Bertemu

1239 Kata
Malam memang waktu yang baik untuk sebungkus nasi kuning dengan lauk daging dan telur kesukaan Evan. Berkat Evan pula seisi kostan jadi suka makan nasi kuning malam-malam, padahal hukumnya nasi kuning itu di makan ketika pagi, bukan? “Nasi kuning bu Wati emang gak ada obat sih.” Dio bersuara, sejak tadi ia lah yang paling semangat memanggil teman-teman satu kost nya untuk membeli nasi kuning langganan Evan untuk makan tengah malam mereka, ia bahkan rela mengeluarkan budget lebih untuk makan malam hanya untuk sekedar menyantap dua porsi nasi kuning itu. “Kan gua bilang juga apa.” “Nggak, bukan nasi kuningnya yang enak, tapi gara-gara makannya tengah malam gini jadi rasanya makin-makin.” Arga menimpali. “Bu Wati kalau sehari gak jualan udah kayak hampa banget hidup gua anjir, setengah diriku ada padanya.” Sambung Evan dengan suapannya yang sengaja di hemat-hemat agar makanannya itu tak cepat habis. Tidak ada yang aneh dari aktivitas mereka setiap malam, nongkrong di ruang televisi, makan nasi kuning atau sate jika ada, dan berakhir dengan sesi keluh kesah mereka yang hampir terjadi setiap malam. Brak! Semua mata tertuju pada sebuah pintu kamar yang terletak di samping televisi, Eki tiba-tiba berdiri, meninggalkan sepiring nasi kuning yang sejak tadi belum habis ia lahap, tak lama kemudian terdengar samar-samar suara orang mengobrol dari dalam sana, di detik selanjutnya mereka kemudian paham apa yang terjadi. “Aku gak selingkuh yaang, ya ampun astaga! Kamu bisa nanya deh ke temen-temen ku, tadi aku lagi makan terus hp nya aku silent makanya aku gak denger notif kamu.” Pertengkaran Eki dan pacarnya adalah santapan sehari-hari mereka, gak pagi, gak siang gak malam, Eki dan pacarnya pasti selalu punya bahan untuk bertengkar. Seperti yang paling konyol adalah ketika Eki tidak sengaja mengirim foto paha Evan yang memang terlalu mulus untuk laki-laki di story i********: nya, mereka berdua bahkan bertengkar hingga tiga hari dan membuat Eki enggan makan selama tiga hari itu. “Nyusahin aja si Rimba.” Sungut Dio kesal, jantungnya hampir copot mendengar bantingan pintu Eki tadi. “Rima bego.” “Oh iya, mirip singa soalnya.” “Jayus.” ***** “Ga, lo mau ke gramed?” Semester baru memang selalu membuat Arga malas, bukan hanya karena harus bertemu dengan dosen-dosen dengan aturan aneh, melainkan ia begitu malas setiap kali diminta untuk membeli buku setebal kitab suci dengan bahasa asing yang katanya untuk media pembelajaran namun berujung tak akan pernah ia baca, mana bukunya wajib kalau gak ya gak boleh masuk buat belajar. “Mau ke holy wings.” “Siang-siang gini?” “Ya iyalah mau ke gramed, emang mau kemana lagi? orang gua aja belum nemu bukunya pak Bambang.” Balas Arga, sewot. Dirga tertawa renyah mendengar jawaban Arga, ia kemudian menyelipkan belasan lembar uang bergambar Soekarno-Hatta di kantong celana Arga kemudian berlari menjauh dari pria itu. “TITIP YAAA! GUA MAU NGAPEL KE RUMAH CEWEK GUA!” Teriak Dirga saat ia dan Arga sudah cukup jauh. Anjing. Batin Arga, kesal. Suasana Gramedia siang itu cukup tenang, padahal menjelang weekend seperti itu biasanya cukup ramai, di datangi para mahasiswa ataupun pelajar yang entah memang akan membeli buku atau hanya sekedar membaca dan menghabiskan waktu di sana. Sejak tadi, Arga terus mondar mandir di rak buku bagian Ekonomi, namun ia tak kunjung menemukan buku Sistem Pengendalian Manajemen nya. Arga mendesah frusasi, ia sudah mendatangi semua toko buku yang ia tahu untuk mencari buku itu namun tak satupun toko buku yang menyediakan buku itu. “Sorry, lo dapat bukunya di rak mana ya?” Di saat ingin melangkahkan kaki keluar dari toko buku itu, mata Arga tiba-tiba tertuju pada sebuah buku yang ada di dalam pelukan seorang gadis dengan rambut berwarna cokelat panjang, di tangan gadis itu ada beberapa buku dan salah satunya ada buku yang sedang Arga cari. “Ya? Aah yang mana?” Tanya gadis itu. “Yang sistem pengendalian manajemen itu.” Arga menunjuk buku itu. “Oh ini? di rak yang pas belakang lo itu, tapi kayaknya udah habis deh emang susah nyari buku ini.” Balas gadis itu. Arga mengangguk lalu menghela napas pasrah, secerca harapannya hilang, ia mau tidak mau harus bersiap untuk absen di kelas perdana pak Bambang besok. “Iya, emang susah banget. gua udah kemana-mana tapi gak dapat tuh buku, yaudah deh thanks ya habis ini gua bakal cari lagi di tempat lain soalnya udah besok banget matkul nya.” Balas Arga. Loh anjir, kok malah jadi kayak orang akrab banget? Batin Arga saat menyadari dirinya yang berlagak sok akrab. “Lo kuliah dimana? Kalau butuh banget lo boleh pinjem buku gua dulu.” Gadis itu tiba-tiba menyerahkan buku ditangannya kepada Arga, hingga pria dengan alis tebal itu cukup terkejut. “Terus lo gimana?” “Lo lebih kepepet, gua bisa beli online.” “Nggak, jangan. Gua pinjem sehari doang, habis itu gua balikin, minta kontak lo aja.” Arga menyerahkan ponselnya, membiarkan gadis cantik di hadapannya itu menuliskan id line agar Arga bisa mengembalikan buku milik gadis itu besok. “Sebentar ya.” Arga berjalan menuju kasir, membayar buku yang akan ia pinjam itu. tidak apa jika Arga harus keluar uang dua kali, sebab bukan masalah harganya, nilainya akan di pertaruhkan jika saja ia tidak masuk ke kelas pak Bambang besok. “Kok, lo yang bayar?” Tanya gadis itu di saat Arga sudah berhasil menenteng bukunya. “Gak papa, santai. Oh iya, Gua Arga.” Arga mengulurkan tangannya, untuk berkenalan. “Vanya.” Balas gadis itu. Manis. Setelahnya mereka mampir makan berdua sebentar, aneh kan? Berhubung karena mereka sama-sama datang sendiri dan kebetulan setelah belanja buku mereka lapar, akhirnya mereka memutuskan untuk makan bersama. Jadi dari situ Arga jadi tahu kalau mereka kuliah di satu kampus dan satu fakultas yang sama, mereka satu angkatan hanya saja beda jurusan. Kalau Arga kuliah di jurusan Akuntansi, Vanya kuliah di Manajemen. Ya cuma beda gedung. “Thanks ya.” Vanya melambaikan tangan kepada Arga saat mobil jemputannya tiba, Arga bahkan mengantarnya hingga ke lobby utama mall hanya untuk memastikan bahwa Vanya berangkat dengan aman. Aneh, udah kayak kenal lama aja. “Iya. Besok gua balikin ya bukunya.” Balas Arga. Vanya mengangguk, sebelum mobil yang ditumpanginya melaju, Vanya kembali menurunkan kaca mobilnya, mentapa Arga beberapa detik sebelum kembali berbicara. “Arga.” Panggil Vanya. “Ya?” Arga hampir saja mencubit dirinya sendiri ketika sadar akan respon yang ia berikan kepada Vanya. Jawaban macam apa. “Hati-hati pulangnya.” Hanya tiga kata, namun Arga berhasil mematung di tempatnya, sudah dua tahun lebih Arga tak mendengar ucapan seperti itu dari mulut perempuan kecuali ibunya sendiri, tinggal jauh di kota orang dan hidup sebagai seorang jomblo membuat Arga merasa asing dengan kata-kata itu, rasanya aneh, namun entah kenapa Arga senang mendengarnya. Berbicara tentang status Arga, pria itu memang sudah lebih dari dua tahun tidak terlibat hubungan dengan siapa-siapa, bukan karena Arga jelek atau apa, Arga bahkan tergolong sebagai mahluk good looking nan cerdas yang sering mendapat titipan salam via radio kampus atau melalui teman-temannya. Hanya saja ia terlalu malas, melihat pertengkaran Eki dan pacarnya setiap hari juga salah satu faktor yang selalu membuat Arga enggan untuk memulai hubungan barunya lagi. “Kalau gua jadi lo, udah gua pacarin kali anak-anak se fakultas.” Ucap Evan yang selalu terngiang-ngiang di telinga Arga setiap kali Arga berkenalan dengan orang baru. Evan malah justru terjebak dengan hubungan tanpa statusnya dengan Kirana, si anak fakultas psikologi yang ia kenal semasa PPKMB dulu.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN