bisa ditemukannya, tak menyiapkan pakaiannya, dan tak lagi menyajikan sarapan di meja makan mereka. Bukan tanpa alasan atau berusaha menjadi istri yang durhaka, namun lelaki itu tak lagi pernah menghargai atau menerima apa yang ia lakukan.
Ponsel yang bergetar segera diambil Tara dari nakas. Nama Eve tertera di sana dan Tara langsung menjawab panggilan wanita itu. “Udah jam sepuluh malam, Eve,” ucap Tara begitu menggeser tombol di ponselnya tanpa mengatakan halo.
“Aku hanya mau memastikan kalau kamu masih hidup, Tara.”
Tara tertawa mendengarkan perkataan sahabatnya. “Dia membunuh hatiku berulang kali dan hebatnya aku masih hidup. Mungkin aku adalah seorang pahlawan super.”
Eve tahu, jika Tara tak sekuat itu. Beberapa hari ini, Eve selalu mengontrol Tara, memastikan sahabatnya itu tak melakukan hal bodoh. Dirinya sudah cukup khawatir dengan kehilangan Tara selama tiga hari. Ponsel wanita itu tak bisa dihubungi dan Abimanyu dengan santainya mengatakan ‘nggak tahu’ ketika Eve mendatanginya dan bertanya tentang Tara. Lelaki itu tak pantas menerima cinta sahabatnya, apalagi sampai disebut sebagai suami Tara.
“Tara ... aku memintamu berlagak kuat, untuk membuatmu yakin, apa yang paling kamu inginkan. Jika memang terlalu berat, lebih baik lepaskan, Ra. Aku juga nggak tega melihatmu terus-terusan seperti ini. Sejak aku menanyakan keberadaanmu, aku menyesal karna sempat memintamu untuk balas dendam dengan bersiap tak acuh padanya.”
Tara tersenyum tipis. “Aku malah berterima kasih, aku mulai terbiasa jauh darinya. Mungkin, jika kamu berpisah nanti, hatiku bisa cepat pulih.”
Ada jeda sebelum Eve berkata. “Pikirkan semuanya baik-baik dan ingat kalau kamu nggak sendirian, Ra. Aku akan selalu mendukungmu. Jangan kabur tanpa kabar, kamu bisa datang padaku jika memang membutuhkan tempat bersembunyi.”
Tara tersenyum mendengarkan perkataan karibnya itu. Hanya Eve satu-satunya yang mengetahui masalah pernikahannya yang akan segera kandas. Dirinya merasa bruntung. Berkat sahabatnya itu dirinya masih bisa menjaga kewarasannya dalam menghadapi kepura-puraan Abimanyu dan juga Dania.
“Aku sudah memutuskan. Aku akan mengajak Mas Abi untuk bicara. Aku akan memberitahukan semuanya pada Mas Abi dan mencoba untuk menerima semua keputusannya,” ucap Tara seraya mengigit bibir bagian bawahnya, “aku nggak mau lagi memaksakan hati.”
“Tara ... semuanya akan baik-baik aja.”
Perkataan sahabatnya itu bagai mantra yang menghipnotis. Senyum Tara mengembang, ia seakan mendapatkan sedikit kekuatan dari sahabatnya. Tara mengucapkan terimakasih, lalu panggilan terputus. Tara merebahkan tubuhnya dan menatap kosong langit-langit kamar.
Dirinya teringat perkataannya dulu pada Abimanyu. “Jangan berjanji saat hatimu dipenuhi cinta, karna rasa bisa menipu dan begitu rapuh. Begitu rasa itu hilang, maka janji akan kamu langgar.” Ucap Tara saat Abimanyu mati-matian menyakinkannya jika perasaannya tak ‘kan pernah berubah dan akan tetap sama selamanya.
Nyatanya, apa yang ada di hadapan mereka adalah sebaliknya. Perasaan memang tak bisa dijamin dan kerap berubah-ubah. Tara harus mulai menerikma fakta itu. Kini, ia tak lagi ingin menggenggam terlalu erat, dan menyakiti mereka berdua. Inilah saatnya untuk pergi dari cinta yang begitu disukainya. Cinta hanyalah perasaan sementara dan bisa segera sirna.