Setelah puas bersepeda, Tara memutuskan untuk snorkeling dan menikmati keindahan alam keindahan dunia bawah laut. Pemerintah Pulau Tidung melakukan program konservasi terumbu karang di kawasan perairan Pulau Tidung kecil, membuat lautannya layak untuk dijelajahi. Biota laut yang beragam memanjakan mtata para pecinta snorkeling seperti Tara yang betah berlama-lama bermain dengan ikan-ikan kecil sembari menikmati keindahan terumbu karang yang ada di sekitar pulau tersebut.
Melihat pemandangan yang menyejukkan mata itu membuat Tara lagi-lagi mengucap syukur karna tak meneruskan niatan bodohnya. Cinta tak hanya merusak hati, namun turut menghancurkan fungsi otaknya. Setelah lelah menikmati semua keindahan itu, Tara menghentikan aktifitasnya. Ia memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan menikmati keindahan langit senja yang perlahan beranjak pergi.
Tara terlalu takut untuk menikmati pemandangan yang biasanya ia nikmati bersama Abimanyu itu seorang diri, akan tetapi Tara ingin menantang dirinya sendiri. Mencoba mengukur kekuatannya dalam menghadapi semua kenangan tentang mereka yang mungkin perlahan akan pergi dari benak keduanya dan menjadi cerita yang tak lagi memiliki makna apa pun.
Indahnya warna yang tercipta ketika senja beranjak pergi menyihir Tara seperti biasanya, bedanya, kini tak ada Abimanyu di sisinya dan menggenggam tangannya seperti dulu. Tak ada pundak di mana ia bisa menyandarkan kepalanya dan menikmati keindahan alam yang memukau itu. Dirinya duduk termenung, ditemani oleh kenangan yang mereka bingkai bersama. Pemandangan itu seakan menarik Tara kembali ke dimensi waktu bernama masa lalu.
“Kita akan memandang keindahan alam seperti ini hingga tua nanti. Kalau kita tua nanti, aku ingin memiliki rumah di tepi pantai, agar setiap sore bisa duduk di balkon, bergenggaman tangan seperti sekarang, dan menikmati keindahan ini bersamamu,” ucap lelaki itu menatap ke hadapannya dengan tatapan menerawang, seakan dirinya tengah membayangkan apa yang baru saja diucapkannya. Tentang mimpi masa depan mereka yang terlihat begitu jelas di hadapannya. Bersama wanita di sisinya, semua mulai terlihat jelas. Tentang bagaimana bahagianya rumah tangga mereka nanti, anak-anak yang menemani, dan kebahagiaan yang diciptakan bersama.
“Apa kamu pikir, perasaan kita bisa bertahan selama itu, Mas?” tanya wanita itu lirih. Ia bukannya tak mempercayai cinta lelaki di sisinya itu. Hanya saja, cerita pada temannya yang telah menikah membuatnya takut memasuki fase yang sama.
Memang tak semua temannya bercerita jika pernikahan tak selalu seindah apa yang terlihat. Pernikahan adalah tentang menyatukan dua hati dan pemikiran yang berbeda menjadi satu. Segala kekurangan yang dulu malu-malu ditunjukkan akan mulai terlihat. Ada yang bisa menerima dan beberapa malah merasa menyesal. Tara takut jika pernikahan akan mengubah apa yang hati mereka rasakan saat ini. Toh, tak ada yang berani menjamin cinta.
“Kamu takut karna hari pernikahan kita tinggal beberapa hari lagi?”
Pertanyaan lelaki itu, membuat Si wanita menjauhkan kepalanya dari pundak lelakinya. Ia menatap lelaki itu lekat-lekat, sedang Si lelaki ikut menoleh padanya dan pandangan mereka saling bertemu. Wanita itu tak melihat ketakutan yang sama dalam manik mata lelaki di hadapannya, seakan dirinya begitu yakin, jika rasa mereka akan abadi.
“Aku takut, jika kamu bisa bosan denganku setelah menikah nanti, Mas,” ucap wanita itu jujur. Ia mencoba membaca sepasang netra di hadapannya.
Lelaki itu tersenyum. “Gimana aku bisa bosan dengan seseorang yang begitu kucintai?” lelaki itu mengusap lembut wajah wanitanya, “jika adadi adalah hal yang mustahil, aku akan menjadi satu-satunya orang yang menjadikannya nyata, Ra. Perasaanku nggak akan pernah berubah, hari ini, esok, dan seterusnya. Hanya kamu yang aku mau.”
Perkataan penuh kesungguhan itu membuat senyum terukir pada wajah cantik wanita itu. Perkataan lelaki itu seakan mampu mengenyahkan segala ragu yang sempat memenuhi bathinnya. Tara merasa beruntung bertemu dengan Abimanyu.
“Saat melihat ke dalam manik matamu, aku dapat melihat dengan jelas masa depanku. Aku nggak pernah merasa seyakin ini, Tara. Kamu satu-satunya untukku. Kini dan selamanya.”
Tara mengulurkan kelingkingnya pada Abimanyu. “Janji?”
Abimanyu tergelak, akan tetapi ia langsung mengaitkan kelingking mereka. “Janji,” ucapnya penuh keyakinan. Mereka saling bertukar senyum, hati Tara menghangat dan ia mempercayai janji yang lelaki itu ucapkan padanya. Ia tahu, lelaki itu adalah pria yang kata-katanya dapat dipegang, hingga ketakutan Tara menghilang dalam sekejap mata.
“Kamu tahu, kalau orang yang melanggar janji akan mendapatkan karma kan, Mas?”
Abimanyu tertawa melihat sikap wanita di hadapannya. “Aku rela mendapatkan hukuman apa pun bila melanggar janjiku padamu, Tara. Aku mencintaimu dan selamanya perasaanku akan tetap sama seperti hari ini. Aku nggak akan pernah berpaling darimu.”
Tara tersenyum bahagia, mengaitkan jemarinya di sela jemari lelaki itu, lalu menyandarkan kepalanya pada pundak lelaki itu. Mereka berdua kembali tenggelam dalam keindahan alam yang dipersembahkan Tuhan untuk semua umatnya. Langit menjadi jingga, membuat langit terlihat indah. Romantisme semesta yang membuai para insan yang menatap keindahannya.
Air mata Tara jatuh kembali kala mengenang masa lalu mereka tentang senja yang telah pergi. Tak meninggalkan apa pun selain janji yang sekadar omong kosong belaka. Keindahannya pun tak mampu lagi menghangatkan hati Tara seperti kala itu. Semuanya seperti baru saja terjadi, terasa seperti kemarin, mereka bergenggaman tangan, saling merayu dan melemparkan janji yang kini tak bisa lagi dituntut kebenarannya. Semua telah berakhir, hanya menjadi sekeping kenangan yang akan mengingatkan Tara jika memang janji dibuat hanya untuk dilanggar.
Tara melipat kedua kaki, memeluknya erat, lalu menenggelamkan wajah pada lututnya. Ia menangis terisak. Mencoba kuat dan pergi bukanlah hal yang mudah. Buktinya, seberapa sakit hatinya, ia tak bisa pergi dari kenangan yang kini terasa menyiksa. Mengapa waktu mampu mengubah perasaan dan perilaku seseorang, bukankah indah, jika apa yang pernah ada tak pernah bisa diubah oleh apa pun. Tetap sama dan mungkin saja selamanya mereka bisa bersama.
Tara mengangkat wajahnya dan menatap jemari di mana cincin pernikahannya berada, Ia tersenyum lirih dan air matanya mengalir semakin deras melihat satu-satunya benda yang mengikat mereka menjadi sepasang suami istri. Benda yang dulu membuat Tara merasa begitu spesial, kini seperti aksesoris biasa yang tak memiliki arti apa pun. Hanya sebagai pelengkap.
Tara masih mengingat betapa hatinya bahagia hari itu, saat di mana lelaki itu menyematkan cincin pernikahan pada jari manisnya. Kebahagiaannya membuncah, seakan-akan dirinya adalah orang paling bahagia di dunia. Ia pun tak mampu mencegah air mata haru yang turun begitu saja dan hatinya menghangat melihat benda itu tersematkan di jemarinya, membuatnya merasa telah mencapai salah satu mimpi terbesarnya, menikah dengan lelaki yang dicintai dan mencintainya.
“Saya mengambil engkau Tara Fedelia menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang dan selama-lamanya; pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.”
Janji pernikahan yang lelaki itu ucapkan dengan tulus dan pandangan mata yang lembut seakan baru kemarin ia terima. Janji yang pada akhirnya, senasib dengan janji-janji yang pernah lelaki itu berikan padanya, telah menjadi untaian kata tanpa makna. Sebuah perkataan penuh omong kosong yang tak mungkin bisa ditepati oleh Si pembuat janji tersebut.
Harusnya, lelaki itu tak menjadi seorang pecundang yang melupakan janji. Mengkhianati hati dan membunuh semua mimpi yang mereka bangun bersama. Kini, Tara ditinggalkan sendiri dengan janji-janji yang telah lelaki itu langgar. Tara hanya bisa menelan pil pahit bernama keputusasaan atas janji yang tak lagi bisa dipegang kebenarannya.